Kisah Seorang Nelayan di Purirano

Ini adalah cerita saat saya bertemu dengan nelayan di purirano. Keadaan mereka penuh dengan ketidakadilan.

Kenangan di Puncak Terindah Buton Selatan

Ini adalah bentuk penghayatan, akan indahnya alam. Olehnya itu, alam harus dijaga dengan baik agar kita hidup dalam penuh damai dan tentram.

Menggeluti Ilmu di Perguruan Tinggi

Bersama dengan ilmu pengetahuan kita dapat maju, bergerak dan bersaing dengan pihak-pihak lain. Mari, kita dahulukan pendidikan kita.

Sebuah Perjalanan di Muna Barat

Kami mencari keadilan atas masyarakat yang selama ini teralienasi. Lahan-lahan mereka dipermainkan oleh elit-elit desa, mengeruk keuntungan dengan membodohi masyarakat. Kami menolak dan melawan.

Mencari Keindahan di Danau Maleura

Di danau ini, ada panorama keindahan, yang membuat pengunjung sangat menikmati suasana. Hawa dingin dan air yang jernih dan terdapat banyaknya gua-gua. Ini keren kan. Adanya hanya di Muna.

20 Oktober 2015

Mengapa Kita Terlalu Suka Kemudahan!



                                                                           Ilustrasi
 
Jika kita menanyakan kepada semua orang, apakah engkau suka kemudahan dan berpaling pada sesuatu yang terlalu sukar/kesusahan? Jawabannya kira-kira sekitar 85 persen semua orang akan menjawab, mereka suka kemudahan. Orang-orang seperti ini akan beranggapan bahwa dengan kemudahan mereka akan mencapai sesuatu dengan muda alias gampang, instan dan tidak membikin pusing kepala ini sampai akhirnya kita tak bisa tidur. Dengan kemudahan waktunya tak akan banyak terbuang dengan yang susah itu dan bisa menikmatinya dengan bersenang-senang.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa mengambil beberapa contoh misalnya pencarian judul skripsi. Kita terkadang tidak menginginkan judul yang terlalu menyusahkan kita atau mungkin pembimbing yang tidak memaukan itu karena mungkin dianggap kita tak mampu untuk menyelesaikannya. Akhirnya kita diberikan jalan pintas atau kemudahan dengan diberikan judul yang gampang/mudah agar nanti tak banyak yang menghalangi atau menyusahkan jalan kita untuk mencapai yang bernama wisuda itu.

Bagi saya, berjalan lancarnya untuk penyelesaian sebuah skripsi tergantung pada ukuran metedologi penelitiannya. Jika ukuran metedologi untuk penelitian itu jelas dan terarah maka yang kita perjuangkan juga jelas dan tak akan mengarah pada tempat lain. Apabila ukuran meteodolgi yang kita gunakan salah maka kita telah memperjuangkan sesuatu yang salah. Saya kira selama judul skripsi mempunyai meteodologi yang jelas untuk di ukur yang kemudian dapat menghasilkan suatu penelitian yang bermanfaat, mengapa tidak. Jika hal itu misalnya menyusahkan kita, itulah sebuah proses untuk kemudian mencarikan jalan menyelesaikannya. Titik…..

Pada konteks lain misalnya mahasiswa yang menjadi benalu. Mahasiswa seperti ini mudah sekali terkurung dengan kenyamanan yang dimiliki, tak berjiwa sosial dan biasanya anak-anak mami yang berumah diatas angin. Mereka suka kemudahan dan tak mau berproses. Mereka menginnginkan hidupnya serba instan. Kesusahan bagi mereka merupakan benteng penghalang yang seringkali menggerogoti nafsu manja mereka untuk ber-foya-foya.

Mahasiswa seperti ini terkadang suka menyusu, mengharapkan Bokap dan Nyokap yang mencarikan jalan hidupnya. Bagi mahasiswa ini, hidup itu jangan dibuat kesusahan toh kita suda diberikan sesuatu yang jelas oleh Bokap dan Nyokap dan tinggal duduk dan menikmatinya saja. Hidup bagi mereka bukan sebuah perjuangan, bukan juga sebuah proses untuk kemudian akan mematangkan diri kita di kemudian hari. Kesusahan bagi mereka adalah ironis, yang diperutungkan bagi mereka-mereka yang tidak bernasib baik dan kemudahan adalah hanyalah ruang mereka pada setiap jejak langka kehidupannya.

Inilah sebuah realitas yang sampai hari ini masih banyak kita temukan pada masyarakat Indonesia. Mahasiswa yang merupakan sebuah generasi muda penunjuk jalan terang sebuah bangsa tak terlepas dari budaya kemudahan ini. Oleh generasi tua dikampus dalam hal ini dosen-dosen, muda sekali mengkonstruktivis ini bahwa semua mahasiswa suka sekali dengan kemudahan.

Budaya ini turun-temurung berlanjut, dan generasi tua (dalam hal ini dosen-dosen) di kampus-kampus membudayakan kemudahan ini. Di berikan judul, atau di susunkan skripsinya suda menjadi pemandangan yang biasa di kampus-kampus. Saya menyaksikan dan mengalaminya sendiri, namun saya tetap pada sikap saya dan menolak hal ini.

***
Ketika seorang sahabat menyuruh saya untuk menerima judul yang diberikan oleh dosen pembimbing, saya katakan saya tetap menolak. Saya mengatakan bahwa di sini saya ingin berproses dan mau belajar untuk menyelesaikan sebuah penelitian dan itu harus judul yang saya usulkan. Selanjtnya saya katakan, judul yang saya usulkan mempunyai meteodologi yang jelas dan itu layak untuk dijadikan sebuah penelitian skripsi. Seorang sahabat mengatakan, tapi teman-teman yang lain banyak yang seperti itu, dikasikan judul. Saya jawab, iya itu mereka dan mereka berbeda dengan saya.

Pada akhirnya godaan budaya kemudahan atau yang serba instan itu, tak pernah lepas dari perjalanan hidup seseorang. Semua terkungkung dalam mental-mental yang muda kropos, yang gampang pecah alias menyerah. Mental mahasiswa hari ini adalah mental kerupuk bercampur cabe yang tak tahan akan susahnya dalam berproses dan suka mendambakan kemudahan dalam setiap jejak langka perjalanannya. Mereka tak punya sikap daya kritis dan menolak, mengiyakan dalam setiap omongan yang tua-tua ini dan akhirnya kita seperti sebuah obyek yang kosong dan tak punya isi.

Sedangkan generasi tua hari ini adalah generasi yang di didik dan lahir dengan mental cabe yang kelihatan pedis, warnah merah seperti sikap pemberani namun setelah lepas dari pohonnya cepat layu dan lama-lama busuk. Yang lebih parah lagi cabe ini akan mengajarkannya pada cabe-cabe yang lain hingga turun-temurun. Inilah yang dianggap sebagai pembudayaan mental-mental cabe hingga budaya seperti ini sampai kapanpun tak akan pernah habis terkikis oleh zaman.

Ia, hari ini memang kita terlahir dari generasi yang suka serba instan, tak menghargai sebuah proses dan tak tahan banting. Dari generasi ke generasi sampai hari ini kita sering dihidangkan dengan cerita-cerita keberhasilan, kepahlawanan, kecerdasan seseorang serta motivasi-motivasi seperti Mario Teguh yang heroik. Namun, terkadang orang-orang lupa bahwa mereka mencapai segalanya bukan dengan kemudahan-kemudahan seperti yang dipikirkan. Mereka berani berbenturan dengan kesusahan, menyelam dan berjalan bersama kesusahan demi mencapai setitik cahaya yang kelak dapat meneranginya digubuk kehidupannya.
Kemudahan bagi mereka seperti jalan terang yang mengarahkannya pada kesenangan-kesenangan kecil di kehidupannya dan sering mereka agungkan sedangkan kesusahan seperti suasana gelap yang mempunyai jerat-jerat penyiksa dan jurang lumpur yang pekat dan mereka hindari. Mereka seringkali terbiasa dengan kemudahan itu sehingga ketika kesusahan melingkupi, menghindari adalah jalan terbaik dan tak mau bertarung dengan kesusahan itu.

Menghindari memang sesuatu yang baik, namun kita miskin proses pembelajaran hidup yang kelak menjadi tameng-tameng yang akan membuat kita kokoh dan tak gampang roboh. Kesusahan adalah bagian dari titik balik kemudahan. Dengan kesusahan kita punya kekebalan dan tak akan kropos dan bahwa hal-hal yang susah adalah bagian dari proses di kehidupan ini. 

Jadi generasi tua, tak perlu membudayakan mental-mental cabe yang justru akan memperlemah generasi muda saat ini. Rhenald Kasali bilang Pendidik bukanlah hanya menyampaikan teori namun dengan kemampuan mewadahi keingintahuan, memperbaiki watak dan karakter dan membentuk masa depan mereka adalah sama pentingnya dengan mempraktikan teori”. 
                                   

                                                                                                La ode Halaidin
                                                                                                Kendari, 20 Oktober 2015
Sumber Gambar : zonanesia.com



15 Oktober 2015

CATATAN ANAK DESA : Negeri Ini Suda di Ujung Tanduk




Di Negeri di Ujung Tanduk kehidupan semakin rusak, bukan karena orang jahat semakin banyak, tapi semakin banyak orang yang memilih untuk tidak peduli lagi.

Di Negeri di Ujung Tanduk para penipu menjadi pemimpin, para pengkhianat menjadi pujaan, bukan karena tidak ada lagi yang menjadi teladan, tapi mereka memutuskan menutup mata dan memilih hidup bahagia sendirian.

Di Negeri di Ujung Tanduk setidaknya, kawan, seorang petarung sejati akan memilih jalan suci, meski habis seluruh darah di badan, menguap segenap air mata, dia akan berdiri paling akhir, demi membela kehormatan. (Tere Liye, Dalam Buku; Negeri Di Ujung Tanduk).

***


Untuk para anak-anak muda, Putra-Putri yang saat ini masih berdiam diri dan yang berumah di atas angin dengan menikmati kemewahan kekayaan dari orang tua. Untuk para pemuda dan pemudi yang tengah sibuk mencari kekayaan, bagi yang tengah mempercantik diri dengarkanlah keluhan-keluhan dan terikan-teriakan kami anak dari desa ini yang tengah memperhatikan ke-amburadulan negeri ini dari jauh.
Pertanyaan yang perlu diajukan atau mungkin yang ada dibenak kita adalah Dimanakah keadilan di negeri ini? Mengapa keadilan hanya milik mereka yang punya kuasa atau segelintir orang yang dekat dengan kekuasaan? Keadilan Sosial yang selama ini tercantum dalam pancasila hanyalah simbolik belaka. Kita membacanya dalam setiap 17 Agustus dengan sikap siaga, mata menatap kedepan dengan tajam, tapi ucapan-ucapan itu hanya lalu lalang dan sekejap hilang tanpa ada pemaknaan dan pem-wujudan dalam realitas kehidupan masyarakat. 
Lalu apa yang kita inginkan yang lahir dari Timur dan Tengah Indonesia? Aceh, Papua, Sulawesi dan Kalimantan, NTT, NTB, yang tergolong masyarakat bawah/miskin tengah bertarung dengan sendirinya tanpa merasakan kehadiran negara dalam hal ini pemerintah dan wakilnya di DPR itu. Apalagi informasi hangat yang saat ini beredar adalah bahwa Indonesia bagian Timur mempunyai kekayaan sumber daya yang melimpah. Sehingga para Tuan dan Jenderal Istana cepat-cepat memalingkan mukanya ke Timur dan juga Tengah Indonesia dengan memanggil para investor untuk menanamkan investasinya. Apakah kita juga membutuhkan kemerdekaan seperti Catalunya di Negara Spanyol itu? 

Masyarakat miskin di desa-desa saat ini tengah bertarung dengan kehidupannya untuk memenuhi sesuap nasi, sementara koorporasi besar terus menghantuinya setiap saat. Koorporasi akan bermunculan dimana-mana dan kapan saja. Mereka bermunculan untuk mengusir masyarakat dari tanahnya sendiri, dengan alasan bahwa pemerintah telah diberi kewenangan dengan telah mengantongi izin untuk mengeksploitasi kekayaan di desa-desa tersebut untuk pembangunan industri-industri.

***
Kejadian di Lumajang adalah bagian dari kejadian kecil di Negeri ini. Banyak hal yang menimpa di Timur dan Tengah Indonesia seperti Lumajang bahkan mungkin di sini akan lebih para lagi. Kematian Seperti Salim Kancil kemungkinan besar akan lebih banyak lagi ketika Tuan-Tuan dan Para Jendral di Istana sana kian doyan mempermuda izin untuk pembangunan Industri-Industri koorporasi bangsat.
Di sini tak ada media untuk kemudian memunculkannya di depan Publik atau mungkin Media sengaja tidak menggalinya karena atas dasar kepentingan. Di sini tak ada wartawan yang berkunjung seperti Metro TV, TV One atau Teve lain untuk kemudian mengangkat isu-isu yang tengah memperpuruk kehidupan masyarakat akibat ulah pemerintah dan koorporasi. Di sini hanya ada para aktivis kecil untuk memperjuangkan negaranya.
Di sini hanya ada para aktivias kecil yang tidak populer dan tidak pernah disokong oleh dana pemerintah. Di sini hanyalah ada aktivis yang merupakan anak Negara yang menolak kekayaan negaranya di eksploitasi oleh koorporasi bangsat. Di sini hanya ada para aktivis yang ingin melihat negaranya indah, berjuang untuk demi kebaikan dan kemaslahatan bersama tanpa mengharapkan kehadiran Negara.
Di sini hanya ada aktivis yang memperjuangkan terciptanya kedamayaan dilingkungannya, hidup bersama tanpa penindasan, tanpa ada penguasaan dan tanpa ada yang namanya dominasi. Lalu pertanyaannya, Apakah ini bukan bagian dari bentuk Bela Negara! Lalu, mengapa Negara dalam hal ini pemerintah pusat dan daerah dan juga si DPR itu membiarkan koorporasi bangsat membiarkannya? Bukankah jika hal demikian mereka tak punya sikap Bela Negara? Mengapa……..Jangan-jangan mereka tak pernah mengerti dengan sejarah perjuangan rakyat! Jangan-jangan para Tuan dan Jenderal Istana itu, saat ini tengah memperjuangkan proyek itu untuk bisa lolos, kemudian mereka dengan senang akan menikmati uang proyek miliyaran itu dan menyaksikan masyarakat kian terpuruk dengan kehidupannya. Jangan-jangan……… 
Inilah ulah-ulah para Tuan dan Jendral Istana dengan alasan doktrin pembangunan. Inilah ulah para korporasi bangsat, yang mengeruk kekayaan Negara, sementara rakyat semakin hari semakin sengsara. Kematian Salim Kancil adalah potret kita hari ini bahwa negara tak pernah hadir jika masyarakat kecil tengah ditimpah masaalah-masaalah yang memperpuruk kehidupan mereka. Kematian Salim Kancil adalah bentuk ke-kurang-perhatiannya Negara terhadap masyarakat kecil, dalam hal ini pemerintah pusat dan daerah dengan institusi negaranya (Kepolisian dan para Tentara) untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan masyarakat. Lalu pertanyaanya, mengapa Negara dalam hal ini pemerintah dan DPR itu hadir, ketika suda ada korban nyawa? Saya kira ini menjadi renungan kita tentang pemerintah saat ini dan kedepan.

***
Hari ini bukan Bela Negara atau Wajib Militer yang seharusnya digemahkan, melainkan BELA DESA. BELA DESA adalah bentuk Inisiatif dari perjuangan rakyat akibat ulah dari para Tuan Istana dan Jenderal Feodal yang mengandalkan kekuatan Institusi tentara dan kepolisian untuk kemudian mengusir masyarakat kecil dari tanahnya sendiri. Bela Desa adalah bentuk dari perjuangan rakyat yang lahir dari kesadaran rakyat untuk melawan penjajah di negeri sendiri. Bela Desa adalah perjuangan rakyat yang menginginkan revolusi akibat ketidakadilan dan kesewenag-wenagan akibat ulah Negara dalam hal ini pemerintah dan DPR itu, melalui investor dengan doktrinisasi bangsatnya yang bernama demi kesejahteraan rakyat. Iya,, sekarang kita perlu ‘Bela Desa’ untuk memperjuangkan desa-desa kita dari kuasa korporasi dan demi nama pembangunan.
Saya kira negeri ini perlu Revolusi, Revolusi atas dasar penindasan dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh “anak kandung negara” sendiri. Rakyat harus mempertajam mata untuk melihat bagaimana Tuan-Tuan Istana dan Para Jendral mempermudah izin indusri dan mengawal para Investor untuk mencaplok kekayaan desa-desa. Rakyat harus punya kekuatan persatuan untuk kemudian melawan penindasan dan ketidakadilan itu.
Cara ini adalah cara Feodal, Rakyat miskin yang makin melarat sementara Tuan Istana, para Jendral dan orang-orang yang dekat dengan Istana duduk dikursi empuknya menikmati hasil proyek Korporasi. Pembangunan seakan hanya milik mereka yang di Jakarta sana, sementara masyarakat kita di Sulawesi, Aceh, Papua, Kalimantan, NTT, NTB hanya menikmati ampas dari pembangunan. Iya, kita hanya ampasnya sedangkan mereka adalah isinya yang penuh gizi-gizi baik.
Jika Negeri ini perlu Revolusi, maka marilah kita bersatu, bersatu untuk menentang bentuk penindasan melalui doktrin pembangunan, ynag dilakukan oleh para Tuan dan Jenderal Istana sana melalui peran investasi untuk kemudian mencaplok kekayaan di desa-desa yang dilakukan oleh Koorporasi Besar. Tentunya ini adalah lewat kemudahan yang dilakukan oleh pemerintah, melalui izin-izin pembebasan tanah, yang selama ini sudah menjadi sumber penghidupan masyarakat petani.

Jika negeri ini perlu perubahan dengan sebuah revolusi maka marilah anak-anak muda, putra dan putri bangsa kita bersatu untuk menentang bentuk penindasan dan kesewang-wenangan ini. Menolak berbagai hal yang akan menyengsarakan rakyat miskin terutama mereka yang hidup di desa-desa. Petani, nelayan, para buruh dan mereka yang tengah berjuang saat ini membutuhkan uluran tangan kita.
Jika kita hanya duduk diam dengan menikmati fasilitas dari Bapak/Ayah/Bokap atau Nyokap dengan penghasilan yang tinggi karena kerja dilingkup pemerintahan, sungguh tak bergunanya hidup kita jika tak memperhatikan kehidupan masyarakat miskin yang berjuang di luar sana. Sungguh tak bergunannya jika mata, telinga, tangan dan mulut kita tertutupi oleh kemewahan orang tua, sementara masyarakat tengah memperjuangkan hak-haknya yang akan di caplok oleh para koorporasi bangsat di negeri ini. Sungguh buta hati nuranimu jika tak ada ketukan dalam hatimu untuk ikut memperjuangkan hak-hak rakyat miskin akibat jajahan dari “anak kandung Negara” sendiri sementara kalian menikmati kemewahan dan berumah diatas angin.
Saya hanya mengutip satu kalimat seperti ini, “Sejarah perjuangan manusia/rakyat adalah sejarah perjuangan kelas, dan perjuangan kelas menjadi kekuatan pokok yang mendorong perkembangan masyarakat”. Iya, marilah gunakan kekuatan dan kemampuan intelek kita untuk memperjuangkan masyarakat miskin yang teralienasi di desa-desa di negeri kita ini.

                                                                                                   La ode Halaidin
                                                                                                   Kendari, 15 Oktober 2015

04 Oktober 2015

Memahami ‘Kesendirian’ bersama PAULO COELHO


Paulo Coelho seorang angota Brazillian Academy of letters yang terpilih sebagai pembawah Pesan Damai oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan, kesendirian bukan berarti tak berkawan, melainkan saat bagi jiwa kita untuk bebas berbicara dan membantu memutuskan yang hendak kita lakukan atas hidup kita. Lebih lanjut Paulo Coelho mengatakan dalam kesendirian, akan mereka temukan cinta yang kedatangannya mungkin luput dari perhatian. Dalam kesendirian, mereka akan memahamai dan menghargai cinta yang telah pergi.

***
Aku suda terbiasa dengan kesendirianku dalam hidup ini, hingga kata’kesendirian’ bukanlah sesuatu yang menakutkan dalam hidupku. Kesendirian merupakan fakta dan realitas kehidupan kita. Maka tanpa terkecuali kita harus menjalaninya. Kesendirian, Menyendiri/sendiri, teralienasi/pengasingan diri adalah keadaan yang melingkupi di kehidupan kita hari ini. Kesendirian bukanlah racun, tapi pupuk kehidupan yang kelak akan menjuntaikan semerbaknya dilangit-langit kehidupan. Dengan kesendirian-lah kita akan belajar banyak hal, belajar tentang cinta dan kasih sayang, belajar tentang hidup, belajar tentang kepedulian, keadilan antar sesama dan belajar untuk berkarya.

Hidup ini memang butuh kesendirian walaupun itu sejenak. Jika engkau tak pernah menyendiri atau mengasingkan diri sendiri maka engkau tak akan bisa memahami dirimu yang sebenarnya.

***
Hidup dengan kesendirian, selalu memunculkan tanda tanya besar dilingkungan sekitar kita, teman-teman bahkan keluarga kita. Bahkan terkadang orang-orang memberikan komentar negatif, dikalah kita dalam keadaan menyendiri.

Pertanyaan yang sering muncul adalah mengapa dia menyendiri? Apakah dia tidak bisa ber-sosial, bersahabat/berkawan atau bergaul dengan masyarakat? Apakah dia sedang pata hati karena putus cinta? Apakah dia tidak memiliki pacar karena dia tidak laku hingga akhirnya hidupnya terus menyendiri? Apakah dia…..dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lain, dengan adanya hidup kita dalam keadaan kesendirian.

Dalam kesendirian, orang terkadang menganggap kita dalam keadaan stress, jenuh dengan kehidupan hingga akhirnya kita dilabeli dengan orang-orang yang aneh. Anggapan itu ada benarnya. Benar dikatakan aneh, karena dengan kesendirian seseorang bisa menghasilkan karya-karya besar yang monumental, seperti Karl Marx menghasilakan karya Das Kapital yang setebal seribu halaman, Kahlil Gibran sang penyair yang dijuluki dengan pengarang SANG NABI, dan Jalaluddin Rumi sang penyair sufisme yang diberi gelar “Guru bagi para kaum sufi” atau “Rajanya sang penyair” pada masanya.

Orang-orang yang menyendiri memang adalah orang-orang yang aneh. Dengan kesendiriannya kita bisa memanfaatkan kekuatan imajinasinya, melalangbuana bersama imajinasinya untuk memahami kehidupan di alam ini, hingga dapat menghasilkan suatu karya-karya besar. Penulis sastra seperti halnya Pramoedya Ananta Toer, bisa menghasilkan karya besarnya dengan kesendiriannya, atau mengalami pengasingannya didalam penjara.


***
Ia, memang pada saat-saat yang paling krusial dalam hidup ini adalah pada saat kita sedang berada dalam kesendirian. Lihatlah para bayi yang baru lahir dalam kandungan ibunya. Betapapun orang datang untuk melihatnya atau didekati, namun kaputusan sang anak untuk hidup ada pada anak itu sendiri. Seorang seniman juga seperti itu, keindahan lukisannya yang akan dihasilkan tergantung pada seberapa besar ketenangannya untuk berdiam diri dalam kesendiriannya itu.

Seperti halnya cinta kata Paulo Coelho, tanpa kesendirian cinta takkan bertahan lama disampingmu. Sebab cinta perlu melepas lelah, supaya dapatlah dia berkelana di awan-awan surga dan menjelmakan dirinya dalam beragam rupa. Kesendirian bukan berarti tak ada cinta, melainkan justru menyempurnakannya, kata Paulo Coelho.

Marilah kita ‘Merawat Pohon Cinta’ itu, agar kelak tumbuh mengangkasa dan mengakar di jantung kehidupan.



                                                                        La ode Halaidin
                                                                        Kendari, 4 Oktober 2015