Kisah Seorang Nelayan di Purirano

Ini adalah cerita saat saya bertemu dengan nelayan di purirano. Keadaan mereka penuh dengan ketidakadilan.

Kenangan di Puncak Terindah Buton Selatan

Ini adalah bentuk penghayatan, akan indahnya alam. Olehnya itu, alam harus dijaga dengan baik agar kita hidup dalam penuh damai dan tentram.

Menggeluti Ilmu di Perguruan Tinggi

Bersama dengan ilmu pengetahuan kita dapat maju, bergerak dan bersaing dengan pihak-pihak lain. Mari, kita dahulukan pendidikan kita.

Sebuah Perjalanan di Muna Barat

Kami mencari keadilan atas masyarakat yang selama ini teralienasi. Lahan-lahan mereka dipermainkan oleh elit-elit desa, mengeruk keuntungan dengan membodohi masyarakat. Kami menolak dan melawan.

Mencari Keindahan di Danau Maleura

Di danau ini, ada panorama keindahan, yang membuat pengunjung sangat menikmati suasana. Hawa dingin dan air yang jernih dan terdapat banyaknya gua-gua. Ini keren kan. Adanya hanya di Muna.

28 Juni 2015

Dana Desa Dan Kesejahteraan


Filososfi Dana Desa : Meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan desa melalui peningkatan pelayanan publik di desa, memajukan perekonomian desa, mengatasi kesenjangan pembangunan antar desa serta memperkuat masyarakat desa sebagai subjek dari pembangunan.

Kami menyambut dengan baik dan mengapresiasi dengan mencairnya dana desa ini namun kami kelimpungan karena sampai hari ini kami masih kebingungan untuk menerapkannya. Seperti itulah ungkapan inti dari permasalahan masing-masing daerah Kabupaten di Sulawesi Tenggara dalam pertemuan Sosialisasi: Optimalisasi Penggunaan Dana Desa Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Perdesaan Pada BPK Perwakilan Provinsi Sulawesi Tenggara, yang diadakan di Hotel Clarion Kendari pada tanggal 25 Juni 2015.

Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa memang mempunyai momentum untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam melakukan berbagai pembangunan yang menjadi prioritas di wilayah-wilayah pinggiran. Pemberlakuan Undang-Undang tersebut juga merupakan bagian dari penguatan desa, sebagai desa yang otonom dalam melakukan pengelolaan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan ekonomi masyarakatnya. Undang-Undang desa ini tentu sejalan dengan visi dan misi pemerintah yang tercakup dalam program Nawa Cita yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat pembangunan daerah utamnya daerah perbatasan dan desa.

Namun yang menjadi pertanyaan di sini bagi saya adalah sesukses apakah pemerintah desa ketika akan menjalankan apa yang di instruksikan oleh Undang-Undang tersebut?. Apakah ini akan efektif? Saya percaya Undang-Undang atau aturan itu. Apalagi aturan tersebut mengenai hajat hidup untuk mengangkat ekonomi masyarakat miskin yang ada  di pedesaan. Tetapi yang perlu dicatat bahwa seringkali Undang-Undang tersebut selalu kalah ketika berbenturan dengan kepentingan elit politik dan para koorporasi besar di negeri ini. Dan tentunya pertanyaan diatas merupakan pertanyaan yang pesimis, karena mengingat kemampuan pemerintah desa memang sangat terbatas. Pertanyaan ke dua adalah akan seberapa efektifkah pemerintah desa ketika akan melakukan pengelolaan dana desa? Lagi-lagi ini merupakan pertanyaan yang pesimis karena mengingat kemampuann aparat desa didalam melakukan pengelolaan dana desa memang sangat minim dan tentu ini sangat mengkhawatirkan.

Mungkin kita semua akan sepakat bahwa dana desa, ujung jalannya atau muara akhirnya adalah kesejahteraan masyarakat pedesaan. Saya setujuh dengan apa yang dikatakan oleh nara sumber Abdul Rahman Farisi bahwa dengan banyaknya kemiskinan yang terjadi dipedesaan dari tahun 1970-an sampai sekarang maka dana desa tersebut sudah mempunyai relevansi untuk kemudian dialokasikan kepada masyarkat pedesaan karena dana desa tersebut memang sangat dibutuhkan oleh masyarakat pedesaan. Dengan banyaknya kemiskinan yang ada di pedesaan tersebut maka pemerintah mengeluarkan berbagai program yang hanya sekedar melompatkan masyarakat untuk menuju ke-keadaan yang sejahtera baik dibidang ekonomi maupun pendidikan.

Tak bisa dipungkiri banyak berbagai program pemerintah untuk hanya sekedar menegakan dada yang telah terlunta-lunta karena derita kemiskinan telah banyak dicanangkan selama ini. Program yang telah dicanangkan atau dilaksanakan mislanya seperti IDT, P2KP, PNPM, dan PEMP. Namun program-program ini tak banyak mengisahkan keberhasilan untuk mengangkat kesejahteraan masyarkat pedesaan di Indonesia tetapi yang terjadi sebaliknya “Banyak Kegagalan”. Saya memang tak mempunyai banyak bukti untuk menguraikan satu persatu program tersebut. Contoh yang paling mendekat dengan program yang gagal itu adalah Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) di Kabupaten Muna.

Program PEMP yang ada di Kabupaten Muna tak membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Tujuan yang digemahkan oleh program tersebut memang cukup indah jika didengar, seperti yang selama ini di paparkan oleh setiap penyelenggara sosialisasi di hotel-hotel termegah namun masyarakat selalu menelan luda pahit karena tak menuai hasil.

Permasalahan dalam pelaksanaan program PEMP ini adalah tidak memadainya atau tidak berkelanjutannya dalam proses pedampingan. Meskipun pelatihannya banyak dibiayai dari dana pendampingan namun dana itu tidak dipergunakan sesuai dengan kegiatan-kegiatan yang telah ditentukan. Inilah yang disebut dengan permainan kepentingan oleh para “Elit Desa”, yang selama ini selalu di motovasi untuk memburu rente. Selain itu, dibuktikan juga dengan tidak berjalannya pengawasan dan evaluasi mengenai aktivitas atau kegiatan ekonomi pemberdayaan itu karena tidak ada yang terlibat didalalamnya. Dan banyak lagi permasalahan lain silahkan baca di  (https://s2ppuns12.wordpress.com/).

Ia, kita setujuh bahwa desa identik dengan keterbelakangan pengetahuan namun mempunyai sumber-sumber penghasilan ekonomi. Keterbelakangan disini yang dimaksud adalah keterbatasan SDM seperti ketidak-tahuan mengenai teknologi atau pengoperaisan komputer yang dikarenakan minimnya lembaga pendidikan, informasi dan komunikasi dll. Tentunya hal ini, akan menjadi kendala yang sangat serius dalam pengoptimalisasian dana desa.

Di dalam sosialisasi itu, ada salah satu perwakilan dari Kabupaten Wakatobi bercerita bahwa pada saat itu perangkat di desanya disuruh untuk membuat pelaporan mengenai belanja keuangan desa, ternyata perangkat desa tersebut tidak bisa mengoperasikan komputer, akhirnya saya suruh saja untuk tulis tangan. Selain itu, perwakilan dari Kabupaten Kolaka Utara memberikan penjelasan bahwa kami sangat mengapresiasi Undang-Undang tersebut, tetapi dengan cairnya dana desa hari ini kami masih kebingunan untuk menerpakannya meskipun kami dan rata-rata semua Kabupaten tadi suda pada tahap pelaksanaan. Olehnya itu kami membutuhkan kejelasan yang disertai dengan proses sosialisasi di desa-desa , pelatihan dan pendampingan. Karena seperti yang di ungkapkan oleh perwakilan dari Kabupaten Muna tersebut jika salah kami menerapknya maka tentu ini akan berhadapan dengan proses hukum.

***
Saya menyimak dari semua yang dipertanyakan oleh masing-masing perwakilan dari kabupaten tersebut terkesan ada kekhawatiran dan ketidaksiapan untuk mencairkan dana desa itu ke-masing-masing desa. Ketidaksiapan itu antara lain, belum adanya pengetahuan perangkat desa mengenai penyusunan BUM-Desa, RPJM-Desa, Renstra-Desa dan persoalan-persoalan lain. Hal ini dikarenakan belum adanya sosialisasi pendampingan atau pelatihan yang dilakukan secara kesinambungan. Inilah yang menjadi polemik bagi pemerintah daerah bahwa aparat desa dalam mengelolah dana desa, memang sangat mengkhawatirkan dan muara akhirnya akan ke persoalan hukum. Apalagi permainan politik di desa sangat kuat. Bisa saja para “Elit Desa” akan memainkan dana desa yang berorientasi proyek sehingga akan mendorong rent seeker dan lebih dominan akan memanfaatkan program-program desa tersebut.

Memang dana desa ini membutuhkan suatu pengawasan bersama. Ketika Undang-Undang desa di gemahkan di senayan untuk secepatnya diberlakukan atau disahkan, banyak rakyat yang menunggu hal itu. Dengan senang hati rakyat terutama masyarakat pedesaan gembira dengan diberlakukannya Undang-Undang desa tersebut. Karena desa akan mempunyai otonom untuk mengelola segala sumber dayanya yang ada dengan dana dari negara. Desa akan melakukan pemberdayaan ekonomi dan pembangunan yang tentu untuk mengangkat taraf hidup masyarakat yang lebih sejahtera, mengurangi kemiskinan desa, dll Ketika hari ini dana desa dicairkan malah pemerintah daerah dan seluruh aparat desa khawatir karena akan berhadapan dengan masaalah yang sangat urgen. Salah satu nara sumber dalam sosialisasi tersebut mengatakan bahwa dana suda di desa dan membutuhkan kualitas sumber daya manusia untuk pengelolaanya karena akan mempengaruhi keefektifan dalam penggunaan dana desa tersebut.

Sebagai penutup saya ingin mengutip beberapa pendapat pemimpin-pemimpin dunia yang melegenda.

“Ditengah arus deras globalisasi banyak penduduk yang terpenjarah oleh “The Prison Of Poverty (Nelson Mandela). Namun ada cara untuk mengurangi atau sekedar meniadakan kemiskinan itu seperti yang dikatakan oleh Hugo Chaves “Jika kita hendak memberantas kemiskinan, kita harus memberi simiskin akses kekuasaan, pengetahuan, tanah, kredit, teknologi, dan organisasi”. Itulah satu-satunya untuk mengakhiri kemiskinan.

                                                                                               
La ode Halaidin
Kendari 28 juni 2015

26 Juni 2015

Skripsi Dan Sepakbola



Pada judul tulisan kali ini mungkin kita akan bertanya-tanya, apa hubunganya skripsi dan bola? Bukankah skripsi merupakan hasil karya ilmiah sedangkan bola hanya sebuah alat yang digunakan oleh para atlet sepakbola dalam setiap pertandingan di tengah lapangan. Atau bola merupakan bentuk bundar yang digiring-giring oleh seorang pemain ke pemain yang lain (dalam hal ini teman setim) untuk kemudian dicetak ke gawang lawan dan bla..bla.bla. Dari model bentuknya pun juga berbeda, skripsi dia panjang dengan menggunakan kertas sedangkan bola bentuknya bundar. Tapi pada tulisan ini, saya tidak akan membahas panjang lebar mengenai perbedaan-perbedaan itu.
 
Skripsi dan bola memang bertolak belakang, tak ada sangkut pautnya tetapi kita tak bisa memungkiri bahwa kedua merupakan hasil karya atau ciptaan sesorang. Skripsi hasil karya dan bola merupakan hasil karya dalam hal ini adalah pemikiran atau ciptaan dari ide seseorang. Kedua-duanya di hasilkan untuk memenuhi segala sesuatu yang dianggap sangat penting. Skripsi merupakan ilmu untuk perkembangan pengetahuan karena di situ ada sebuah penelitian dan bola adalah bagian dari ciptaan untuk kemajuan dalam persepakbolaan dunia. Bayangkan jika orang tak mengenyam pendidikan tinggi tiba-tiba langsung punya titel sarjana ekonomi mislanya, itu suda tentu sarjana abal-abal atau ada pemakaian ijaza palsu. 
 
Dalam pendidikan tinggi syarat untuk mendapatkan sarjana yaitu dengan melewati atau menyelesaikan suatu karya ilmiah atau skripsi. Dan dalam sepakbola alat yang digunakan untuk setiap kali melakukan pertandingan adalah dengan menggunakan sebuah bola. Bayangkan jika tak ada yang bisa menciptakan bola di dunia ini pasti tak akan ada yang namanya olahraga sepakbola. Olehnya itu skripsi dan bola sama-sama memerlukan suatu penyelesaian yang panjang, perenungan atau meditasi dan keuletan sangat diperlukan seseorang sehingga dapat menghasilkan suatu ciptaan yang berguna untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan sepakbola dunia. 
 
Hari-hari ini saya terus memikirkan untuk menyelesaikan studiku di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Halu Oleo. Namun terkadang ada rintangan tertentu untuk menyelesaikan skripsi itu, susah, bosan, malas pergi kesana kemari dan yang paling membebani pikiranku adalah modal/uang. Yaah ampun….. kalau ini maaahhh….otak saya kaya penuh bukan karena banyak membaca buku-buku tapi penuh kepusingan tak ada uang. Disinilah saya menyederhanakan pola pikiran itu, bahwa penyelesian skripsi terkadang agak sama dalam permainan sepakbola, ada kalah ada juga menang dan ada juga imbang. Tergantung kita seberapa besar kesungguhan, dan kesabaran untuk memetik hasil kemenangan itu. 
 
Dalam penyelesaian skripsi memang memakan waktu yang sangat panjang, tenaga dan pikiran banyak kita tuangkan hanya sekedar penyelesaian hasil karya ilmiah itu. Terkadang berbelit-belit, susah, bosan dan berbagai pikiran-pikiran lain yang menghinggapi di otak kita. Dalam menyelesaikan skripsi, tentu pertama kita harus mencari judul kemudian mengajukannya, jika suda ditendang mengarah ke-gawang dan menghasilkan gol, lalu membuat proposalnya. 
 
Untuk menghasilkan gol kedua dalam hal ini proposalnya akan dianggap baik tentu tidak muda, kita harus terus mengejar bola itu, lalu mengoceknya dari teman ke teman untuk mengarahkannya ke gawang itu. Untuk hasil akhirnya tergantung kepiawaian kita dalam membawakan bola serta selalu  memanfaatkan setiap kesempatan untuk menyerang, dan tentu juga harus di sertai dengan kerjasama dengan tim, teman-teman, dan juga pelatih. 
 
Seperti itulah bagaiaman saya menyamakan antara penyelesaian skripsi dengan permainan sepakbola. Kemarin ketika saya mengajukan judul proposal skripsi langsung diterimah namun diperbaikai dengan judul yang gampang dipahami. Arah, maksud dan tujuannya itu sama dan dibuat sedikit lebih simpel. Ketika selesai mengajukan judul teman saya memanggil, Gimana Halaidin judulnya? Jawabku, Alhamdulillah ditendang gol. Teman-teman itu pada bingung, maksudnya? Iya di terimah namun diperbaiki kalimatnya agar gampang untuk dipahami. Dalam pikiranku, ini adalah golku yang pertama untuk kemudian akan membawaku dalam menyelesaikan skripsi. 
 
Bagi saya penyelesaian skripsi sama dengan permainan sepakbola. Untuk menyelesaikan skripsi yang menjadi penyerang adalah diri sendiri. Diri sendirilah yang akan menciptakan gol-gol itu, sedangkan rekan-rekan setim hanyalah bagian kelompok untuk kemudian di ajak diskusi, dan meminta masukan dan pendapat mengenai proposal skripsi yang akan kita buat itu. 
 
Dalam sepakbola meskipun kita bukan penyerang toh tak ada salahnya pada saat menyerang sekali-sekali kita ikut dan naik kegawang lawan untuk menciptakan gol. Dan yang terpenting juga adalah bagaimana kemudian kita berusaha secara maksimal, membangun kerjasama dengan rekan-rekan setim, mendengarkan instruksi pelati dalam setiap latihan dll. Hingga akhirnya kita dapat bermain ditengah lapangan dengan penuh percaya diri, tanpa ada grogi atau ketakutan menghadapi lawan atau para pendukung-pendukung lawan. Bukankah kesabaran, keuletan dan kerjakeras akan membawah kita kepuncak tertinggi itu, yang selalu diimpikan oleh seorang pen-cita-cita untuk memetik buah-buah kesuksesan. Mungkin lebih baik kita mengatakan hal seperti ini “Kita Bisa dan Kita Harus Bisa”. Inilah obor semangat untuk mencapai gelar kesarjaan kita dalam menyelesaikan skripsi.


14 Juni 2015

Lihatlah Jalanan Yang Rusak Itu!





                                                                         Foto:Muliadin
                                                                      
Foto-foto ini diambil di salahsatu daerah Kabupaten terbaru di Sulawesi Tenggara yaitu Daerah Kabupaten Muna Barat. Perjalanan yang cukup jauh dengan jalan sepanjang mata memandang rusak, cukup memakan banyak tenaga.

Perjalanan ini sekitar sebulan yang lalu. Menyusuri Kecamatan Kambaara untuk melihat kantor perusahaan tebuh yang sekarang akan beroperasi di desa kami. Sekitar kurang lebih tiga jam perjalanan, tak ada satu pu jalanan yang normal alias bagus, semua berlubang. Sempat saya mengatakan kepada teman bahwa tenyata masih  ada saja, desa yang belum merdeka di negeri ini. Jalanan ini tak pantas di lewati kendaraan bermotor kecuali dengan kuda. Kembali pada masa kerajaan dulu dimana kendaraan yang sering di pakai adalah kuda.

Nama desa ini cukup unik buat saya, desa Sinar Surya. Cukup indah jika kita dengar namanya, namun banyak menyimpan kesan yang buruk kepada pemerintah setempat. Pemimpinnya menjabat sekitar lima tahun ini, terkesan tak ada usaha apapun untuk hanya sekedar memperbaiki jalananya. Jalanan yang rusak yang ada di Kabupaten Muna Barat ini suda menjadi penyakit kronis yang sudah lama tak dapat disembuhkan. Tak tau apa yang dilakukan pejabatnya selama memimpin ini, tentunya pejabat lama.
Masyarakatnya hanya menerima apa yang menjadi nasib mereka. Bersuara pun, suara mereka tak terdengarkan oleh pejabat itu. Sunggu ironis jika memikirkan kepahitan hidup masayarakat di desa ini.


Mengintip Dunia Melalui Buku



                                                                               Ilustrasi  
     
Mungkin kebanyakan orang tidak akan percaya jika kita bisa saja mengintip dunia ini hanya melalui buku tanpa kita berpijak melangkahkan kaki kita untuk  terbang dari dunia yang satu kedunia yang lain. Namun tak salah juga jika mereka tak percaya, jika selama hidupnya tak bersapa kata dengan sebuah buku.

Dengan buku, dunia kini terasa dekat. Kita bisa bercengkrama dengan dunia dalam setiap detik, tak kenal malam maupun siang karena ketika membuka sebuah buku maka dunia itu seakan jaraknya hanya sejengkal antara muka dan mata kita. Dan yang lebih membanggakan lagi, kita bisa langsung berpapasan dan ikut berpetualang langsung dengan setiap pergerakan dunia itu. Hmmm….rasanya dunia ini terasa dekat dengan adanya buku.

***
Hari ini, saya tak dapat rasanya tidur dengan nyenyak setelah membaca sebuah novel Lan Fang, judulnya Ciuman Di bawah Hujan. Meskipun novel terbilang terbitan lama, tapi saya sangat menikmati setiap tetesan kata-kata itu. Rasanya ingin menuliskan sesuatu setelah saya membaca tentang novel ini.Pemikiran itu terus datang dalam setiap detik ketika saya memejamkan mata. Maka terbangunlah dalam tidurku. Saya memikirkan tentang buku yang ku baca di perpustakaan beberapa hari yang lalu. Buku tersebut karya Rizal Mallarangeng yang berjudul Dari Langit: Kumpulan Esai tentang Manusia, Masyarakat dan Kekuasaan.
Dalam pengantarnya yang berjudul Setangkai Daun, Rizal Mallarangeng mengutip kata-kata George F. Will bahwa “Ide-Ide itu datang pada kita seperti buah anggur, berkelompok dan berderetan dalam tangkai yang sama. Kata-kata inilah yang membuat saya terngiung, bahwa ketika ide menulis itu datang maka itu akan terus menyerangmu bagaikan pasukan ninja samurai berkelompok dan selalu berderetan untuk mengibasmu dengan pedangnya hingga tak dapat memejamkan mata sekejap pun.
Sedikit saya ingin menceritkan novel diatas. Novel tersebut bukan hanya menceritakan kisah cinta seorang wartawan koran perempuan kepada soerang pejabat Dewan Perwakilan Rakyat, bukan hanya sebuah ciuman di bawah hujan yang selama ini selalu di nanti-nantikan. Tetapi seorang politisi yang bermata matahari yang tak pernah mampu menangkap asap dan juga seorang politisi yang berkaki angin yang terjebak basa gerimis.

Perempuan itu bernama Fung Lin seorang bermata sipit yang bekerja sebagai wartawan koran yang tiap harinya di kejar deadline untuk menyetorkan artikel di kantornya. Pada suatu waktu ia ingin mewawancarai seorang pejabat, anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang berhubungan dengan komisi tenaga kerja luar negeri. Fung lin melihat bahwa menulis berita ini sangat penting karena berkaitan dengan kehidupan para TKW Indonesia. Karena selama ini seperti yang diberitakan di teve sering para TKW diperlakukan tidak sesuai dengan kemanusiaan. Ada majikan yang memukuli, mengurung dan memerkosa pembatunya dan ada juga yang bermasaalah mengenai gaji, jam kerja dan berbagai tindakan kriminal majikan lainnnya.

Hingga pada suatu waktu bertemulah dengan pejabat itu dalam acara diskusi cerpen TKW, namanya Ari. Ari adalah pejabat yang biasa saja. Dia tak tampak seperti pejabat ketika mengikuti diskusi itu. Ketika pertemuan itu terjadi Fung Lin sempat berkata-kata dalam hatinya. Inikah seorang pejabat itu yang ditunggu-tunggu selama satu jam tadi! Ia pejabat nampak tak berdosa ketika terlambat, sedangkan penunggu adalah kewajibannya menunggu.
***
Pejabat memang sering melakukan hal-hal yang aneh ketika bertemu dengan masyarakat. Datang melambaikan tangan, dengan wajah yang tersenyum ramah karena memang tak pantas jika mereka bertemu dengan rakyatnya dengan wajah cemberut. Mimik wajah itu seakan-akan menunjukan bahwa tak ada beban sedikit pun yang dialaminya. Segalah keluhan dan suara rakyat selama ini sudah didengarkan dan diserap olehnya. Namun cukupkah hanya seperti itu tanpa di wujudkannya?

Rakyat tak hanya membutuhkan janji-janji ketika para pejabat berorasi. Rakyat tak hanya membutuhkan suaranya di dengarkan tanpa di wujudkannya dengan tindakan nyata. Sering kali memang rakyat sering berkotek-kotek, tetapi hal itu kemudian menguap begitu saja tanpa ada tindakan apapun. Seharusnya pejabat Dewan Perwakilan Rakyat itu memikirkan bahwa memang tugasnyalah mewujudkan apa yang diimpikan rakyatnya karena seperti itulah tugas yang diembannya sebagai wakil rakyat.
Yang paling manarik bagi saya dari novel ini adalah seorang politisi yang bernama Rafi, tiap hari selalu berdialektika dengan apa yang menjadi tugasnya sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Iya bertanya-tanya pada diri sendiri apakah keberadaanya sebagai wakil rakyat ataukah sebagai wakil partai politik.

Memang kita akui bahwa dalam setiap rapat paripurna anggota dewan, disana banyak kepentingan. Saya tak tahu apakah itu mereka memperjuangkan kepentingan rakyat ataukah kepentingan pribadi dan kelompok mereka terutama partai yang mengusungnya.

Seringkali Rafi memimpikan agar anak-anak pergi kesekolah dengan tas dan sepatu yang baru, memberikan berbagai macam buku-buku untuk kemudian mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan di dalamnya, tentunya agar kelak anak-anak tersebut menjadi orang yang pintar. Namun itu hanya mimpi yang tak berarti apa-apa. Semacam pementasan ludruk yang hanya dimainkan oleh pemain-pemain tua yang berusaha menyembunyikan keriput mereka. Inilah yang membuat Rafi di lemah, karena apa yang menjadi impiannya tak kesampaian karena di rapat itu hanya bagian dari pertarungan kepentingan oleh kelompok-kelompok tertentu.

Saya suka ketika dia ingin memberikan berbagai macam buku-buku, tentunya agar anak-anak desa tersebut dapat mengintip dunia lewat buku, meskipun mereka berada di pelosok-pelosok desa terpencil. Ini mengingatkan saya ketika masih duduk di SMP dan SMA yang tak dapat membaca satu karangan buku apapun. Ketika melihat ayah membaca, saya menunggunya sampai selesai kemudian mengambilnya untuk membacanya secara diam-diam. Di sekolah tak ada buku-buku sumbangan apapun dari pemerintah atau dari para pejabat itu. Saya berpikiran apakah para pejabat ini tak mau melihat anak-anak sebagai masa depan bangsa yang bisa mengecap kepintaran yang kemudian dapat mengantarkan mereka pada sinar kehidupan? Pada saat yang bersamaan ketika pemilihan umum tiba, pejabat itu berbondong-bondong untuk turun ke desa, menyapa masyarakat dengan tujuan meraih simpati masyarakat untuk mengumpulkan suara. Hanya itu…..sekali lagi hanya itu yang mereka perlukan kepada masyarakat.

Hal yang aneh memang dengan apa yang terjadi di negeri ini. Ada yang mengatakan bahwa anak-anak muda merupakan masa depan bangsa ini. Anak-anak harus berani bermimpi, namun terkadang mimpi itu hanya sekedar mimpi karena harus bertarung dengan kepahitan hidup mereka. Akhirnya mimpi hanya akan menjadi hak para pemain politik tua di negeri ini, yaitu mimpi berebut kursi.
***
Ini mengingatkan saya ketika berkunjung di salahsatu Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama di Buton Selatan. Saat itu saya menanyakan kepada Gurunya mengenai gedung yang tak terpakai itu. Guru ini mengatakan bahwa gedung itu adalah perpustakaan namun tak ada buku-bukunya. Waktu itu pemerintah setempat katanya akan menyumbangkan buku-buku tapi sampai sekarang belum ada satu pun buku yang di sumbangkan. Sungguh miris. Bagaimana bisa mengintip dunia lalu membuat anak-anaknya pintar kalau tak ada buku satupun!

Ia, buku memang akan menambah pengetahuan anak-anak bangsa ini. Kesempatan untuk mengenyam pendidikan merupkan dasar untuk mengecap bagaimana pentingnya ilmu pengetahuan melalui buku untuk kemudian di terapkan ke- kehidupan kita. Kita bisa mengenal dari dunia satu ke dunia yang lainnya hanya dengan melalui sebuah buku. Kita bisa mengetahui keadaan Negara Arab yang membangun hotel terbesar dan tertinggi di dunia di mekkah, dengan menghancurkan situs-situs bersejarah di sana. Kita bisa mengetahui perkembangan ekonomi Negara China yang melejit hingga menyaingi Negara Adidaya Amerika Serikat. Kita bisa mengetahui perbedaan kemakmuran di kedua sisi tapal batas antara warga kota Nogales Arizona dan warga kota Nogales Sonora di Amerika. Semua itu karena hanya sebuah buku.

Suatu ketika saya menyarankan teman untuk membeli buku-buku lalu dibacanya. Saya mengajaknya untuk ke tokoh buku pada waktu itu. Namun teman ini menolak, katanya saya tak suka membaca buku-buku. What? Saya hanya tersenyum kecut mendengar jawaban itu…..

                                               

                                                                                                  La ode Halaidin
                                                                                              Kendari, 14 Juni 2015