15 Maret 2015

Ketika Agama Hanya Menjadi Simbolik




Akhir-akhir ini, saya jarang sekali menonton sebuah acara di televisi nasional dan juga mengakses informasi-informasi mengenai perkembangan terkini di media social yang diakibatkan oleh kesibukan-kesibukan saya sebagai mahasiswa. Di saat yang bersamaan juga agak jarang membaca buku-buku, karena ada beberapa pekerjaan laporan yang menumpuk yang perlu saya selesaikan.

Dengan kebosanan dan kejenuhan yang sekalipun menghalangi apa yang menjadi hobi atau kesukaan saya untuk membaca serta belajar berselancar dengan kata-kata sebagaimana dikatakan oleh Yusran Darmawan, maka hari itu saya menempatkan diri untuk mencari buku-buku baru di sebuah tokoh buku terdekat. Saya teringat, ketika itu penolakan yang sapaan akrabnya Ahok akan di jadikan Gubernur DKI Jakarta. Penolakan itu dilakukan oleh kelompok organisasi Islami, Front Pembela Islam (FPI) yang dianggap sangat radikalisme. Penolakan mereka didasari karena Ahok bukan kalangan dari seorang Islam tetapi non-Islam yang dianggap tidak pantas untuk memimpin Jakarta.

Selain itu, saya teringat juga dengan para pelaku korupsi di Negara ini, hampir semua penganut agama baik Islam maupun non- Islam, dan orang-orang yang masuk partai politik baik yang bernuansa Islami atau nasionalis terseret didalam prilaku yang tidak terpuji ini bahkan rakyat memfonis mereka sebagai orang-orang yang tidak mempunyai moral, rusak mental perampas hak orang lain, dll sebagainya.

Dan atas dasar itulah dapat menimbulkan pertanyaan mendalam bagi saya. pertanyaanya apa sebenarnya yang melatarbelakangi semua itu sehingga mereka melakukan tindakan-tindakan yang justru tidak memberi sumbangsi terhadap kesejahteraan social? Mengapa organisasi yang mengatasnamakan Front Pembela Islam (FPI) tetapi radikalisme pada saat menolak Ahok sebagi Gubernur DKI Jakarta?

Bukankah Islam adalah agama yang mengajarkan tentang hubungan cinta damai, dan selalu ingin menciptakan suatu keharmonisan antar sesama. Mengapa yang katanya mereka adalah orang-orang yang bisa menjebatani rakyat atau bagian dari kepajangan tangan rakyat malah mereka merampas uang rakyat. Apakah mereka karena miskin ataukah tidak mengerti tentang hukum! Apakah mereka tidak mengerti tentang agama atau justru mereka adalah orang-orang yang paham agama! Atau apa? Bukankah semua agama mengajarkan kepada umatnya untuk selalu membawa keadilan, kesetaraan, ketentraman dan kedamayaan antar sesama umat manusia!. Lewat buku yang berjudul “ Ketika Makkah Menjadi Seperti Las Vegas” inilah saya mengetahui sedikit motiv-motiv yang terjadi di balik tirai-tirai hitam tersebut.

Korupsi dan kekerasan sering terjadi di Negara Indonesia, jika kita melihat deretan pemerintahan yang bersih dan juga tingkat kekerasan yang paling rendah maka Indonesia berada di urutan yang paling bawah jika dibandngkan dengan Negara-Negara lain. Pelaku korupsi pun dan tindak kekerasan baik seksual, maupun kekerasan dengan mengatas namakan agama tidak memandang bulu. Bahkan orang-orang yang tidak diragukan pengetahuannya tentang agama terjangkit oleh virus-virus kenikmatan ini. Di Indonesia perselisihan antar agama bahkan dalam agama yang sama yang cuman karena berbeda paham juga sering terjadi, misalnya di Poso, Ambon, dan konflik antara muhammadiya dan NU, dan Ahmadiyah dan Siy’ah yang dulu terjadi berbagai daerah.

Pluralisme. Terkadang orang-orang tertentu sangat berat untuk menerimah keberagaman bangsa Indonesia. Sebagai bangsa yang besar yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa, agama dan budaya, tentu kita tidak akan terlepas dari pluralisme ini. Kita akan mnenemukan keberagaman ini jika kita berkeinginan untuk berselancar dalam artian untuk mengunjungi pulau-pulau di Indonesia. Disana kita akan mendapatkan berbagai macam suku, ras, agama dan juga budaya. Dengan pluralisme ini tentu akan menuntut kita untuk selalu hidup berdampingan menciptakan keharmonisan, kedamayan, cinta antar sesama, kebebasan untuk memeluk agama tanpa mengklaim bahwa agamaku lah yang paling benar serta yang paling terpenting adalah tidak menciptakan konflik antar sesama.

Keberagaman bangsa kita seharusnya dijadikan sebagai basis kekuatan, dengan menyatukan segala daya, energy, dan juga pengetahuan untuk bersama-bersama membangun sebuah Negara yang lebih maju, harmonis dan tanpa membeda-bedakan antar sesama. Inilah harapan dan cita-cita Founding Father kita sebagaimana alur pemikirannya yang tertuang dalam Pancasila.

Yang akan menjadi kesalahan terbesar adalah ketika masing-masing agama atau dalam satu keyakinan yang sama mempertahankan ego atau mengklaim kebenaran agama atau paham mereka. Menebar kebenaran agama mereka tetapi tanpa mengakui keberadaan agama lain atau mengeluarkan fatwa bahwa aliran atau agama mereka adalah kafir. Hal ini tentu akan mengindikasikan suatu pertentangan yang panjang, bahkan akan menimbulkan suatu konflik yang besar seperti kejadian-kejadian sebelumnya.

Kita tidak perlu khawatir ketika mengakui keberadaan agama lain, dengan mengasumsikan bahwa kita tidak menganggap benar terhadap apa yang diyakini agama tersebut. Artinya bahwa kita tidak perlu berpindah keyakinan yang kemudian kita tidak mempercayai keyakinan agama yang kita anut serta kita hanya perlu sebatas mengakui bahwa setiap orang yang meyakini agamanya, ada unsur-unsur kebenaran. Hal ini tentu, tidak akan menimbulkan sikap-sikap yang intoleran, dan akan memperkuat kesadaran kita tentang kehidupan masyarakat yang sangat plural ini.

Oleh karena itu, kita tidak bisa menentang dan menundukan dengan sesuatu kesadaran yang tunggal, yang katanya selalu bertentangan dengan Sunnatullah. Sebagaimana yang dikutib dalam buku ini, dalam bahasa Prof. Amin Abdullah bahwa Penghormatan dan pengakuan terhadap kemungkinan adanya kebenaran agama lain tidak secara serta merta menjadikan keyakinan akan kebenaran agamanya menjadi tercerabut dari hatinya, hanya saja keyakinan akan kebenaran agamanya tidak disertai dengan penafian terhadap kemungkinan adanya kebenaran pada agama atau kepercayaan lain.

Pengetahuan Agama atau ilmu-ilmu Agama memang tidak hanya mengajarkan umatnya tentang ritual semata. Namun, mengajak kita untuk selalu mempunyai kepekaan terhadap ke universalan agama di bangsa ini. Bagaimana kemudian agama dijadikan sebagai fondasi untuk dapat mennyentuh dan memberikan sumbangsi terhadap kesejahteraan social. Menjadikan agama sebagai basis ilmu yang kemudian di Interkoneksikan dengan ilmu-ilmu lain. Menurut M. Amin Abdullah bahwa, dalam pradigma Integrasi dan Interkoneksi, Interkoneksi berkata kunci persinggungan/venn diagramming. Agama tidak bisa berdiri sendiri namun harus diinterkoneksikan dengan disiplin ilmu lain untuk berhadapan dengan dinamika social.

Ketika agama hanya dijadikan sebagai dogmatisme semata tanpa berkutat pada kemajemukan dan kemajuan yang konstruktif dan progresif terhadap perubahan bangsa dan dunia maka ini hanya akan menjadi sebuah agama yang mempunyai roh yang kosong tanpa makna. Mungkin inilah yang selalu dipertanyakan banyak orang, mengapa sebagian pejabat yang paham tentang ilmu agama, orang-orang yang mempunyai ketaatan ritual, dakwa, guru pesantren malah tidak menunjukan kesesuaian dengan prilaku mereka. Atau seperti yang dipertanyakan oleh Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarief Hidayattulah dalam buku ini bahwa “mengapa semarak dakwa dan ritual keagamaan di Indonesia tak mampu mengubah prilaku social dan birokrasi sebagaimana yang diajarkan islam, yang justru dipraktekan di Negara-negara sekuler? Tampaknya keberagaman kita lebih senang di level dan semarak ritual untuk mengejar kesalehan individual, tetapi menyepelekan kesalehan social”.

Kejahatan korupsi, ketidakadilan, kekerasan, pelecehan seksual telah menjadi pemandangan yang biasa terhadap negeri ini. Orang-orang akan sibuk mencari kesalehan individual serta mengabaikan kesalehan social seperti yang dikatakan oleh Komaruddin Hidayat. Orang-orang hanya akan mencari kesejahteraan individu dan kelompok tetapi mengabaikan kesejahteraan social. Seperti yang di katakan dalam buku ini menurut Syafaatun Almirzana bahwa pesan islam adalah tauhid dan keadilan. Dengan hal tersebut maka tidak ada alasan untuk mengabaikan dari pesan tersebut karena pada kenyataanya kita di dunia ini dilihat menyatu dengan yang Ilahi.

Dalam paradigma Holistik seperti yang dikatakan dalam buku ini memandang bahwa para korban, kaum tertindas, mereka yang menderita, kaum miskin, kaum marginal akan diperhatikan lebih dahulu dan mereka akan menjadi prioritas demi kebaikan keseluruhan. Dan secara Teologis orang beragama dapat mengatakan bahwa perjuangan untuk mendahulukan para korban itu merupakan partisipasi pada kerinduan Allah atau kerinduan yang Ultimate untuk menyelamatkan dan membahagiakan semua.

Pada kenyataanya memang, semua persoalan diatas kita tidak bisa hanya melihat pada satu aspek saja karena pada dasarnya semua prilaku manusia secara individu, kelompok atau secara kolektif dapat dipengaruhi dan ditentukan oleh banyak hal. Bisa persoalan Ideologi, kepentingan politik, keterbatasan tentang pemahaman agama dll. Namun disinilah yang paling terpenting untuk mengkaji atau bahkan merefolmulasi bahwa agama bukan hanya sekedar ritual formal semata atau sesuatu yang dogmatik saja. Seperti yang dikatakan oleh Porf. Amin Abdullah  bahwa beragama hendaknya selalu kritis-komprehensif karena agama tanpa ilmu akan mengarah ke feodalisme, fundamentalisme, dan eksklusifisme sehingga agama justru menjadi sumber ketidakadilan dan ketidakharmonisan antar-sesama umat manusia.

Agama seharusnya tidak hanya berkutat pada yang bersifat retorik, ideologis atau menjadi institusi yang bersifat eksklusif dan tentu seharusnya mampu memberi kontribusi terhadap kehidupan manusia, tidak kehilangan fungsi sosialnya sebagai penegak kesejahteraan social, pendorong kehidupan yang harmonis dan kesetaraan.

Dan ketika hal itu terjadi maka agama hanya akan menjadi “Empty Shell” sebagaimana yang dikatakan oleh Mirza Tirta Kusuma seorang Penulis dalam buku ini yaitu agama yang hanya menjadi simbolik atau formalisme yang tidak mempunyai spirit di dalamnya.

                                                                            
                                                                                  Kendari, 15 Maret 2015

0 komentar:

Posting Komentar