Akhir-akhir
ini, saya jarang sekali menonton sebuah acara di televisi nasional dan juga
mengakses informasi-informasi mengenai perkembangan terkini di media social
yang diakibatkan oleh kesibukan-kesibukan saya sebagai mahasiswa. Di saat yang
bersamaan juga agak jarang membaca buku-buku, karena ada beberapa pekerjaan
laporan yang menumpuk yang perlu saya selesaikan.
Dengan
kebosanan dan kejenuhan yang sekalipun menghalangi apa yang menjadi hobi atau
kesukaan saya untuk membaca serta belajar berselancar dengan kata-kata
sebagaimana dikatakan oleh Yusran Darmawan, maka hari itu saya menempatkan diri
untuk mencari buku-buku baru di sebuah tokoh buku terdekat. Saya teringat,
ketika itu penolakan yang sapaan akrabnya Ahok akan di jadikan Gubernur DKI
Jakarta. Penolakan itu dilakukan oleh kelompok organisasi Islami, Front Pembela
Islam (FPI) yang dianggap sangat radikalisme. Penolakan mereka didasari karena
Ahok bukan kalangan dari seorang Islam tetapi non-Islam yang dianggap tidak
pantas untuk memimpin Jakarta.
Selain
itu, saya teringat juga dengan para pelaku korupsi di Negara ini, hampir semua
penganut agama baik Islam maupun non- Islam, dan orang-orang yang masuk partai
politik baik yang bernuansa Islami atau nasionalis terseret didalam prilaku
yang tidak terpuji ini bahkan rakyat memfonis mereka sebagai orang-orang yang
tidak mempunyai moral, rusak mental perampas hak orang lain, dll sebagainya.
Dan
atas dasar itulah dapat menimbulkan pertanyaan mendalam bagi saya. pertanyaanya
apa sebenarnya yang melatarbelakangi semua itu sehingga mereka melakukan
tindakan-tindakan yang justru tidak memberi sumbangsi terhadap kesejahteraan
social? Mengapa organisasi yang mengatasnamakan Front Pembela Islam (FPI)
tetapi radikalisme pada saat menolak Ahok sebagi Gubernur DKI Jakarta?
Bukankah Islam adalah agama yang mengajarkan tentang hubungan cinta damai, dan selalu ingin menciptakan suatu keharmonisan antar sesama. Mengapa yang katanya mereka adalah orang-orang yang bisa menjebatani rakyat atau bagian dari kepajangan tangan rakyat malah mereka merampas uang rakyat. Apakah mereka karena miskin ataukah tidak mengerti tentang hukum! Apakah mereka tidak mengerti tentang agama atau justru mereka adalah orang-orang yang paham agama! Atau apa? Bukankah semua agama mengajarkan kepada umatnya untuk selalu membawa keadilan, kesetaraan, ketentraman dan kedamayaan antar sesama umat manusia!. Lewat buku yang berjudul “ Ketika Makkah Menjadi Seperti Las Vegas” inilah saya mengetahui sedikit motiv-motiv yang terjadi di balik tirai-tirai hitam tersebut.
Bukankah Islam adalah agama yang mengajarkan tentang hubungan cinta damai, dan selalu ingin menciptakan suatu keharmonisan antar sesama. Mengapa yang katanya mereka adalah orang-orang yang bisa menjebatani rakyat atau bagian dari kepajangan tangan rakyat malah mereka merampas uang rakyat. Apakah mereka karena miskin ataukah tidak mengerti tentang hukum! Apakah mereka tidak mengerti tentang agama atau justru mereka adalah orang-orang yang paham agama! Atau apa? Bukankah semua agama mengajarkan kepada umatnya untuk selalu membawa keadilan, kesetaraan, ketentraman dan kedamayaan antar sesama umat manusia!. Lewat buku yang berjudul “ Ketika Makkah Menjadi Seperti Las Vegas” inilah saya mengetahui sedikit motiv-motiv yang terjadi di balik tirai-tirai hitam tersebut.
Korupsi
dan kekerasan sering terjadi di Negara Indonesia, jika kita melihat deretan
pemerintahan yang bersih dan juga tingkat kekerasan yang paling rendah maka
Indonesia berada di urutan yang paling bawah jika dibandngkan dengan
Negara-Negara lain. Pelaku korupsi pun dan tindak kekerasan baik seksual,
maupun kekerasan dengan mengatas namakan agama tidak memandang bulu. Bahkan
orang-orang yang tidak diragukan pengetahuannya tentang agama terjangkit oleh
virus-virus kenikmatan ini. Di Indonesia perselisihan antar agama bahkan dalam
agama yang sama yang cuman karena berbeda paham juga sering terjadi, misalnya
di Poso, Ambon, dan konflik antara muhammadiya dan NU, dan Ahmadiyah dan Siy’ah
yang dulu terjadi berbagai daerah.
Pluralisme.
Terkadang orang-orang tertentu sangat berat untuk menerimah keberagaman bangsa
Indonesia. Sebagai bangsa yang besar yang terdiri dari berbagai macam suku
bangsa, agama dan budaya, tentu kita tidak akan terlepas dari pluralisme ini.
Kita akan mnenemukan keberagaman ini jika kita berkeinginan untuk berselancar
dalam artian untuk mengunjungi pulau-pulau di Indonesia. Disana kita akan
mendapatkan berbagai macam suku, ras, agama dan juga budaya. Dengan pluralisme
ini tentu akan menuntut kita untuk selalu hidup berdampingan menciptakan
keharmonisan, kedamayan, cinta antar sesama, kebebasan untuk memeluk agama
tanpa mengklaim bahwa agamaku lah yang paling benar serta yang paling
terpenting adalah tidak menciptakan konflik antar sesama.
Keberagaman
bangsa kita seharusnya dijadikan sebagai basis kekuatan, dengan menyatukan
segala daya, energy, dan juga pengetahuan untuk bersama-bersama membangun
sebuah Negara yang lebih maju, harmonis dan tanpa membeda-bedakan antar sesama.
Inilah harapan dan cita-cita Founding
Father kita sebagaimana alur pemikirannya yang tertuang dalam Pancasila.
Yang
akan menjadi kesalahan terbesar adalah ketika masing-masing agama atau dalam
satu keyakinan yang sama mempertahankan ego atau mengklaim kebenaran agama atau
paham mereka. Menebar kebenaran agama mereka tetapi tanpa mengakui keberadaan
agama lain atau mengeluarkan fatwa bahwa aliran atau agama mereka adalah kafir.
Hal ini tentu akan mengindikasikan suatu pertentangan yang panjang, bahkan akan
menimbulkan suatu konflik yang besar seperti kejadian-kejadian sebelumnya.
Kita
tidak perlu khawatir ketika mengakui keberadaan agama lain, dengan
mengasumsikan bahwa kita tidak menganggap benar terhadap apa yang diyakini
agama tersebut. Artinya bahwa kita tidak perlu berpindah keyakinan yang kemudian
kita tidak mempercayai keyakinan agama yang kita anut serta kita hanya perlu
sebatas mengakui bahwa setiap orang yang meyakini agamanya, ada unsur-unsur
kebenaran. Hal ini tentu, tidak akan menimbulkan sikap-sikap yang intoleran,
dan akan memperkuat kesadaran kita tentang kehidupan masyarakat yang sangat
plural ini.
Oleh
karena itu, kita tidak bisa menentang dan menundukan dengan sesuatu kesadaran
yang tunggal, yang katanya selalu bertentangan dengan Sunnatullah. Sebagaimana yang dikutib dalam buku ini, dalam bahasa
Prof. Amin Abdullah bahwa Penghormatan dan pengakuan terhadap kemungkinan
adanya kebenaran agama lain tidak secara serta merta menjadikan keyakinan akan
kebenaran agamanya menjadi tercerabut dari hatinya, hanya saja keyakinan akan
kebenaran agamanya tidak disertai dengan penafian terhadap kemungkinan adanya
kebenaran pada agama atau kepercayaan lain.
Pengetahuan
Agama atau ilmu-ilmu Agama memang tidak hanya mengajarkan umatnya tentang
ritual semata. Namun, mengajak kita untuk selalu mempunyai kepekaan terhadap ke
universalan agama di bangsa ini. Bagaimana kemudian agama dijadikan sebagai
fondasi untuk dapat mennyentuh dan memberikan sumbangsi terhadap kesejahteraan
social. Menjadikan agama sebagai basis ilmu yang kemudian di Interkoneksikan
dengan ilmu-ilmu lain. Menurut M. Amin Abdullah bahwa, dalam pradigma Integrasi
dan Interkoneksi, Interkoneksi berkata kunci persinggungan/venn diagramming. Agama tidak bisa berdiri
sendiri namun harus diinterkoneksikan dengan disiplin ilmu lain untuk
berhadapan dengan dinamika social.
Ketika
agama hanya dijadikan sebagai dogmatisme semata tanpa berkutat pada kemajemukan
dan kemajuan yang konstruktif dan progresif terhadap perubahan bangsa dan dunia
maka ini hanya akan menjadi sebuah agama yang mempunyai roh yang kosong tanpa
makna. Mungkin inilah yang selalu dipertanyakan banyak orang, mengapa sebagian
pejabat yang paham tentang ilmu agama, orang-orang yang mempunyai ketaatan
ritual, dakwa, guru pesantren malah tidak menunjukan kesesuaian dengan prilaku
mereka. Atau seperti yang dipertanyakan oleh Komaruddin Hidayat, Rektor UIN
Syarief Hidayattulah dalam buku ini bahwa “mengapa semarak dakwa dan ritual
keagamaan di Indonesia tak mampu mengubah prilaku social dan birokrasi
sebagaimana yang diajarkan islam, yang justru dipraktekan di Negara-negara
sekuler? Tampaknya keberagaman kita lebih senang di level dan semarak ritual
untuk mengejar kesalehan individual, tetapi menyepelekan kesalehan social”.
Kejahatan
korupsi, ketidakadilan, kekerasan, pelecehan seksual telah menjadi pemandangan
yang biasa terhadap negeri ini. Orang-orang akan sibuk mencari kesalehan
individual serta mengabaikan kesalehan social seperti yang dikatakan oleh
Komaruddin Hidayat. Orang-orang hanya akan mencari kesejahteraan individu dan
kelompok tetapi mengabaikan kesejahteraan social. Seperti yang di katakan dalam
buku ini menurut Syafaatun Almirzana bahwa pesan islam adalah tauhid dan
keadilan. Dengan hal tersebut maka tidak ada alasan untuk mengabaikan dari
pesan tersebut karena pada kenyataanya kita di dunia ini dilihat menyatu dengan
yang Ilahi.
Dalam
paradigma Holistik seperti yang dikatakan dalam buku ini memandang bahwa para
korban, kaum tertindas, mereka yang menderita, kaum miskin, kaum marginal akan
diperhatikan lebih dahulu dan mereka akan menjadi prioritas demi kebaikan
keseluruhan. Dan secara Teologis orang beragama dapat mengatakan bahwa
perjuangan untuk mendahulukan para korban itu merupakan partisipasi pada
kerinduan Allah atau kerinduan yang Ultimate
untuk menyelamatkan dan membahagiakan semua.
Pada
kenyataanya memang, semua persoalan diatas kita tidak bisa hanya melihat pada
satu aspek saja karena pada dasarnya semua prilaku manusia secara individu,
kelompok atau secara kolektif dapat dipengaruhi dan ditentukan oleh banyak hal.
Bisa persoalan Ideologi, kepentingan politik, keterbatasan tentang pemahaman
agama dll. Namun disinilah yang paling terpenting untuk mengkaji atau bahkan
merefolmulasi bahwa agama bukan hanya sekedar ritual formal semata atau sesuatu
yang dogmatik saja. Seperti yang dikatakan oleh Porf. Amin Abdullah bahwa
beragama hendaknya selalu kritis-komprehensif karena agama tanpa ilmu akan
mengarah ke feodalisme, fundamentalisme, dan eksklusifisme sehingga agama
justru menjadi sumber ketidakadilan dan ketidakharmonisan antar-sesama umat
manusia.
Agama
seharusnya tidak hanya berkutat pada yang bersifat retorik, ideologis atau
menjadi institusi yang bersifat eksklusif dan tentu seharusnya mampu memberi
kontribusi terhadap kehidupan manusia, tidak kehilangan fungsi sosialnya
sebagai penegak kesejahteraan social, pendorong kehidupan yang harmonis dan
kesetaraan.
Dan
ketika hal itu terjadi maka agama hanya akan menjadi “Empty Shell” sebagaimana
yang dikatakan oleh Mirza Tirta Kusuma seorang Penulis dalam buku ini yaitu
agama yang hanya menjadi simbolik atau formalisme yang tidak mempunyai spirit
di dalamnya.
Kendari, 15 Maret 2015
0 komentar:
Posting Komentar