Kisah Seorang Nelayan di Purirano

Ini adalah cerita saat saya bertemu dengan nelayan di purirano. Keadaan mereka penuh dengan ketidakadilan.

Kenangan di Puncak Terindah Buton Selatan

Ini adalah bentuk penghayatan, akan indahnya alam. Olehnya itu, alam harus dijaga dengan baik agar kita hidup dalam penuh damai dan tentram.

Menggeluti Ilmu di Perguruan Tinggi

Bersama dengan ilmu pengetahuan kita dapat maju, bergerak dan bersaing dengan pihak-pihak lain. Mari, kita dahulukan pendidikan kita.

Sebuah Perjalanan di Muna Barat

Kami mencari keadilan atas masyarakat yang selama ini teralienasi. Lahan-lahan mereka dipermainkan oleh elit-elit desa, mengeruk keuntungan dengan membodohi masyarakat. Kami menolak dan melawan.

Mencari Keindahan di Danau Maleura

Di danau ini, ada panorama keindahan, yang membuat pengunjung sangat menikmati suasana. Hawa dingin dan air yang jernih dan terdapat banyaknya gua-gua. Ini keren kan. Adanya hanya di Muna.

28 Maret 2015

Siapakah Intelektual dan Akademis Itu!

                                                           Sumber gambar: spetzta.blogspot.com

Pada kesempatan ini, saya tidak hendak menjeneralisir pandangan seseorang tentang ilmu-ilmu yang menarik atau terpenting yang hendak kita pelajari. Namun setiap orang, tentu mempunyai minat yang berbeda-beda untuk mempelajari, menganalisis ilmu-ilmu yang dianggapnya menarik, ilmu yang mempunyai magnet atau daya tarik sehingga kemudian setiap orang yang mempelajarinya bisa larut didalamnya.

Dari sini kita bisa beranggapan bahwa setiap orang bisa mengembangkan minat pengetahuannya, bukan hanya satu ilmu pengetahuan tetapi beberapa ilmu pengetahuan yang dianggapnya ilmu tersebut mempunyai daya tarik untuk kemudian bisa menyentuh, atau bisa memberikan perubahan atau kontribusi terhadap masyarakat.

Bagi saya setiap ilmu pengetahuan itu penting untuk kita pelajari, karena didalamnya terdapat mutiara-mutiara pengetahuan untuk kemudian selalu mengajak kita memahami lantunan makna akan kata-kata. Olehnya itu, setiap buku penting untuk kita baca atau mempelajarinya karena buku merupakan sebuah literature penting meskipun buku tersebut relative tidak tebal. Disanalah kita bisa menjelajah, berdendang dengan bahasa-bahasa yang penuh makna, serta mengajak kita untuk selalu mengembangkan ilmu tersebut sesuai dengan realita yang ada di masyarakat.

Bukankah setiap buku adalah ilmu. Oleh karena itu, kita tidak ada batasan untuk membaca atau mempelajari suatu ilmu tertentu tidak seperti kebanyakan para sarjana (scholar) yang hanya bergumul pada satu ilmu yang sangat sempit lalu mengaku seperti halnya seorang intelektual.
 
Beberapa hari ini, saya selalu mendengarkan cerita orang-orang, tentang kepandaian atau kecerdasanya seseorang dalam menguasai atau memahami suatu ilmu pengetahuan. Banyak orang yang memujinya, bahkan memuja yang danggapnya pintar tersebut. Dia di ibaratkan seperti Dewa Hades yang dianggap selalu memberikan keagungan. Ajaran Hades dalam film The Wrath Of Vajra beranggapan jika seseorang dapat mengagumi semangat Hades maka dia akan menguasai Asia bahkan dunia yang kemudian akan mengalami masa kedamaian.

Disini saya ingin menghaturkan beribu-ribu kata maaf. Saya bukan berarti tidak mengakui kehebatan sesorang dan menganggap bahwa orang-orang tersebut merupakan kutu pengetahuan. Bagi saya kepintaran seseorang bukan hanya dinilai dari retorika belaka atau sekolah yang tinggi yang suda melalui sekolah Master atau Doktor. 

Kehebatan tidak hanya dinilai dari satu sisi yang kemudian menebar atau melakukan pengembaraan sebuah wacana dan intelektualisme belaka. Tetapi mereka yang memiliki kecerdasan adalah mereka yang selalu peka, dan selalu menggunakan mata batinnya untuk melihat realita untuk kemudian memberikan sebuah solusi, untuk menemukan titik problem yang ada dimasyarakat.

Disanalah kita dapat melihat pergumulan ide-ide dan gagasan mereka. Mereka yang cerdas adalah mereka yang tidak pernah gentar serta peduli akan realita social. Mereka yang hebat adalah mereka yang peduli akan dinamika serta perkembangan yang ada, yang kemudian mampu memberikan pandangan bagaimana seharusnya nilai-nilai yang luhur mampu diterapkan dalam kehidupan masyarakat.

Dan mereka dikatakan intelektual adalah mereka yang bergumul dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat, bangsa dan kemanusiaan (Howard M. Federspiel).  Tidak hanya focus satu ilmu pengetahuan yang menurut saya sangat sempit tetapi mampu menginterkoneksikan dengan melibatkan diri dalam pergumulan ilmu-ilmu yang lain. Oleh karena itu seorang intelektual bagi saya adalah orang yang mempunyai kepekaan serta mampu memberikan inspirasi dan perubahan ditengah kehidupan masyarakat.

Mungkin para pemikir ilmu-ilmu social benar yang mengatakan bahwa setiap pengetahuan selalu merupakan bentuk dari representase dari jiwa dan pikiran. Bukan yang kemudian pengetahuan semata-mata dibahas dengan teori penalaran praktis seperti yang di gambarkan oleh Karl Marx.

Sebagaimana Karl Marx dalam teorinya tentang penalaran praktis dalam konteks filsafat dan teori social menekankan bahwa manusia hidup dalam dunia nyata yang sudah diciptakan sebelumnya, sebuah dunia nyata yang memiliki status kebenaran faktual yang intrisik. Jadi aktivitas manusia untuk mengetahui adalah hanya menerima informasi dari sebuah dunia luar.

Manusia dalam mencari ilmu pengetahuan melalui perenungan pasif tentang struktur-struktur yang objektif. Teori seperti ini merupakan bentuk dari salah satu varietas  materialisme. Inilah yang kemudian dianggap suatu teori tentang materi yang mendahului pikiran.

Tentu sangat berbeda antara seorang intelektual dan intelegensia atau sarjana (scholar). seorang intelektual adalah bukanlah orang yang selalu berumah diatas angin yang kemudian terasing dari masyarakat tetapi ia selalu mengorientasikan dirinya untuk kepentingan masyarakat.

Lain halnya dengan seorang intelegensia atau sarjana (scholar) yang lebih suka sibuk melakukan pencarian pengembaraan keilmuannya dan akademisnya yang bukan tidak sering sangat sempit. Meskipun kita mengakui bahwa ada juga seseorang intelegensia atau sarjana (scholar) sekaligus dianggap sebagai intelektual ketika mereka keluar dari kungkungan keilmuan yang sempit tersebut.

Olehnya itu, sehubungan dengan orang-orang yang katanya sangat hebat tadi, saya tidak perlu mengajukan dua jempol atau bahkan satu jempol untuk kehebatanmu tetapi cukup dengan hanya setengah jempol. Itu tanda bahwa saya tidak iri dan selalu mengakui kehebatan seseorang, toh saya tau bahwa engkau hanyalah seorang akademis yang berumah diatas angin. Mungkin engkau juga adalah seorang Marxisme yang terpengaruh dan selalu mengajarkan ide-ide Marx-Engels yang menganggap bahwa Alam dikonsepsikan sebagai sebuah benda padat yang mati dan kuat.
                                                                                     
Kendari, 28 Maret 2015

17 Maret 2015

Yusran Darmawan, Tulisan Dan Inspirasi Yang Tak Usai

                                                                    Yusran Darmawan, Ara dan Istri

Ketika itu, awal dari sebuah pertemuan dalam acara dialog dengan Yusran Darmawan bersama dengan mahasiswa Ekonomi di fakultas Ekonomi dan Bisnis UHO. Pada setiap acara dialog, kami sangat menyambut baik setiap pemateri yang datang dalam memberikan atau menyampaikan materi-materinya ilmianya, atau hanya sekedar untuk menginspirasi dan memotivasi kami.

Dialog atau diskusi merupakan bukan hal yang membosankan buat kami. Kami bersemangat menyambut setiap pemateri yang datang, termasuk kedatangan Yusran Darmawan. Ketika itu, diantara kami mungkin belum banyak yang tau, Yusran Darmawan itu seorang apa dan asalnya dimana, termasuk saya sendiri. Pada acara dialog itu, Yusran Darmawan selalu menyeruhkan agar kami menulis dan menulis, serta memotivasi kami untuk selalu punya mimpi. Bagiku Yusran Darmawan adalah bukanlah seorang motivator seperti kebanyakan orang, dia hanyalah orang yang selalu membawa inspiratif dimanapun dia berada, orang yang sangat peduli dan setia kepada kepenulisan. Orang yang selalu menebar benih gagasan, dan selalu berhasil membawa sesorang kepenjelajahan dan kepenalaran makna kata-kata. 

Pertemuan itulah yang membawa kami suatu inspirasi dan motivasi baru. Bagiku Yusran Darmawan adalah Lentera Pencerah yang selalu membawah pencerahan dalam memperbaiki  kami, ketika berada dalam kungkungan kegelisahan sebagai mahasiswa. Karena selama ini tak tau arah, kemana akan mengalirkan ide dan menancapkan kata-kata itu.

Yusran Darmawan dalam tulisannya selalu memberikan banyak hikmah dan pelajaran yang bisa dipetik. Selalu membawa kepenelaran dan kepenjelajahan dimana dia selalu menajamkan mata penahnya. Semua itu ada, karena kepiawaiannya dalam mengamati dan memonitor. Semua itu karena tulisan-tulisannya. Semua karena ketidakletihannya dalam membuka lembaran-lembaran buku dan menjelajah yang kemudian ditancapkannya di depan leptop/komputer. Semua karena Yusran Darmawan dan kepandaiannya yang selalu menancapkan mata penahnya, telah merubah saya pribadi untuk selalu belajar berselancar dalam merangkai kata-kata. 

***
Didalam blognya dia selalu membagikan cerita-cerita sederhana tetapi sangat menakjubkan dan mencerahkan. Setiap wilayah yang dia kunjungi, setiap buku yang dibaca itu tidak akan sungkan-sungkan untuk menuliskannya, mengabadikannya, mmembagikannya yang kemudian selalu mengajak orang untuk selalu menganalisanya. Disanalah kita akan terbawa lantunan kata-kata yang indah, penyemangat dan juga penuh makna. 

Terimah kasih Yusran Darmawan atas blog-blognya. Saat ini saya telah berada dalam proses penemuan jati diri. Dia mengatakan dalam tulisanmu bahwa menulis itu ibarat otot yang harus terus-menerus dilatih. Tanpa latihan maka tulisan hanya akan menjadi hambar, kehilangan daya getar dan sentuhan magis. Tanpa latihan, tulisan hanya akan menjadi seonggok kata yang tak membawa makna, tak membawa impresi dan tak punya daya sengat.

Olehnya itu, dengan penuh keterbatasan ini saya akan terus berlatih, berselancar dengan kata-kata sekecil dan sesederhana apapun itu. Saya teringat dengan tulisannya yang mengatakan bahwa menulis adalah jalan pedang. Pedang yang di maksud adalah sebagai filosofi hidup dan simbol pemahaman. Dia menganggap bahwa itu adalah semcam panggilan jiwamu untuk membenahi dan membelah kaum yang dibungkam, sekecil dan sesederhana apapun usahamu.

Terimah kasih juga kepada Kanda Samsul Anam Illahi yang selalu menyeruhkan kami untuk selalu belajar menulis dan banyak membaca. Bagiku engkau adalah sosok Guru panutan yang tak pernah letihnya memberi kami jalan pedang itu ketika kami berada dalam lorong gelap yang selama ini kami tidak pernah menemui arah pedang itu. Ketika orang lain menjaga jarak, engkau malah merangkul kami yang penuh dengan keterbatasan ini. Terimah kasih juga karena engkau telah memperkenalkan kami seorang sosok inspiratif dalam dunia kepenulisan (Yusran Darmawan) sehingga kami dengan senang hati mengunjungi blog-blognya.**


Sumber Gambar : timurangin@yahoo.com

15 Maret 2015

Ketika Agama Hanya Menjadi Simbolik




Akhir-akhir ini, saya jarang sekali menonton sebuah acara di televisi nasional dan juga mengakses informasi-informasi mengenai perkembangan terkini di media social yang diakibatkan oleh kesibukan-kesibukan saya sebagai mahasiswa. Di saat yang bersamaan juga agak jarang membaca buku-buku, karena ada beberapa pekerjaan laporan yang menumpuk yang perlu saya selesaikan.

Dengan kebosanan dan kejenuhan yang sekalipun menghalangi apa yang menjadi hobi atau kesukaan saya untuk membaca serta belajar berselancar dengan kata-kata sebagaimana dikatakan oleh Yusran Darmawan, maka hari itu saya menempatkan diri untuk mencari buku-buku baru di sebuah tokoh buku terdekat. Saya teringat, ketika itu penolakan yang sapaan akrabnya Ahok akan di jadikan Gubernur DKI Jakarta. Penolakan itu dilakukan oleh kelompok organisasi Islami, Front Pembela Islam (FPI) yang dianggap sangat radikalisme. Penolakan mereka didasari karena Ahok bukan kalangan dari seorang Islam tetapi non-Islam yang dianggap tidak pantas untuk memimpin Jakarta.

Selain itu, saya teringat juga dengan para pelaku korupsi di Negara ini, hampir semua penganut agama baik Islam maupun non- Islam, dan orang-orang yang masuk partai politik baik yang bernuansa Islami atau nasionalis terseret didalam prilaku yang tidak terpuji ini bahkan rakyat memfonis mereka sebagai orang-orang yang tidak mempunyai moral, rusak mental perampas hak orang lain, dll sebagainya.

Dan atas dasar itulah dapat menimbulkan pertanyaan mendalam bagi saya. pertanyaanya apa sebenarnya yang melatarbelakangi semua itu sehingga mereka melakukan tindakan-tindakan yang justru tidak memberi sumbangsi terhadap kesejahteraan social? Mengapa organisasi yang mengatasnamakan Front Pembela Islam (FPI) tetapi radikalisme pada saat menolak Ahok sebagi Gubernur DKI Jakarta?

Bukankah Islam adalah agama yang mengajarkan tentang hubungan cinta damai, dan selalu ingin menciptakan suatu keharmonisan antar sesama. Mengapa yang katanya mereka adalah orang-orang yang bisa menjebatani rakyat atau bagian dari kepajangan tangan rakyat malah mereka merampas uang rakyat. Apakah mereka karena miskin ataukah tidak mengerti tentang hukum! Apakah mereka tidak mengerti tentang agama atau justru mereka adalah orang-orang yang paham agama! Atau apa? Bukankah semua agama mengajarkan kepada umatnya untuk selalu membawa keadilan, kesetaraan, ketentraman dan kedamayaan antar sesama umat manusia!. Lewat buku yang berjudul “ Ketika Makkah Menjadi Seperti Las Vegas” inilah saya mengetahui sedikit motiv-motiv yang terjadi di balik tirai-tirai hitam tersebut.

Korupsi dan kekerasan sering terjadi di Negara Indonesia, jika kita melihat deretan pemerintahan yang bersih dan juga tingkat kekerasan yang paling rendah maka Indonesia berada di urutan yang paling bawah jika dibandngkan dengan Negara-Negara lain. Pelaku korupsi pun dan tindak kekerasan baik seksual, maupun kekerasan dengan mengatas namakan agama tidak memandang bulu. Bahkan orang-orang yang tidak diragukan pengetahuannya tentang agama terjangkit oleh virus-virus kenikmatan ini. Di Indonesia perselisihan antar agama bahkan dalam agama yang sama yang cuman karena berbeda paham juga sering terjadi, misalnya di Poso, Ambon, dan konflik antara muhammadiya dan NU, dan Ahmadiyah dan Siy’ah yang dulu terjadi berbagai daerah.

Pluralisme. Terkadang orang-orang tertentu sangat berat untuk menerimah keberagaman bangsa Indonesia. Sebagai bangsa yang besar yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa, agama dan budaya, tentu kita tidak akan terlepas dari pluralisme ini. Kita akan mnenemukan keberagaman ini jika kita berkeinginan untuk berselancar dalam artian untuk mengunjungi pulau-pulau di Indonesia. Disana kita akan mendapatkan berbagai macam suku, ras, agama dan juga budaya. Dengan pluralisme ini tentu akan menuntut kita untuk selalu hidup berdampingan menciptakan keharmonisan, kedamayan, cinta antar sesama, kebebasan untuk memeluk agama tanpa mengklaim bahwa agamaku lah yang paling benar serta yang paling terpenting adalah tidak menciptakan konflik antar sesama.

Keberagaman bangsa kita seharusnya dijadikan sebagai basis kekuatan, dengan menyatukan segala daya, energy, dan juga pengetahuan untuk bersama-bersama membangun sebuah Negara yang lebih maju, harmonis dan tanpa membeda-bedakan antar sesama. Inilah harapan dan cita-cita Founding Father kita sebagaimana alur pemikirannya yang tertuang dalam Pancasila.

Yang akan menjadi kesalahan terbesar adalah ketika masing-masing agama atau dalam satu keyakinan yang sama mempertahankan ego atau mengklaim kebenaran agama atau paham mereka. Menebar kebenaran agama mereka tetapi tanpa mengakui keberadaan agama lain atau mengeluarkan fatwa bahwa aliran atau agama mereka adalah kafir. Hal ini tentu akan mengindikasikan suatu pertentangan yang panjang, bahkan akan menimbulkan suatu konflik yang besar seperti kejadian-kejadian sebelumnya.

Kita tidak perlu khawatir ketika mengakui keberadaan agama lain, dengan mengasumsikan bahwa kita tidak menganggap benar terhadap apa yang diyakini agama tersebut. Artinya bahwa kita tidak perlu berpindah keyakinan yang kemudian kita tidak mempercayai keyakinan agama yang kita anut serta kita hanya perlu sebatas mengakui bahwa setiap orang yang meyakini agamanya, ada unsur-unsur kebenaran. Hal ini tentu, tidak akan menimbulkan sikap-sikap yang intoleran, dan akan memperkuat kesadaran kita tentang kehidupan masyarakat yang sangat plural ini.

Oleh karena itu, kita tidak bisa menentang dan menundukan dengan sesuatu kesadaran yang tunggal, yang katanya selalu bertentangan dengan Sunnatullah. Sebagaimana yang dikutib dalam buku ini, dalam bahasa Prof. Amin Abdullah bahwa Penghormatan dan pengakuan terhadap kemungkinan adanya kebenaran agama lain tidak secara serta merta menjadikan keyakinan akan kebenaran agamanya menjadi tercerabut dari hatinya, hanya saja keyakinan akan kebenaran agamanya tidak disertai dengan penafian terhadap kemungkinan adanya kebenaran pada agama atau kepercayaan lain.

Pengetahuan Agama atau ilmu-ilmu Agama memang tidak hanya mengajarkan umatnya tentang ritual semata. Namun, mengajak kita untuk selalu mempunyai kepekaan terhadap ke universalan agama di bangsa ini. Bagaimana kemudian agama dijadikan sebagai fondasi untuk dapat mennyentuh dan memberikan sumbangsi terhadap kesejahteraan social. Menjadikan agama sebagai basis ilmu yang kemudian di Interkoneksikan dengan ilmu-ilmu lain. Menurut M. Amin Abdullah bahwa, dalam pradigma Integrasi dan Interkoneksi, Interkoneksi berkata kunci persinggungan/venn diagramming. Agama tidak bisa berdiri sendiri namun harus diinterkoneksikan dengan disiplin ilmu lain untuk berhadapan dengan dinamika social.

Ketika agama hanya dijadikan sebagai dogmatisme semata tanpa berkutat pada kemajemukan dan kemajuan yang konstruktif dan progresif terhadap perubahan bangsa dan dunia maka ini hanya akan menjadi sebuah agama yang mempunyai roh yang kosong tanpa makna. Mungkin inilah yang selalu dipertanyakan banyak orang, mengapa sebagian pejabat yang paham tentang ilmu agama, orang-orang yang mempunyai ketaatan ritual, dakwa, guru pesantren malah tidak menunjukan kesesuaian dengan prilaku mereka. Atau seperti yang dipertanyakan oleh Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarief Hidayattulah dalam buku ini bahwa “mengapa semarak dakwa dan ritual keagamaan di Indonesia tak mampu mengubah prilaku social dan birokrasi sebagaimana yang diajarkan islam, yang justru dipraktekan di Negara-negara sekuler? Tampaknya keberagaman kita lebih senang di level dan semarak ritual untuk mengejar kesalehan individual, tetapi menyepelekan kesalehan social”.

Kejahatan korupsi, ketidakadilan, kekerasan, pelecehan seksual telah menjadi pemandangan yang biasa terhadap negeri ini. Orang-orang akan sibuk mencari kesalehan individual serta mengabaikan kesalehan social seperti yang dikatakan oleh Komaruddin Hidayat. Orang-orang hanya akan mencari kesejahteraan individu dan kelompok tetapi mengabaikan kesejahteraan social. Seperti yang di katakan dalam buku ini menurut Syafaatun Almirzana bahwa pesan islam adalah tauhid dan keadilan. Dengan hal tersebut maka tidak ada alasan untuk mengabaikan dari pesan tersebut karena pada kenyataanya kita di dunia ini dilihat menyatu dengan yang Ilahi.

Dalam paradigma Holistik seperti yang dikatakan dalam buku ini memandang bahwa para korban, kaum tertindas, mereka yang menderita, kaum miskin, kaum marginal akan diperhatikan lebih dahulu dan mereka akan menjadi prioritas demi kebaikan keseluruhan. Dan secara Teologis orang beragama dapat mengatakan bahwa perjuangan untuk mendahulukan para korban itu merupakan partisipasi pada kerinduan Allah atau kerinduan yang Ultimate untuk menyelamatkan dan membahagiakan semua.

Pada kenyataanya memang, semua persoalan diatas kita tidak bisa hanya melihat pada satu aspek saja karena pada dasarnya semua prilaku manusia secara individu, kelompok atau secara kolektif dapat dipengaruhi dan ditentukan oleh banyak hal. Bisa persoalan Ideologi, kepentingan politik, keterbatasan tentang pemahaman agama dll. Namun disinilah yang paling terpenting untuk mengkaji atau bahkan merefolmulasi bahwa agama bukan hanya sekedar ritual formal semata atau sesuatu yang dogmatik saja. Seperti yang dikatakan oleh Porf. Amin Abdullah  bahwa beragama hendaknya selalu kritis-komprehensif karena agama tanpa ilmu akan mengarah ke feodalisme, fundamentalisme, dan eksklusifisme sehingga agama justru menjadi sumber ketidakadilan dan ketidakharmonisan antar-sesama umat manusia.

Agama seharusnya tidak hanya berkutat pada yang bersifat retorik, ideologis atau menjadi institusi yang bersifat eksklusif dan tentu seharusnya mampu memberi kontribusi terhadap kehidupan manusia, tidak kehilangan fungsi sosialnya sebagai penegak kesejahteraan social, pendorong kehidupan yang harmonis dan kesetaraan.

Dan ketika hal itu terjadi maka agama hanya akan menjadi “Empty Shell” sebagaimana yang dikatakan oleh Mirza Tirta Kusuma seorang Penulis dalam buku ini yaitu agama yang hanya menjadi simbolik atau formalisme yang tidak mempunyai spirit di dalamnya.

                                                                            
                                                                                  Kendari, 15 Maret 2015