Kisah Seorang Nelayan di Purirano

Ini adalah cerita saat saya bertemu dengan nelayan di purirano. Keadaan mereka penuh dengan ketidakadilan.

Kenangan di Puncak Terindah Buton Selatan

Ini adalah bentuk penghayatan, akan indahnya alam. Olehnya itu, alam harus dijaga dengan baik agar kita hidup dalam penuh damai dan tentram.

Menggeluti Ilmu di Perguruan Tinggi

Bersama dengan ilmu pengetahuan kita dapat maju, bergerak dan bersaing dengan pihak-pihak lain. Mari, kita dahulukan pendidikan kita.

Sebuah Perjalanan di Muna Barat

Kami mencari keadilan atas masyarakat yang selama ini teralienasi. Lahan-lahan mereka dipermainkan oleh elit-elit desa, mengeruk keuntungan dengan membodohi masyarakat. Kami menolak dan melawan.

Mencari Keindahan di Danau Maleura

Di danau ini, ada panorama keindahan, yang membuat pengunjung sangat menikmati suasana. Hawa dingin dan air yang jernih dan terdapat banyaknya gua-gua. Ini keren kan. Adanya hanya di Muna.

20 Desember 2022

Membongkar Para Beking Tambang Ilegal

 

Ilustrasi Mafia (Sumber Foto: Pixabay)


Belum hilang ingatan kita, tentang keterlibatan seorang anggota polisi yang mengelola sebuah tambang emas ilegal di Bulungan, Kalimantan Utara. Namanya Briptu Hasbudi, polisi berpangkat bintara yang bertugas di Polairud, Polda, Kalimantan Utara.

Ia adalah pemilik atau bos sekaligus koordinator tambang emas ilegal itu. Selama dua tahun melakukan aktivitas penambangan emas secara ilegal, Hasbudi berhasil mengumpulkan pundi-pundi uang hingga membuatnya kaya.

Bisnisnya menggurita. Asal kekayaanya bukan saja dari tambang emas ilegal, tapi berupa usaha pengiriman pakayan bekas dan bisnis daging yang ilegal pula. Bahkan polisi saat melakukan penggeledahan menemukan, didalam pengiriman pakayan bekas diselipkan narkoba. Hasil dari kegiatan ilegal itu diduga mengalir kesejumlah pihak.

Tentu ini bukan sebuah kejadian luar biasa, yang membuat saya tercengang. Kasus Hasbudi sebenarnya hendak mengkonfirmasi jika aparat penegak hukum memang rentan bermain tambang ilegal. Ada yang terendus dan ada pula yang belum terendus.

Kasus Hasbudi, hanya segelintir kasus yang terendus, kena sial, dan harus ditangkap ketika berada di bandara saat hendak melarikan diri.

Apakah benar dia menikmati sendiri? Saya sangat ragu dengan itu. Sudah menjadi rahasia umum jika ada saja polisi mencari “pelarian” untuk menghasilkan pendapatan tambahan. Ada yang bermain-main dengan bisnis narkoba. Atau bisnis lain, seperti desas desus bermain dengan judi online.

Apakah hanya itu? Tentu saja tidak. Ada dugaan yang muncul bahwa senior-senior mereka telah lama keasyikan bermain di sektor tambang. Mereka biasanya dengan membentuk geng atau kelompok yang kemudian menjadi bekingan para mafia. Gerakan mereka senyap. Gerakan itu sangat terkoordinasi dengan baik, bermain di sudut-sudut pusaran mafia pertambangan ilegal.

Yang terbaru adalah pengakuan Ismail Bolong, seorang perwira polisi berpangkat Aiptu, yang bertugas di Polresta Samarinda, Kalimantan Timur. Video pengakuannya menggemparkan jagad maya dan membuat geger di Trunojoyo.

Ia adalah seorang pengepul tambang batu bara ilegal di Santan Ulu, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Ia mengajukan pensiun dini dari kepolisan setelah kegiatan ilegalnya terendus oleh Divisi Propam Polri, yang kala itu masih dipimpin Ferdy Sambo.

Pengakuan Ismail Bolong, meski kemudian ia telah meralatnya, semakin menegasikan bahwa aparat kepolisian telah lama “bermain” dan “membekingi” kegiatan konsorsium pertambangan ilegal.

Dokumen yang didapatkan oleh tim detikX, yang merupakan hasil penyelidikan Biro Paminal Divisi Propam Polri pimpinan Ferdy Sambo, ditemukan betapa terkoordinasinya keterlibatan polisi dari tingkat Polsek, Polres, Polda Kaltim, dan Bareskrim Polri dalam pusaran mafia tambang ilegal (detik.com/14/11/22).

Nah, yang menggegerkan pengakuan Ismail Bolong itu sebenarnya ketika ia menyebut nama Kabareskrim Polri, Komjen Pol Agus Andrianto. Kepada petinggi Polri itu, Ismail mengaku sudah tiga kali memberikan uang koordinasi pada akhir 2021 dengan nilai 6 miliar. Namun, Komjen Agus Andrianto membantah telah menerima uang suap dari tambang ilegal itu.

Yang menarik bagi saya adalah tentang uang koordinasi. Uang koordinasi ini adalah permainan suap dalam ruang senyap dan sangat sulit untuk dideteksi. Mereka saling mengunci. Paling, hanya terdengar sayup-sayup dan bisikan dari telinga ke telinga. Ya, itu saja.

Tapi terlepas dari itu, uang itu sangat penting, biasanya disebut uang pelicin, agar konsorsium tambang ilegal berjalan lancar tanpa hambatan.

Praktik koordinasi itu kira-kira begini. Pemodal dan penambang membuka tambang di lahan tanpa izin lalu memberikan fee kepada pemilik lahan. Agar tidak mendapat tindakan proses hukum, polisi mendapat bagian dari pemodal dan penambang. Ada pangkat bawahan sebagai pelaksana di lapangan.

Supaya aman, si pelaksana lapangan ini harus berkoordinasi dengan Polsek dan Polres. Setelah memastikan semua terkendali, ada tingkat Polda yang mesti harus mendapatkan bagian atau jatah. Maka fee tersebut harus mengalir pada perwira tinggi di Polda. Apakah semua sudah aman? Tentu belum. Di atas Polda, ada Bareskrim.

Jadi, agar konsorsium tambang ilegal tetap berjalan tanpa gangguan, maka diperlukan koordinasi yang terstruktur. Ismail Bolong sangat paham dengan permainan ini.

Ia tak ubahnya mafia tambang kelas kakap yang mengetahui semua jalan kendali permainan. Ia mesti mengamankan semua katup, sebagai upaya agar kegiatan pengepulan batu bara tak mendapat tindakan hukum.

Katup pengaman yang paling penting, yang mesti ia pegang kendalinya adalah Bareskrim. Nah, di Bareskrim itu, Ismail Bolong bertemu Brigjen Pipit Rismanto di ruangannya untuk meminta izin berbisnis tambang namun diusir (detik.com/14/11/2022).

Dari kegiatan pengepulan batu bara ilegalnya, dari sejak Juli 2020 hingga November 2021, Ismail Bolong mengaku mendapat keuntungan 5-10 miliar setiap bulannya.

Selama setahun lebih mengeruk emas hitam ilegal, ia menyebut, selain Komjen Pol Agus Andrianto, uang koordinasi juga ia serahkan kepada AKP Asriadi dengan nilai 200 juta. Uang tersebut diduga disajikan tak lain untuk mengamankan kegiatannya agar tak terusik oleh aparat di daerah dan tentu saja untuk mendapat perlindungan dari para petinggi.

Pada kenyataannya memang, kegiatan bisnis ilegal Ismail tak pernah terusik, meski ia disebut beberapa kali yang diduga menjadi bekingan sekaligus koordinator penambangan batu bara ilegal. Bahkan penyidik yang menangani kasus keterlibatannya, menghentikan penanganan kasus itu karena beberapa anggota dihubungi oleh perwira tinggi Polri (detik.com/14/11/2022).

Ismail kemudian menjadi polisi yang sangat disegani, baik di masyarakat, sesama polisi maupun pada petugas Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Santan Ulu. Bukan saja karena koneksinya dengan para petinggi Polri, namun karena pundi-pundi kekayaannya dari hasil mengeruk emas hitam ilegal. Kekayaannya itu tidak hanya dideklarasikan dengan rumah mewah, tapi 5 mobil yang harganya ratusan juta hingga miliaran.

Pertanyaan kita sekarang, apakah Kapolri akan serius menindak polisi yang “bermain” tambang?

Beberapa bulan terakhir, citra Polri benar-benar rontok. Ada kasus Ferdy Sambo, yang merekayasa kasus pembunuhan Brigadir Joshua. Ada peristiwa Kanjuruhan, polisi menembakan gas air mata kepada suporter Aremania yang menyebabkan ratusan orang meninggal. Ada kasus Tedy Minahasa yang terlibat dalam kasus narkoba. Sekarang yang tak kalah mengejutkan adalah kasus Ismail Bolong.

Jika tiga kasus itu, Kapolri bisa menangani dengan tegas tanpa pilih kasih, harusnya mafia sektor pertambangan yang melibatkan kepolisian juga bisa ditangani dengan lebih tegas.

Hasbudi dan Ismail Bolong adalah bukti nyata yang seharusnya mempertegas langkah Kapolri untuk memberantas mafia pertambangan. Tentu saja tidak hanya fokus di daerah Kalimantan Timur atau Kalimantan Utara saja.

Di daerah-daerah pertambangan lain, seperti Sulawesi Tenggara, Kapolri sudah saatnya memberikan perhatian khusus.

Butuh Ketegasan Kapolri

Menjamurnya konsorsium tambang ilegal karena praktek ini langgeng dan tak diberantas dengan serius. Kementerian ESDM mencatat, ada 2.741 kasus penambangan ilegal yang tersebar di Indonesia. Dari jumlah itu, 2. 645 lokasi merupakan pertambangan mineral, sementara 96 lokasi adalah pertambangan batu bara. Dalam kegiatan pertambangan ilegal itu, jumlah pekerja yang terlibat diperkirakan sekitar 3,7 juta orang.

Bayangkan, ada 2.000 lebih kasus pertambangan ilegal di Indonesia. Tentu saja ini bukan jumlah yang tidak sedikit dan bukan pula masalah yang remeh-temeh. Ini persoalan besar karena menyangkut kerugian negara yang tak mendapatkan pemasukan pajak. Pertanyaannya, mengapa kasus ini begitu banyak, seolah menjamur, dan dibiarkan begitu saja? Ada apa sebenarnya?

Banyak yang menyakini bahwa menjamurnya pertambangan ilegal setiap daerah, ada dugaan aparat kepolisian yang terlibat. Entah itu menjadi bekingan, pelaku lapangan atau mereka yang diduga sebagai pemodal.

Di Sulawesi Tenggara, dugaan keterlibatan polisi dalam pertambangan ilegal sebenarnya terdengar agak nyaring di masyarakat. Namun, sejauh penindakan yang dilakukan oleh Polda Sultra, belum ditemukan adanya oknum aparat kepolisian yang terlibat. Terbaru, Polda Sultra melakukan penindakan terhadap masyarakat kecil atau perorangan yang didanai oleh pemodal.

Saya lalu bertanya-tanya, siapakah pemodal ini? Begitu beraninya si pemodal ini melakukan penambangan di lahan tanpa izin. Logikanya tak masuk akal, jika ia melakukan aktivitas pencurian tambang ilegal tanpa mendapatkan perlindungan.

Begini. Pemodal ini bisa jadi elit lokal yang berkuasa atau punya koneksi terhadap penguasa. Mereka punya banyak uang untuk memodali masyarakat dalam melakukan penambangan ilegal. Si pemodal inilah yang menyiapkan semua peralatan, berupa alat berat yang digunakan untuk mengeruk di area penambangan.

Lalu, mereka tinggal mempekerjakan masyarakat kecil sebagai penambang di lapangan. Karena pertambangan ilegal, tentu saja si pemodal butuh bekingan agar kegiatan penambangan dan penjualan hasil tambang tak mendapat tindakan hukum. Dari hasil penjualan itulah, oknum kepolisian yang terlibat kecipratan bagian.

Dalam penjualan hasil tambang ilegal itu, para mafia tambang harus menghitung berapa persen untuk dibagikan kepada aparat. Kalau menjual 10 ton misalnya, maka mereka harus menyisipkan berapa persen untuk aparat A dan berapa persen untuk aparat B. Intinya setiap penjualan, aparat A dan B ini harus disisipkan sekian persen untuk menjadi bagiannya.

Praktik-praktik seperti ini sebenarnya lumrah kita dengar di masyarakat. Para mafia tambang seringkali menyeret aparat kepolisian dalam menjalankan bisnisnya.

Bukan saja sebagai pelaku lapangan, tapi para mafia tambang terkadang menggerakan polisi untuk melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat yang menolak pertambangan. Muaranya satu, karena semua berkaitan dengan finansial yang besar. Mereka tak kuasa menolak uang.

Sebelum kasus Hasbudi dan Ismail Bolong, di Sulawesi Tenggara terus menyeruak bahwa ada dugaan keterlibatan polisi yang membekingi penambangan secara ilegal. Organisasi seperti Barisan Mahasiswa Pemerhati Pertambangan (BMPP) misalnya, sudah menyuarakan itu sejak 2018. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kendari, juga menyuarakan hal yang sama pada tahun 2021.

Yang terbaru, November 2022, datang dari Konsorsium Mahasiswa Nusantara (KMN). Mereka menduga bahwa maraknya aktivitas pertambangan ilegal di Bumi Anoa karena adanya keterlibatan aparat penegak hukum. Namun sampai hari ini, mereka tak tersentuh sama sekali. Petinggi terkesan melindungi yang bawahan.

Oleh karena itu, langkah tegas Kapolri untuk membereskan seluruh carut marut dalam bisnis pertambangan ilegal ini tentu sangat dinanti. Mafia tambang butuh perlindungan. Sementara polisi menjadi bekingan karena ada bayaran.

Mereka berkoordinasi dalam senyap dan tak terlihat. Begitu cara kerja mafia, menyuap polisi-polisi di daerah yang jauh dengan pusat.

Yang seringkali terdengar hanya sayup-sayup, bisikan-bisikan, dan itu sulit untuk menjadi viral. Tapi Hasbudi dan Ismail Bolong sebenarnya hendak membuka kotak pandora itu.

Dari bekingan mafia, pelaku lapangan, mereka yang diduga sebagai pemodal hingga kekayaan sejumlah anggota polisi yang tidak sesuai dengan gaji. Ini merupakan tambahan pekerjaan rumah untuk Kapolri, agar memperbaiki citra kepolisian di mata publik.

Berikutnya, tinggal menunggu ketegasan Kapolri untuk membongkar pihak-pihak yang terlibat dalam mafia pertambangan. Ya, lebih baik mendahului guncangan daripada menunggu untuk terguncang.

30 Oktober 2022

Buku Bajakan Sebagai Pelarian

 


Kawan saya langsung berkomentar ketika buku yang dipesannya secara online tiba, “Saya tidak mampu beli buku yang original. Harganya terlalu mahal, katanya, sambil membuka bungkus kirimannya yang berisi buku. Saya begitu paham dengan kondisi ekonominya. Sebagai mahasiswa yang berasal dari kampung, membeli buku dengan harga lebih dari ratusan ribu sudah pasti banyak pertimbangan. Saya pernah mengalami itu waktu masih mahasiswa. Tapi, saya mencoba menghindari untuk tidak membeli buku bajakan.

Dengan kiriman yang seadanya, tentu saja jika memaksakan diri membeli buku original, maka harus siap mengurangi jatah makan atau pada akhir bulan mengencangkan tali pinggang. Supaya perut tetap terisi dengan teratur dan tentu saja punya buku bacaan, ia tidak punya pilihan lain dengan mengakalinya membeli buku bajakan. Buku bajakan dijadikan semacam ‘pelarian’.

Buku yang ia pesan secara daring itu berjumlah 5 buah. Saya tidak asing dengan buku-buku itu. Di gramedia tersedia bahkan sebagian buku-buku itu pernah saya baca sekilas. Harganya berbeda cukup jauh. Satu buah buku ia beli dengan harga puluhan ribu, sementara di gramedia, harganya mencapai ratusan. Lima buah buku, kawan saya itu hanya mengeluarkan uang dua ratus ribu rupiah dengan ongkos kirimannya.

Apakah kawan saya itu dengan membeli buku bajakan salah? Tentu saja, saya tak menyalahkannya. Yang saya soroti adalah maraknya industri pembajakan dan mahalnya harga buku. Di tengah minat baca yang minim, indusri pembajakan buku semakin besar. Sebuah kontradiksi yang membuat saya geleng-geleng kepala. Kawan itu kaget, saat saya menjelaskan bahwa pembajak itu melanggar Hak Kekayaan Intelektual (HKI). “Jadi ini tidak boleh, katanya, sambil memeriksa lembar-lembar bukunya yang sebagian huruf kalimatnya sangat buram.

Beberapa tahun yang lalu, saya pernah mengikuti diskusi tentang minimnya literasi dan pembajakan buku. Salah satu pemateri, kurang lebih mengatakan begini: “Jika kita lebih memilih membeli buku bajakan daripada buku original, itu artinya kita hendak melanggengkan industri pembajakan buku.” Ya, mungkin ada benarnya. Tapi disisi yang lain, seharusnya tak bisa kesalahan dilimpahkan kepada konsumen buku-buku bajakan.

Faktor daya beli dan mahalnya harga buku menjadi penyebab, mengapa mahasiswa dan sebagian masyarakat memilih buku bajakan. Apa yang dialami kawan saya adalah sebuah fakta bahwa ia benar-benar tak bisa menjangkau harga buku original. Perpustakaan juga tak memiliki peran yang optimal agar setiap orang bisa mengakses buku-buku.

Jadi, buku seolah jadi komoditas yang hanya bisa dijangkau oleh mereka yang memiliki finansial yang cukup. Harusnya tak begitu. Buku harusnya tersebar luas, bisa dijangkau oleh kalangan bawah, masyarakat kota pinggiran maupun pedesaan.

Keterlibatan pemerintah memang sangat dibutuhkan. Untuk penerbit, pemerintah harus memberikan insentif ekonomi agar buku lebih gampang diakses dan dibeli oleh masyarakat luas. Ini juga bagian dari upaya untuk memutus rantai industri pembajakan buku. Harus didukung dengan regulasi, tentu saja.

23 Oktober 2022

Misbehaving

 


Dasar-dasar ekonomi politik, dan semua ilmu sosial secara umum, rupanya adalah psikologi. Boleh jadi akan ada suatu hari ketika kita akan bisa menyimpulkan hukum-hukum ilmu sosial berdasarkan kaidah-kadiah psikologi.

---Vilfredo Pareto, 1906


Akhir-akhir ini, rutinitasku sedang menuntaskan membaca terjemahan buku Misbehaving yang ditulis oleh Richard H. Thaler. Buku ini membuat saya tertarik dan penasaran, karena membahas tentang terbentuknya ekonomi prilaku. Ada pertanyaan di kepala saat melihat judul buku ini terpajang di gramedia. Apa itu ekonomi perilaku? Karena sebelumnya, ekonomi perilaku tak pernah saya dapatkan di bangku kuliah. Sebab didorong oleh rasa keingintahuan itu, maka buku ini sekarang berada ditanganku.

Pertengkaran para ahli ekonomi tentang model teori ekonomi, kiranya sudah banyak terjadi. Perdebatan para ekonom tradisional versus ekonom modern memang berlangsung sengit. Ada banyak pertentangan, namun itu biasa. Justru dengan itu, reputasi ilmu ekonomi sebagai ilmu sosial secara intelektual semakin kuat.

Sebelum saya bahas buku Richard H. Thaler, saya teringat dengan peraih nobel ekonomi bernama James Buchanan. Buchanan adalah ekonom yang mempelopori lahirnya perspektif teori Public Choice. Publik choice adalah sebuah teori yang penerapannya menggunakan metode-metode ekonom terhadap bidang politik. Buchanan mencoba menerangkan konsep publik choice bukan sebagai teori yang sempit, namun dipandang sebagai sebuah perspektif.

Bahwa sebenarnya tidak ada garis pemisah antara substansi ekonomi dan politik, antara pasar dan pemerintah (market and government), atau antara pribadi dan publik. Bagi Buchanan, ekonom harusnya memaksimalkan kekayaan paradigmanya sehingga defenisi disiplin ilmu tidak hanya berada dalam kerangka atau terminologi hambatan kelangkaan sumber-sumber ekonomi.

Buchanan menggunakan teori public choice untuk merambah atau mencoba menelaah apa yang menjadi obyek dalam ilmu politik. Ia mencoba mempertemukan kembali bidang ekonomi dan politik dalam satu wilayah analisis. Dan yang terjadi bukan berarti tanpa pertengkaran. Teorinya menjadi bahan perdebatan dan mendapat banyak kritik, bukan saja di kalangan ekonom, tapi juga di kalangan ahli ilmu politik.

Sebagaimana Buchanan, Thaler, salah satu yang menciptakan bidang ekonomi perilaku—sebuah konsep ekonomi yang didalamnya terdapat suntikan kuat ilmu psikologi dan ilmu-ilmu sosial lain— juga menemui banyak kritik dan perdebatan. Terutama mereka yang masih setia dengan ekonomi tradisionalnya menganggap, penerapan ekonomi perilaku masih sangat terbatas.

*

Buku ini adalah cerita awal perjalanan karier Thaler bagaimana ia memulai mengembangkan konsep bidang ekonomi perilaku. Isinya tak melulu soal riset, perdebatan para ekonom, tapi anekdot, dan bahkan candaan. Salah satu pembimbing disertasinya, Danny Kahneman menganggap bahwa yang paling hebat dari Thaler dan membuat dia istimewa adalah karena kemalasannya.

Ya, buku ini ditulis oleh seseorang yang memang diakui kemalasannya. Sherwin Rosen, pembimbing tesisnya beranggapan, Thaler tak punya masa depan yang cerah dalam bidang ilmu ekonomi modern. Namun berkat pembimbingnya, Danny Kahneman, kemalasan Thaler berubah menjadi sebuah aset.

Richard H. Thaler mulai mempertanyakan teori ekonomi sewaktu menjadi mahasiswa pascasarjana di departemen ekonomi University of Rochester. Ia punya banyak keraguan mengenai bahan yang diajarkan di kelas, tapi tak yakin apakah masalahnya di teori atau karena pemahamannya yang kurang memadai.

Selama empat dasawarsa, sejak kuliah pascasarjana, ia telah disibukan dengan berbagai kisah mengenai cara manusia menyimpang dari mahluk fiktif yang biasa ada di model ekonomi. Ia bukan hendak menyalahkan manusianya. Namun masalahnya, ada pada model yang digunakan ahli ekonomi, menggantikan Homo sapiens dengan mahluk fiktif bernama Homo economicus atau biasa yang ia singkat Ekon. Jika dibandingkan dengan mahluk fiktif Ekon, manusia banyak melakukan prilaku keliru, dan itu berarti model ekonomi membuat banyak prediksi yang buruk.

Dengan tegas Thaler hendak mengatakan, kita sedang tak hidup di dunia Ekon. Kita hidup di dunia manusia dan sebagian besar ahli ekonomi tahu itu. Dan karena itulah, riset ekonomi perlu melakukan pendekatan yang lebih bernas, yang mengakui keberadaan dan relevansi manusia. Alasannya menambahkan Manusia ke teori ekonomi adalah untuk menaikan akurasi prediksi.

Memang benar, buku ini sebuah terawangan nakal dan mencerahkan bahwa manusia punya banyak kekurangan. Dalam mengambil sebuah keputusan, kita pasti pernah mengalami bias dan kadang menyimpang dari standar rasionalitas yang dipakai ahli ekonomi. Itu artinya kita berprilaku keliru (misbehaving). Dari itu, Thaler mencoba memadukan ekonomi dan psikologi manusia, bagaimana membuat keputusan lebih cermat di tengah dunia yang makin disrupsi.

Namun tentu saja ini tak mudah. Selama bertahun-tahun, banyak ahli ekonomi yang menolak keras seruan mendasarkan model di atas penjabaran perilaku manusia yang lebih akurat. Kahneman menyebut mereka sedang terjangkit penyakit apa yang disebut buta karena teori. Ini hampir melanda semua ahli ekonomi. Mereka menerima wawasan luas mengenai perilaku Ekon, tapi dengan tega mengorbankan intuisi mengenai hakikat manusia dan interaksi sosialnya. Para ekonom tradisonal tak lagi menyadari, mereka hidup di dunia berisi manusia.

**

Bab 17 misalnya dengan judul “Debat Bermula”, itu memperlihatkan bagaimana Merton Miller menyerang makalah keuangan perilaku oleh Hersh Shefrin dan Meir Statman di konferensi University of Chicago. Dengan terang Merton Miller mengatakan bahwa pendekatan perilaku boleh jadi diterapkan ke Bibi Minnie dan beberapa orang lain, tapi hanya sebatas itu.

Sama dengan Miller, di konferensi itu Allan Kleidon juga menyerang makalah Robert Shiller. Metode dan kesimpulan makalah Shiller yang berjudul “Do Stock Prices Too Much to Be Justified by Subsequent Changes in Dividends?” diserang bahkan para pengkritiknya menulis makalah dengan mengolok-olok sebagai “Shiller Killer.”

Setelah konferensi Oktober 1985 di Chicago itu, Thaler memikirkan kaitan antara gagasan Thomas Kuhn dengan apa yang ia kerjakan. Ia membaca buku terobosan Thomas Kuhn The Structure of Scientific Revolutions dan secara diam-diam melamunkan sesuatu apakah pergeseran paradigma dapat terjadi dalam ilmu ekonomi. Ia terus mencari, melakukan kerja-kerja riset yang kemudian mendorongnya untuk melakukan lompatan dari jalur normal suatu bidang dan bergerak ke arah baru. Untuk itu, ia membutuhkan serangkaian anomali.

Bersama sahabatnya ahli ekonom terkenal, Hal Varian, Thaler mendapat gagasan untuk menulis artikel anomali yang akan dipublikasikan di jurnal of Economic Perspektives. Jurnal itu dibuat oleh American Ekonomic Association, yang di editori Joseph Stiglitz. Empat kali setahun ia menulis mengenai anomali. Tulisannya berupa dokumentasi faktor-faktor yang seharusnya tak relevan tapi sangat penting, atau kumpulan fakta lain yang tak konsisten dengan cara standar ilmu ekonomi.

Tulisan-tulisannya di jurnal itu, ia hendak menunjukan kepada para ahli ekonomi bahwa ada banyak fakta yang tidak sejalan dengan model-model ekonomi tradisional. Ia mencoba membantu menegakkan gagasan bahwa model ekonomi dapat dilakukan dengan cara baru berdasarkan Manusia, bukan mahluk fiktif bernama Ekon. Untuk mengembangkan gagasannya, ia kemudian membangun tim bersama George Loewenstein, Robert Shiller, Colin Camerer, dan Eric Wanner. Dan kerjasama itu dianggap gagal.

Namun ia tak berhenti disitu. Di kesempatan lain, ia bergabung dengan tim baru, Amos dan Kahneman juga terlibat. Ia cukup antusias, sebab banyak ekonom muda yang tertarik, melakukan riset mengenai ekonomi perilaku. Riset yang mereka hasilkan, mengubah ekonomi perilaku menjadi bagian aktif ilmu ekonomi arus utama. Dan itu semua tak terlepas dari keterlibatan Eric Wanner yang memulai pendanaan riset.

***

Sudah empat puluh tahun lebih, model ekonomi perilaku tak lagi berada di pinggiran. Menulis makalah ekonomi yang menganggap orang berperilaku seperti manusia tak lagi dianggap perilaku keliru. Semua telah banyak yang berubah. Namun, Thaler menganggap membangun versi ilmu ekonomi yang lebih kaya, dengan Manusia sebagai pusat masih belum selesai.

Sebelumnya tak pernah ada yang mengira pendekatan perilaku dalam ekonomi berdampak besar terhadap keuangan. Model itu kemudian dianggap serius. Di banyak isu, perdebatan antara kubu rasional dan perilaku telah mendominasi kepustakaan ekonomi finansial selama dua dasawarsa. Untuk itu, pengembangan teori keuangan ekonomi berbasis bukti masih akan terus berlangsung.

Ada bidang ilmu ekonomi yang ia ingin kembangkan menggunakan pendekatan perilaku yaitu makroekonomi. Ia menganggap isu besar kebijakan moneter dan fiskal sangat penting bagi kesejahteran negara. Dan pemahaman akan Manusia sangat penting memilih kebijakan yang bijak.

Ekonomi perilaku, menurutnya kini telah menjadi ilmu ekonomi yang tumbuh dan bisa ditemukan di sebagian besar universitas terbaik di dunia. Bahkan para ahlinya menjadi kalangan pengarah kebijakan publik. Pembangunan ekonomi perilaku mencakup banyak upaya, termasuk membangun rasa optimis mengenai masa depan ilmu ekonomi.

Ketika semua ahli ekonomi sama-sama berpikiran terbuka, maka pertengkaran akan membuat bidang ilmu ekonomi makin kuat.


27 Agustus 2022

KISAH INSPIRATIF DARI SEORANG MANTAN NAPI

Gusti Made Dwiadya

Di pinggiran Kota Kendari, Kelurahan Wua-Wua, Sulawesi Tenggara, terdapat kisah menarik dan menakjubkan dari seorang mantan narapidana. Tadinya, ia tak mempunyai keterampilan apa-apa. Namun, berkat Lapas Kendari mengadakan pelatihan cara bertani hidroponik dengan salah satu SMA di Kendari, nasibnya kian berubah. Setelah keluar dari jeruji besi, ia mengembangkan keterampilannya dengan bertani modern, membangun mitra bisnis, dan mendirikan sebuah CV.

Baginya, penjara adalah tempat untuk kotemplasi, yang lalu menempa dirinya menjadi pribadi yang sabar dan ikhlas. Penjara bukan akhir dari perjalanan hidupnya. Ia menganggap, penjara sebagai tempat untuk transformasi diri. Selama dipenjara ia tetap memelihara impiannya, menjalani sebuah kehidupan yang lebih baik setelah mendapatkan kebebasannya. Dari keteguhannya itu, setelah bebas ia perlahan-lahan menata ulang keping demi keping masa depan. Hari-harinya lalu berubah, hidupnya lebih bermakna, dan bisa menginspirasi banyak orang.

***

Sore itu ia tersenyum dengan semringah. Lewat asistennya, ia sudah mengetahui tujuan kedatanganku. Sambutannya sangat bersahabat. Ia sedang sibuk dengan ketikan layar handphonenya ketika saya temui. Tak lama berselang, ia juga mengangkat telepon dari seseorang.

Ia mengatakan, tengah melayani konsumen untuk pengiriman sayuran di daerah pertambangan Morowali. “Lagi ada permintaan sayuran untuk pengiriman besok di daerah pertambangan Morowali sebanyak ¼ ton,” katanya. Setelah itu, ia mulai memberikan informasi dan berkisah banyak hal tentang dirinya dan usaha pertanian yang ia tengah kembangkan.

Lelaki itu bernama Gusti Made Dwiadya. Usianya berkisar 36-an tahun. Dengan senyum yang mengembang, ia mempersilahkan saya untuk menanyakan beberapa hal. Ia kemudian merenung sejenak ketika saya memintanya untuk bercerita tentang dirinya. Ia mencoba mengais-ngais ingatan. Ia mengenang masa lalu yang begitu pelik. Saat memasuki Rutan Kendari, ia menganggap hidupnya telah selesai. Ia tak pernah membayangkan bagaimana masa depan keluarganya setelah bebas. Skillnya tak ada sama sekali. Ia seperti telah kehilangan harapan.

Namun dibalik keterpurukan di dalam penjara, ia lalu menemukan keajaiban. Ia belajar bertani hidroponik dari suatu sekolah SMA yang mengadakan pelatihan di dalam rutan Kendari. Selama dua tahun di penjara, ia terus menerus membaca dan mempelajari cara-cara bertani hidroponik secara detail. Tiap hari, sebelum belajar ia merenungi nasibnya.

Gusti Made beranggapan, ketakutan terbesar setelah bebas adalah ketika ia tidak bisa diterima dimasyarakat. Stigma negatif sebagai mantan napi sangat melekat pada dirinya. Maka jalan satu-satunya agar bisa menafkahi istri dan anaknya, dengan membangun usaha pertanian hidroponik.

Bertani Di halaman Rumah

Gusti Made matanya berkaca-kaca ketika ia menceritkan titik tanjak kisah hidupnya. Tak ada yang bisa dikerjakan selain bertani. Melamar pekerjaan pun akan sulit diterima. Dengan bekal keahlian yang dipelajari di dalam rutan Kendari, ia mencoba bertani hidroponik di halaman rumahnya. Dengan luas lahan yang seadanya, ia mulai merancang instalasi hidroponik dengan modal sepuluh juta rupiah. Ia memulai dengan mencoba menanam sayur pakcoy dan selada.

Di tengah jalan, pertanian hidroponik yang ia kembangkan ternyata tak berjalan mulus. Ada banyak tantangan yang ia hadapi. Mulai dari kekurangan modal, sayurnya yang gagal panen, hama dan penyakit yang tidak diketahui, ukuran tanaman yang tidak maksimal, pasar yang sulit dan tidak ada yang mau menerima hingga cuaca yang buruk.

Dalam situasi itu, Made tak pernah patah arang. Ia mesti mempelajari segala hal yang menderahnya. Ia tak ingin berdiam cukup lama. Ia harus menemukan solusi atas apa yang dihadapinya.

Berkat internet ia kemudian menemukan jawaban-jawabannya. Ia bercerita, kebiasaannya dengan mencari informasi melalui internet karena tidak ingin ketinggalan informasi. Ia juga percaya, di era digital petani tak lagi tertinggal. Semburan informasi di internet bisa memberi kemudahan bagi petani. Di youtube katanya, ia belajar banyak hal, termasuk menemukan inspirasi dari petani-petani hidroponik yang sukses.

Dari situ ia lalu mulai bangkit. Perlahan-lahan ia mencoba mengembangkan pertanian hidroponiknya. Dari segi pemasaran, ia tak lagi menemui kesulitan. Pemasaran produk sayurannya kini berada dalam ekosistem digital, melalui media sosial seperti instagram, youtube, dan facebook.  Usahanya kini hampir menguasai seluruh pasar yang ada di Sulawesi Tenggara, terutama pasar restoran dan rumah makan. “Jadi pasar kami itu bukan saja di Kendari, tetapi di daerah-daerah pertambangan seperti Morosi dan Morowali. Kami juga pernah mengirim sayuran di Muna dan Buton,” katanya.

Berkat kegigihannya dalam mengembangkan pertanian hidroponik, Made lalu mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak. Ia juga banyak mendapat undangan untuk memberikan sosialisasi pertanian hidroponik. Di Lapas Kendari, ia turut memberikan pelatihan kepada para narapidana. Ia kerap memberikan pelatihan wirausaha produktif yang bekerjsama dengan UPTD Balai Peningkatan Produktivitas (BPP) dan Rumah Tahanan Kelas IIA Kendari. Di pertaniannya atau biasa ia sebut sebagai Rumah Bali Hidroponik, sering dijadikan sebagai tempat magang dari beberapa kampus. Ia juga melatih beberapa peserta dari Balai Pelatihan Kerja (BLK) Kendari.

Tak hanya sampai disitu, Made hebatnya adalah ketika ia berhasil menginspirasi anak-anak muda untuk bertani hidroponik. Ia berbagi pengalaman dan dengan senang hati selalu mengedukasi anak-anak muda. Dan kini anak-anak muda itu punya lahan pertanian hidroponik sendiri. Mereka hanya menanam dan merawat, sementara pemasarannya ditangani oleh Made.

Kata Made, “Dulu awalnya saya hanya perlu modal sepuluh juta, kini punya aset dua miliar”. Ini pembuktian, bahwa seorang mantan narapidana pun bisa sukses.

Di pinggiran kota Kendari, saya merasa beruntung bertemu dengan lelaki yang penuh semangat dan inspirasi ini. Bahwa di jeruji besi adalah tempat awal untuk membangun keping demi keping masa depan yang bahagia.

02 Oktober 2021

SULTRA, Rawan dalam Pusaran Korupsi

 

Ilustrasi Foto: (Edi Wahyono/Deticom)

Informasinya menyebar sangat cepat. Seorang kawan, jurnalis lokal di Kendari mengabarkan, kepala daerah perempuan pertama yang menjabat sebagai Bupati di Sultra itu terjerat kasus korupsi. Jabatannya tergolong singkat. Dia hanya menjabat selama tiga bulan setelah menggantikan Bupati sebelumnya Samsul Bahri karena meninggal dunia. Bupati Koltim itu, ikut terlibat dalam korupsi dana hibah BNPB berupa dana rehabilitasi dan rekonstruksi (RR) serta dana siap pakai (DSP).

Dia adalah Andi Merya Nur, seorang politisi yang mempunyai karir cukup cemerlang. Di usia 25 tahun, dia sudah menjadi anggota DPRD saat terpilih pada pemilu 2009 lalu. Pada Pemilu 2014, dia terpilih kembali sebagai anggota DPRD. Setahun menjabat, dia mengundurkan diri karena ikut mendampingi Toni Herbiansah sebagai Wakil Bupati. Andi Merya berhasil memenangi kontestasi Pilkada di Kolaka Timur itu.

Dari legislatif daerah terpilih dua kali, dia beralih dengan mulus ke eksekutif. Andi Merya, dua kali terpilih sebagai Wakil Bupati dengan pasangan yang berbeda. Pada pemilihan Bupati tahun 2020, dia mendampingi Samsul Bahri dan berhasil menyabet kursi Wakil Bupati. Belum sebulan dilantik, pasangannya, Samsul Bahri meninggal dunia.

Pada 14 Juni 2021 dengan usia yang masih 37 tahun, Andi Merya melanggeng sebagai Bupati. Kewenangannya tentu makin luas. Dia adalah pengambil kebijakan tertinggi di daerahnya. Dia juga harus mengusulkan dan mengontrol proyek-proyek di wilayahnya. Pada posisi itu, dia terjerumus dan tersandung masalah yang harus berhadapan dengan lembaga anti rasuah. Barang bukti yang hanya 25 juta rupiah, membuatnya terjungkal. Karirnya yang cukup cemerlang itu, kini runtuh dengan seketika.

Kasus-kasus korupsi di Sultra yang melibatkan kepala daerah sebelum Andi Merya, tentu sudah banyak terjadi. Ada nama mantan Gubernur Nur Alam dan Bupati Buton, Samsu Umar Abdul Samiun. Namun kasus korupsi yang menghebohkan publik adalah tertangkapnya Wali Kota Kendari, Adriatma Dwi Putra bersama ayahnya, Asrun, pada tahun 2018. Mereka dicokok KPK karena keterlibatannya dalam korupsi fee proyek infrastruktur di Kota Kendari.

Adriatma Dwi Putra merupakan produk dinasti politik dari ayahnya, Asrun yang menjabat Wali Kota Kendari selama dua periode. Dia adalah putra mahkota yang digadang-gadang akan meneruskan kekuasaan ayahnya. Pada saat itu, setelah Asrun meninggalkan tampuk kekuasaannya sebagai Wali Kota, dia berusaha melebarkan kekuasaan untuk berebut kursi empuk Gubernur. Sementara untuk Wali Kota, dia mencalonkan anaknya dan terpilih.

Yang menarik, anaknya Adriatma Dwi Putra merupakan Wali Kota termuda yang menjabat sangat singkat, selama lima bulan. Dia menjabat sejak 9 Oktober 2017 sampai dengan 28 Februari 2018. Kasus korupsi yang menimpahnya berupa fee proyek infrastruktur ditengarai akan digunakan sebagai uang kampanye ayahnya, yang pada saat itu sedang mencalonkan diri sebagai Gubernur. Meski ayahnya sudah tersangka, langkahnya tidak terhenti. Asrun tetap berkompetisi dengan Cagub lain, meski kalah karena kasus korupsi yang melibatkannya.

Hanya berselang beberapa bulan, Bupati Buton Selatan, Agus Feisal Hidayat juga dicokok KPK. Dia terlibat kasus penerimaan hadiah dan janji dalam pengerjaan proyek di Buton Selatan. Dalam kasus ini, KPK menyita barang bukti uang senilai 409 juta rupiah.

Sama dengan Adriatma, jalan politik Agus Feisal Hidayat juga bersinggungan dengan kekuasaan. Ayahnya, Sjafei Kahar, pernah menjabat sebagai Bupati Buton selama dua periode. Selama ayahnya menjabat, Agus Feisal sangat melekat dengan kekuasaan. Karirnya berjalan mulus. Posisinya saat itu dimulai dari kepala seksi hingga menjadi staf ahli Bupati Buton.

Perjalanan Agus Feisal untuk merengkuh kekuasaan memang sangat panjang. Agus Feisal, dua kali gagal sebagai Wakil Wali Kota Baubau, pada tahun 2008 dan 2012. Setahun sebelumnya, 2011, dia juga gagal dalam memperebutkan kursi kekuasaan dalam Pilkada Buton. Meski awalnya keluar sebagai pemenang, wangi kemenangan itu hanya dihirup sesaat saja. Kemenangannya dianulir oleh Mahkama Konstitusi. Dari sinilah awal terjungkalnya Umar Samiun dari kursinya sebagai Bupati Buton pada tahun 2017. Umar Samiun ditahan KPK terkait kasus suap pada ketua MK, Akil Mochtar yang menangani Pilkada Buton di tahun 2011.

Ungkapan, kegagalan adalah kemenangan yang tertunda ternyata sangat berlaku untuk Agus Feisal. Dengan bekal pengalamannya, dia kemudian mengikuti kontestasi Pilkada Buton Selatan pada tahun 2017. Tiga kali menelan pil pahit dalam panggung politik, dia kemudian mendapatkan momentum kemenangannya. Mahkota itu berhasil dia rebut. Perjuangannya berbuah dengan kemenangan manis.

Namun siapa sangka mahkota itu hanya sekadar singgah dan berubah pil pahit kemudian. Hanya setahun menjabat, dia terjerembab dalam godaan kekuasaan. Kursi empuk yang hendak didudukinya selama lima tahun, berubah menjadi ruang pengap dan gelap dalam sel tahanan.

**

Riwayat panggung politik kita memang pada kenyataannya, banyak para elit yang berkuasa selalu menempatkan atau mendorong keluarganya pada posisi penting. Pertalian itu bukan tak mungkin berbahaya. Ketika penguasa wilayah hanya datang pada segelintir keluarga, maka kekuasaan itu menjadi tak terkontrol atau kekuasaannya tak memiliki batasan. Muaranya adalah korupsi. Ia mesti melayani kepentingan banyak pihak.

Di Muna, juga dihadapkan dengan dinasti politik Ridwan Bae yang saat ini tercatat sebagai anggota DPR RI. Sebelumnya, dia pernah menjabat sebagai Bupati Muna dua periode. Anaknya Iksan Taufik, meski kalah pada Pilkada Muna Barat, digadang-gadang akan meneruskan tahta politik ayahnya. Putrinya, Wa ode Rabia Al Adawia telah berhasil merebut kursi DPD. Ponakannya, Rusman Emba, tengah menikmati jabatan sebagai Bupati Muna di periode keduanya.

Sementara di Konawe, ada nama Kery Saiful Konggoasa. Dia sedang menjabat sebagai Bupati Konawe untuk periode kedua. Dari beberapa informasi yang beredar, dia tengah menyiapkan diri untuk berebut kursi Gubernur. Anaknya, Fachri Konggoasa sedang menjabat sebagai anggota DPR RI.

Lalu, akankah korupsi di Sultra dapat berakhir, mengingat bayang-bayang para elit tengah membentuk dinasti politik!? Di tengah nikmatnya kekuasaan, godaan datang silih berganti dan menggiurkan. Ibarat dinding, ada yang cepat keropos lalu runtuh, ada juga yang lama bertahan dan tetap tegak berdiri. Semuanya hanya menunggu waktu.

Godaan Dalam Kekuasaan

Pepatah yang mengatakan, semakin tinggi pohon, semakin kencang angin yang menerpanya agaknya sangat berlaku untuk para penguasa. Pada hakikatnya kekuasaan adalah godaan. Saat seseorang mendapat kekuasaan, maka godaan yang datang mengerubunginya akan sangat besar. Ibarat gula, kekuasaan dapat mengundang banyak semut. Pada posisi itu, penguasa diberi ujian, apakah bisa menjadi pemimpin sejati atau hanya sekadar imitasi.

Kutipan salah satu presiden legendaris Amerika Serikat, Abraham Lincoln, mungkin sangat tepat dikemukakan disini bahwa “semua orang bisa tahan dengan kesengsaraan, tapi bila ingin mengetahui karakter seseorang, berilah dia kekuasaan.”

Kenikmatan dalam kekuasaan memang mendatangkan banyak efek. Ia bisa berakhir baik, tapi bisa juga berakhir buruk. Ia dapat berbuah manis tapi kadangkala bisa juga berbuah pahit. Berakhir baik, ketika kekuasaan dijalankan sebagai tanggungjawab sosial. Ia lebih mementingkan kepentingan publik dari pada kepentingan kelompok. Ia lebih memahami dirinya, bahwa ia adalah pelayan rakyat bukan golongan. Dan pada titik ini, muaranya dapat berbuah manis. Penguasa bisa menjadi seseorang yang berkarisma, dielu-elukan hingga dipuji oleh banyak orang.

Namun, kekuasaan bisa membuat seseorang terlena, dan ingin berkuasa lebih lama. Ada godaan fasilitas dan berbagai kemudahan yang didapat. Dengan kekuasaan, mereka tergoda untuk terus melanggengkan kekuasaannya. Untuk menjaga eksistensi kekuasaan itu, biasanya mereka menempatkan atau mendorong keluarga baik istri, anak, paman, dan ponakan untuk masuk dalam suatu jabatan politik. Tujuannya, untuk mempertahankan supremasi keluarga dalam lingkaran kekuasaan.

Praktik-praktik ini yang diterapkan di Sultra, dengan membentuk dinasti politik pada kenyataannya memang berakhir buruk. Kekuasaan dinasti politik dihadapkan dengan banyaknya godaan konflik kepentingan. Muaranya mengarah pada penyelewengan kekuasaan itu sendiri. Moralitas kekuasaan yang tidak terlepas dengan tanggungjawab sosial dengan cepat disingkirkan. Di kepala mereka, kekuasaan bukan lagi bagaimana meningkatkan kebijakan publik, menjadi pelayan dengan mensejahterakan rakyat, tetapi mengamankan kepentingan sembari membuka karpet merah untuk melayani kelompoknya.

Dengan begitu, nalar publik seolah dijauhi. Kekuasaan bekerja serupa obat bius. Kepekaan terhadap kondisi sosial dimasyarakat tenggelam karena lebih mementingkan kepentingan pribadi. Ketika kekuasaan membuat penguasa rabun jauh dan lebih memilih bermain atau menyerempet dengan yang lebih dekat, maka rompi oranye menyambut.

Kata Lord Acton “Kekuasaan cenderung merusak, dan kekuasaan mutlak merusak secara mutlak.”

22 September 2021

DARI PASARWAJO, RONGI, LAPANDEWA LALU KE BUGI

Gadis Kampung Bugi

Perjalanan yang melelahkan, pikirku. Bersama kawan saya, Nirwan, kami berangkat dari Baubau ke Pasarwajo pukul 14.00.

Di perjalanan, kami dihadang dengan hujan rintik kemudian berubah menjadi hujan deras. Kami berteduh dipondok-pondok, dibagian kawasan hutan konservasi Lambusango. Selama menuju Pasarwajo, kami berteduh sebanyak tiga kali. Langit terus memuntahkan air hingga malam. Kami pun memaksakan perjalanan dengan kondisi hujan dan basah kuyup.

Dua hari di Pasarwajo, kawan saya bersedia membawa saya untuk jalan-jalan, mengunjungi benteng Lipuogena Takimpo. Dari tempat menginapku, perjalanannya hanya memakan waktu 20 menit. Posisi bentengnya berada di atas perkampungan warga.

Menurut beberapa cerita, benteng ini merupakan salah satu benteng pertahanan kesultanan Buton. Ketika saya memasuki gerbang banteng, itu sudah terlihat galampa (tempat adat), masjid dan lima buah pintu kecil yang biasa warga setempat menyebutnya Lawa. Pintu kecil (Lawa) ini punya nama sendiri-sendiri seperti Lawa Naemata, Lawa Sampu, Lawa Nawakeke, Lawa Kolowundanga, dan Lawa Pibuni. Nama-nama pintu kecil ini, mungkin punya arti sendiri-sendiri. Ada banyak hal sebenarnya yang ingin saya ketahui tentang banteng ini. Sayang, saya tak bisa menemukan banyak cerita disini.

Dari Pasarwajo, esoknya bersama kawan saya mencoba menuju Rongi atau desa Sandang Pangan, Buton Selatan. Rongi ini merupakan kampung yang pernah saya kunjungi tahun 2015, dalam rangka Kuliah Kerja Nyata (KKN). Di sini saya bertemu kawan saya, seorang guru yang sudah lama mengabdikan dirinya untuk mencerdaskan anak-anak Rongi.

Di depan muka saya, saya melihat kampung Rongi sudah nampak berbeda. Semua terlihat indah dan memesona. Pemandangannya memanjakan mata. Bukit Lamando masih berdiri kokoh dengan wajah yang nampak sangat indah dan asri. Tak ada bangunan-bangunan vila para pejabat. Saya begitu tak percaya ketika kawan saya, Pak Ikhsan mengatakan bahwa Rongi terkenal ketika kami KKN. Pada hal sebagai Koordinator Desa KKN, saya tak banyak melakukan apa-apa. Kegiatan saya di Rongi, salah satunya hanya bercengkrama dengan warga sambil menanyakan apakah punya anak gadis yang masih jomblo atau tidak. Hehe.

Selanjutnya kami melanjutkan perjalanan di Lapandewa, sebuah kampung yang berada diperbukitan. Di bawah bukit terdapat desa Tira dan Bahari. Kami melewati pendakian Warope untuk sampai di Lapandewa. Dengan hawa yang begitu dingin dan sudah malam, kawan saya menunjukan sebuah lokasi kebun bawang merah yang sangat luas, yang warga kampungnya disebut lokasi kebun Wanculepani. Lapandewa memang sangat terkenal dengan penghasil bawang merah. Di kampung ini, saya juga tak banyak menemukan cerita karena sudah larut malam.

Kami lalu berbalik arah untuk menuju Baubau. Di perjalanan, tepatnya di desa Bugi, terdapat banyak warga yang lalu lalang untuk menuju pesta kampung. Kawan saya lalu mengajak untuk istrahat sejenak sambil menyaksikan pesta kampung. Di galampa (tempat adat) saya begitu terkesima ketika menyaksikan para gadis-gadis, anak-anak, dan para pemuda ikut memeriahkan pesta kampung. Laki-laki dan perempuan baik gadis-gadisnya, para pemuda, anak-anak, dan orang tua ikut menari dalam pertunjukan itu. Mereka menari dengan sangat indah dihadapan para tokoh adat.

Di tengah kerumunan, saya mencoba mencari tahu tentang desa Bugi di google. Di layar Hp, ulasan tentang desa Bugi mengagetkan saya. Di artikel Kompas tertulis “Wah, Ada Kampung Korea di Kota Baubau”, membuat saya penasaran. Saya membaca dengan pelan dan menemukan bahwa Bugi itu disebut sebagai kampung Korea. Bahasanya, cia-cia Laporo, mempunyai sedikit persamaan dengan aksara Hangeul atau bahasa Korea. Menariknya, penulisan aksara Hangeul masuk dalam kurikulum mata pelajaran sekolah.

Saat saya lagi serius membaca informasi tentang Bugi, tiba-tiba kawan saya membuyarkan konsentrasiku. “Jejeran penari yang paling awal itu cantik sekali”, katanya. Saya lalu membangunkan kepala, mataku mencari-mencari wanita cantik itu. Pikirku, mungkin dia agak mirip dengan wajah artis korea, Son Ye Jin. Hehe.

Saat mereka keluar, kawan saya memintanya untuk berfoto. “Bisa kami berfoto dengannya”, kata kawan saya kepada lelaki muda itu. Lelaki itu mengiyakan, boleh berfoto tapi harus di temani laki-laki lainnya. Duh, pada hal saya hanya ingin berfoto dengan gadis-gadis cantik itu, meminta kontaknya dan mau belajar bahasa korea. Entah apa yang ada dipikiran lelaki itu saya tak tau. Atau jangan-jangan dia tahu saya masih jomblo.

                                                                                    Baubau, 23 September 2021

16 April 2021

Terancamnya Aktivis Desa

Adin, Ketua Aliansi Pemerhati Masyarakat Wantiworo (APMW)

Minggu 31 Januari 2021 pukul 10.14 WITA, handphone saya berdering. Saya dihubungi oleh kawan saya La Ode Muliadi atau sering disapa Adin. Ia mengabari, sedang berada di Balai Desa Wantiworo. Rupanya ia telah tiba di kampung. Ia memanggil saya untuk mengikuti Musrenbang Desa. Saya bertemu dia sekitar beberapa menit. Setelah itu, saya mengajaknya untuk bertemu di rumah.

Pukul 14.23-25-an, dia pamit untuk pulang ke rumahnya. Ia hendak akan mengikuti rombongan untuk berkunjung ke desa tetangga. Untuk itu, ia meminta izin terlebih dahulu pada orang tuanya. Karena tak kunjung datang, kami bersama kawan-kawan lainnya melanjutkan perjalanan.

Sekitar pukul 16.55, handphone kawan saya berdering. Ia mengabarkan telah mendapat perlakuan buruk dari PLT Kepala Desa Wantiworo. Sontak, saya begitu kaget. Saat itu juga, saya bersama kawan memutuskan untuk melihat keadaannya.

Seperti yang diberitakan media lokaltelisik.id, ada dugaan penganiayaan yang dilakukan oleh PLT Kepala Desa Wantiworo. Adin yang saat itu membeli disebuah kios, hendak mendapat pukulan. Namun, ia bisa menghindari pukulan itu lalu mencoba menenangkan PLT Kepala Desa tapi tak mempedulikannya. Dalam waktu yang bersamaan, ia dilempar dengan memakai batu.

Nasibnya masih sedikit beruntung. Kepalanya selamat karena ia melindunginya dengan siku. Dalam posisi kehilangan kendali, ia terjatuh di aspal. Ia berdiri dan menghindar, lalu kembali menuju ke rumahnya. Namun, ia terus di ikuti sampai dipekarangan rumah. Dengan kejadian yang dialaminya, ia kemudian melaporkan PLT Kepala Desa Wantiworo ke Polda Sulawesi Tenggara dengan laporan polisi No: LP/67 / II 2021/ SPKT POLDA SULTRA, tanggal 1 Februari 2021.

Adin adalah seorang aktivis desa yang sangat vokal dan berani. Kejadian yang menimpahnya, diduga kuat merupakan rentetan peristiwa atas protes-protes yang dilakukan bersama kawan-kawannya enam tahun belakangan. Ia terus mengkritik kebijakan pemerintah desa, dimulai dari masuknya perusahaan perkebunan tebu yang merusak hutan, ganti rugi lahan, dan pengelolaan Dana Desa yang tidak transparan.

Bukan saja itu, ketakukan warga untuk menuntut hak-haknya pada pemerintah desa menyadarkannya bahwa warga harus didampingi. Ia terus berada pada jalur idealismenya, berada digarda terdepan dalam memperotes kebijakan pemerintah desa. Sore itu, diduga adalah puncak yang dialaminya.

Sekitar bulan April 2015, Adin bersama kawan-kawannya mendampingi sebagian para petani yang menolak lahannya dipakai untuk perkebunan tebu, PT. Wahana Surya Agro. Ia juga ikut mendampingi para petani untuk menuntut hak ganti rugi lahan kepada perusahaan perkebunan tebu dan Pemdes. Baginya, ada berbagai kejanggalan saat ganti rugi lahan para petani yang dilakukan oleh pemerintah desa. Pemdes diduga, telah menyalahi kesepakatan dalam musyawarah yang dilakukan pada tanggal 27 Mei 2015 lalu.

Merespon keresahan warga, maka bulan Juni, ia dan beberapa warga membentuk Jaringan Pemerhati Petani (JPP) Desa Wantiworo. Anggotanya terdiri dari 15 orang. Ada beberapa mahasiswa dan warga, sementara koordinatornya dia sendiri.

Jaringan kemudian mulai bergerak dan melakukan konsolidasi dengan beberapa warga. Selain untuk mengetahui dan mencatat warga-warga yang memiliki lahan, jaringan juga bekerja melakukan advokasi pada warga untuk menuntut hak ganti rugi lahan. Pada akhir bulan Oktober misalnya, jaringan mengirim surat kepada DPRD Kab. Muna untuk meminta audiensi. Tanggal 02 November ada respon dari DPRD, yang diwakili oleh komisi IV.

Dalam surat pengaduan itu, jaringan menuntut agar hak-hak warga diberikan sepenuhnya. Pembagian ganti rugi lahan harus trasnparan, tak boleh ada yang ditutup-tutupi. Sebagaimana hasil dalam musyawarah, sebelum lahan warga dilakukan penggusuran, perlu adanya penerbitan kepemilikan hak atas tanah (SKT) terlebih dahulu. Surat Keterangan Tanah (SKT) itu diperlukan agar masyarakat mengetahui luas tanah beserta batas-batasnya. Setelah itu, warga diberikan hak ganti rugi lahan, dimana per hektarnya (ha) sekitar Rp. 4.000.000,00-5.000.000,00.

Temuan Jaringan mengungkapkan, yang terjadi justru sebaliknya. Kesepakatan itu tidak ditindaklanjuti. Pemerintah desa memberikan ganti rugi lahan tanpa SKT warga. Yang membuat miris, setiap warga mendapat ganti rugi lahan yang berbeda-beda setiap per hektarnya dibawa harga, tidak sesuai kesepakatan awal antara perusahaan perkebunan tebu dan masyarakat.

Pertengahan November, setelah audiensi dengan komisi IV DPRD, jaringan kembali mempertanyakan hasil rapat tersebut. Tak ada tindaklanjut. Jaringan merasa, DPRD telah mengabaikan tuntutan dan aspirasi warga.

Protes-protes terhadap kebijakan  pemerintah desa terus berlanjut, yakni terkait dengan transpransi pengelolaan Dana Desa. Pada Juni 2018, Komunitas Mahasiswa dan Pemuda serta Jaringan Pemerhati Petani  (JPP) Desa Wantiworo memprotes kebijakan Pemdes terkait pembangunan sarana dan prasarana olahraga atau lapangan futsal pada lapangan yang memiliki nilai sejarah bagi masyarakat. Menurut koordinator jaringan, La Ode Muliadi waktu itu, lapangan yang dijadikan sebagai lapangan futsal sangat memiliki nilai sejarah bagi masyarakat setempat, karena mantan Presiden B. J. Habibie pernah berkunjung pada tahun 1987.

Jaringan berpendapat, pembangunan lapangan futsal sangat dipaksakan. Lapangan yang menjadi ikon desa, yang dijadikan sebagai pembangunan sarana dan prasarana olahraga sangat tidak tepat sasaran. Pasalnya, sejak awal, pembuatan lapangan futsal disepakati bukan didirikan pada lapangan yang sudah jadi, tetapi mencari lahan atau tanah kosong yang menjadi kewenangan Pemdes. Hasil temuan Jaringan mengungkapkan, Pemdes tak menemukan lahan kosong sehingga memaksakan menggaraap proyek pembangunan sarana dan prasarana olahraga tersebut pada lapangan yang telah menjadi ikon desa.

Masih pada bulan Juni, Forum dan JPP kemudian mencoba bersurat pada Pemdes untuk melakukan audiensi. Anggota Forum dan JPP kemudian bergerak di Balai Pertemuan Desa untuk melakukan dialog. Hasilnya nihil. Anak buah Kepala Desa, mencoba membubarkan teman-teman mahasiswa dan pemuda. Pemdes menuduh Forum dan JPP sebagai provokator, yang memicu keributan di desa.

Selama beberapa bulan, anggota Forum dan JPP banyak mendapat tekanan. Mereka juga mendengar isu akan hendak dilaporkan ke polisi. Jaringan menganggap, hal itu dilakukan  untuk melunakan nyali beberapa anggota. Ada yang benar-benar takut dan memilih diam. Bagi Adin, menyuarakan protes untuk hak-hak warga desa adalah perkara yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Ia tetap menjaga dan menyemangati anggota Forum dan Jaringan untuk tetap berani memberikan kritik pada Pemdes.

Bulan Oktober 2020, sebagian anggota Forum dan Jaringan kemudian mulai membentuk Aliansi Pemerhati Masyarakat Wantiworo (APMW). Aliansi adalah organisasi yang menjadi wadah para mahasiswa, pemuda dan masyarakat untuk merespon permasalahan di desa.

Sebagai koordinator aliansi, Adin menganggap, pembentukan Aliansi di desa sangat penting, mengingat desa saat ini posisinya sangat seksi, menjadi rebutan para pejabat ditingkat lokal dan pemodal. Bukan saja ada kucuran dana dari Negara, tetapi kejadian-kejadian pengrusakan lingkungan juga banyak terjadi di desa. Untuk itu, ia bersama kawan-kawannya berniat untuk terus melakukan advokasi terhadap masyarakat desa.

Sepanjang tahun 2018-2020, Adin beserta kawan-kawan terus menyuarakan kritik terhadap Pemdes. Harapannya, agar Pemdes Wantiworo dapat mengelola Dana Desa secara transparan dan akuntabel. Pengawasan yang dilakukan oleh Aliansi bertujuan agar pengelolaan Dana Desa oleh Pemdes benar-benar tepat sasaran. Hal itu, tentu sejalan dengan arahan Presiden Jokowi pada Rabu, 11/12/2019, agar penggunaan Dana Desa perlu diawasi oleh masyarakat.

November 2020, Aliansi mulai melakukan pengawasan terhadap penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa. BLT DD adalah bantuan yang diberikan oleh pemerintah guna membantu menyangga kehidupan ekonomi warga desa, terutama bagi mereka yang terdampak Covid-19. Khusus Desa Wantiworo, anggaran BLT DD mencapai sebesar Rp. 837,900,000,00.

Bagi Aliansi, anggaran BLT DD ini cukup besar. Tanpa pengawasan, anggaran ini dengan gampang akan disalahgunakan. Desember 2020, Aliansi menemukan, penyaluran BLT DD yang dilakukan oleh pemerintah desa dianggap bolong, tidak dilakukan penyaluran pada tahap 9 bulan 12. Ada dugaan, BLT tahap akhir ini telah diselewengkan. Aliansi lalu bergerak, mulai mencatat dan menelusuri warga-warga yang belum menerima BLT. Dari hasil penelusuran itu, warga mengakui, Pemdes Wantiworo belum atau tidak pernah menyalurkan BLT.

Menanggapi pengakuan warga, Aliansi tidak tinggal diam. Mereka menuntut Pemdes untuk segera menyalurkan hak-hak warga. Di grup Facebook Pemuda Wantiworo misalnya, Adin mengkritik Pemdes terkait keterlambatan penyaluran BLT DD. Bukan saja Adin,terdapat beberapa akun palsu turut serta mengritik Pemdes. Akibat dari kritikan tersebut, lalu muncul reaksi dari Pemdes Wantiworo. Adin dituduh memakai akun palsu untuk menyerang Pemdes. Ia membantah dan meminta Pemdes untuk membuktikan tuduhan tersebut.

Tak bisa membuktikan, Pemdes tetap bersikeras dengan tuduhannya. Bahkan ada isu ancaman, memenjarakan orang-orang yang memakai akun palsu bagi yang menyerang Pemdes. Karena tak merasa memakai akun palsu, anggota Aliansi tetap berani, tegak pada jalurnya, menuntut Pemdes untuk transparan mengelola BLT DD. Tak lama setelah polemik itu bergulir, Adin diduga mengalami penganiayaan dari PLT Kepala Desa Wantiworo.

Dari desakan-desakan yang aliansi suarakan, Pemdes Wantiworo kemudian mulai terlihat ketakutan. Keterlambatan penyaluran BLT terus menuai polemik ditengah masyarakat. Aliansi lalu mengadukan temuan ini di Polres Muna tanggal 24 Februari 2021. Dari laporan tersebut, tanggal 9 Maret 2021, sehari sebelum Tipikor Polres Muna turun ke desa, Pemdes Wantiworo menyalurkan BLT DD tahap akhir bulan Desember 2020. Penyaluran ini, jelas sudah dianggap terlambat karena menyebrang tahun. Aliansi berpendapat, meskipun BLT sudah disalurkan ke masyarakat, proses hukum harusnya tetap berlanjut. Pemdes dinilai sudah menyalahi aturan. Tak menutup kemungkinan, ada dugaan-dugaan penyelewengan anggaran Dana Desa lain, dari program pembangunan di Desa Wantiworo.

Para Aktivis Bertaruh Nyawa

Dugaan kasus penganiayaan yang dialami Adin harus dilihat secara serius. Dari kritik-kritikannya bersama anggota Aliansi dan laporannya di Polres Muna, kini dia tengah berada dalam posisi berbahaya dan bahaya.

Berbahaya karena ia dianggap sebagai ancaman. Ia tetap dalam komitmennya, tak akan berhenti untuk terus mengusut dugaan korupsi di desanya. Namun, ia tak pernah lupa bahwa posisinya saat ini juga tengah berada dalam bahaya. Nyawanya, kini dalam posisi terancam.

Ia mengingat kejadian pada Rabu dini hari, 13 April 2021, orang tuanya mendapat teror dari orang yang tak dikenal. Dari keterangan ayahnya, para preman itu datang langsung mematikan sekring listrik dirumahnya. Setelah itu, mereka mencoba membuka jendela dan mendobrak pintu rumah bagian depan dan belakang sambil menanyakan nama Adin. Dalam ketakutan, ayahnya tak menyahuti para preman itu. Tak berselang lama mereka bergegas pergi.

Gempuran berupa ancaman, teror dan penganiayaan sudah menjadi hari-hari yang dilalui oleh para aktivis. Bukan saja itu, nyawa mereka seringkali menjadi taruhannya. Salim Kancil misalnya, aktivis desa di Desa Selok Awar-Awar, Lumajang, Jawa Timur, yang memperjuangkan tanahnya akibat pertambangan pasir, tewas dibunuh oleh tim preman yang ditugaskan Kepala Desa. Ia tewas dikeroyok, dipukuli, dan dianiaya tanpa ampun.

Sebagaimana yang dilaporkan oleh media Tirto.id, yang dilansir dari laman Selamatkan Bumi menyebutkan, Salim Kancil mendapat penyiksaan berat dengan kondisi tangan terikat tali. Tubuhnya, bukan saja mendapat hantaman pukulan tangan kosong, tapi berupa kayu dan terjangan batu. Dengan kepala yang berdarah, ia dibawa dijalan yang sepi ke arah makam. Para preman itu, menyiksa Salim dengan lebih kejam lagi. Tubuhnya disetrum. Kepalanya digorok. Seonggok batu besar dihajarkan dikepalanya hingga merenggang nyawa.

Kawannya bernama Tosan juga mengalami nasib yang serupa dengan Salim. Tapi, ia masih bernasib lebih baik. Saat preman komplotan Desir menganiaya Tosan, ia berpura-pura meninggal. Tosan selamat setelah dibawa ke rumah sakit.

Kasus-kasus yang dialami para aktivis di desa tidak hanya berhenti pada Salim dan Tosan. Apa yang dialami Adin hanyalah puncak gunung es atas dugaan kasus yang menimpanya. Bukan saja pembunuhan dan penganiayaan, tapi ada upaya kriminalisasi para aktivis desa. Posisi mereka makin berbahaya, selain taruhan nyawa, juga ada upaya agar para aktivis dipenjara. Mereka yang punya pengaruh karena jabatan dan modal besar, dengan gampang melakukan kongsi, baik sesama pejabat, preman juga aparat negara. Seperti itulah cara mereka untuk meredam aktivisme warga, membungkam bagi yang melawan.

Ario Bayu Prakoso, seorang warga di Desa Ngemplak, Kecamatan Gebang, Kab. Purworejo, Jawa Tengah, juga mengalami penganiayaan yang dilakukan oleh Kepala Desa bersama anak buahnya. Bayu, bukan hanya mengalami pemukulan, namun muka dan kepalanya juga ditendang. Ia mengalami penganiayaan karena mendorong transparansi penggunaan Dana Desa.

Laporan Kompas.com menyebutkan, Bayu yang saat itu sedang berada dirumahnya, didatangi oleh Kepala Desa dengan menggedor-gedor pintu dan marah-marah. Tak berselang lama, anak buah Kepala Desa datang dan langsung memukulnya dengan alat plester bangunan yang terbuat dari kayu.

Kepala Desa memulai obrolan dengan nada tinggi dan ekspresi yang sangat emosional, yang pada intinya menuduh Bayu bersama warga lainnya berusaha menjatuhkan Kepala Desa. Tidak hanya itu, salah seorang yang diketahui sebagai perangkat desa ikut melakukan penganiayaan dengan cara menendang kepala bagian kiri, demikian keterangan Direktur LBH Semarang Zainal Arifin dalam keterangan tertulisnya, Senin (27/8/2020), seperti dikutip Kompas.co.

Upaya-upaya pembungkaman baik ancaman, penganiayaan, pembunuhan maupun kriminalisasi terhadap para aktivis seolah memberi pesan terselubung bahwa “semua aktivitasmu tak boleh menganggu kami.” Kejadian-kejadian tersebut dilakukan bukan tanpa alasan. Secara tidak langsung, ada pesan yang hendak disampaikan, yakni jangan menganggu dan macam-macam jika tak ingin dihabisi. Pesan ini menunjukan bahwa para pelaku takut terhadap sikap kritis masyarakat. Kedok mereka tak ingin terbongkar dan diketahui publik.

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) mencatat, dalam kurun Januari-April 2020, ada 22 peristiwa pelanggaran dan kekerasan terhadap pembela HAM. Pada tahun sebelumnya ELSAM mencatat, sepanjang tahun 2019 terdapat 27 kasus kekerasan yang menimpa pembela HAM atas lingkungan. Sementara catatan LBH Pers mengungkapkan, kasus-kasus kekerasan tersebut bukan hanya menimpa para aktivis lingkungan, namun masyarakat dan jurnalis juga mengalami hal serupa. Hal ini mengindikasikan bahwa maraknya kasus kekerasan terhadap pembela HAM menjadi gambaran lemahnya perlindungan negara terhadap para aktivis.

Temuan Global Witness, sebuah lembaga swadaya yang bergerak di bidang anti-eksploitasi lingkungan lebih menarik lagi. Lembaga ini menjelaskan, kasus pembunuhan terhadap aktivis kerap terjadi di daerah terpencil.

Sudah bukan rahasia lagi, pemerintah lokal baik ditingkat Bupati maupun Kepala Desa kerap berkongsi dengan pemilik modal untuk saling menjaga dan menyelamatkan satu sama lain agar tak terjerat hukum. Untuk itu, mereka memiliki keberanian sebab biasanya kasus-kasus ditingkat lokal kurang mendapat perhatian ditingkat nasional. Di tambah lagi tidak adanya tindakan yang jelas dan tegas dari negara. Dari situ, penyingkiran terhadap para aktivis juga bagian dari kontribusi mereka.

Mereka yang bersuara kritis, seperti Aji Kusumo di Yogyakarta, Salim Kancil di Lumajang, Abdul Jamil di Demak, Yanes Balubun, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk wilayah Maluku dan Ambon, Budi Pego di Yogyakarta, dan Effendi Buhing ketua komunitas adat Laman Kinipan di Lamandau merupakan aktivis yang sangat vokal yang menjadi korban pembunuhan, penganiayaan dan kriminalisasi. Mereka disingkirkan dengan cara sadis maupun halus. Di balik penyingkiran itu, ada bekingan yang sangat kuat dibelakang mereka, yakni pejabat dan pemodal.

Saat uang besar mengalir, disitulah nasib para aktivis ditentukan, yakni tersingkir atau kalah.