30 Oktober 2022

Buku Bajakan Sebagai Pelarian

 


Kawan saya langsung berkomentar ketika buku yang dipesannya secara online tiba, “Saya tidak mampu beli buku yang original. Harganya terlalu mahal, katanya, sambil membuka bungkus kirimannya yang berisi buku. Saya begitu paham dengan kondisi ekonominya. Sebagai mahasiswa yang berasal dari kampung, membeli buku dengan harga lebih dari ratusan ribu sudah pasti banyak pertimbangan. Saya pernah mengalami itu waktu masih mahasiswa. Tapi, saya mencoba menghindari untuk tidak membeli buku bajakan.

Dengan kiriman yang seadanya, tentu saja jika memaksakan diri membeli buku original, maka harus siap mengurangi jatah makan atau pada akhir bulan mengencangkan tali pinggang. Supaya perut tetap terisi dengan teratur dan tentu saja punya buku bacaan, ia tidak punya pilihan lain dengan mengakalinya membeli buku bajakan. Buku bajakan dijadikan semacam ‘pelarian’.

Buku yang ia pesan secara daring itu berjumlah 5 buah. Saya tidak asing dengan buku-buku itu. Di gramedia tersedia bahkan sebagian buku-buku itu pernah saya baca sekilas. Harganya berbeda cukup jauh. Satu buah buku ia beli dengan harga puluhan ribu, sementara di gramedia, harganya mencapai ratusan. Lima buah buku, kawan saya itu hanya mengeluarkan uang dua ratus ribu rupiah dengan ongkos kirimannya.

Apakah kawan saya itu dengan membeli buku bajakan salah? Tentu saja, saya tak menyalahkannya. Yang saya soroti adalah maraknya industri pembajakan dan mahalnya harga buku. Di tengah minat baca yang minim, indusri pembajakan buku semakin besar. Sebuah kontradiksi yang membuat saya geleng-geleng kepala. Kawan itu kaget, saat saya menjelaskan bahwa pembajak itu melanggar Hak Kekayaan Intelektual (HKI). “Jadi ini tidak boleh, katanya, sambil memeriksa lembar-lembar bukunya yang sebagian huruf kalimatnya sangat buram.

Beberapa tahun yang lalu, saya pernah mengikuti diskusi tentang minimnya literasi dan pembajakan buku. Salah satu pemateri, kurang lebih mengatakan begini: “Jika kita lebih memilih membeli buku bajakan daripada buku original, itu artinya kita hendak melanggengkan industri pembajakan buku.” Ya, mungkin ada benarnya. Tapi disisi yang lain, seharusnya tak bisa kesalahan dilimpahkan kepada konsumen buku-buku bajakan.

Faktor daya beli dan mahalnya harga buku menjadi penyebab, mengapa mahasiswa dan sebagian masyarakat memilih buku bajakan. Apa yang dialami kawan saya adalah sebuah fakta bahwa ia benar-benar tak bisa menjangkau harga buku original. Perpustakaan juga tak memiliki peran yang optimal agar setiap orang bisa mengakses buku-buku.

Jadi, buku seolah jadi komoditas yang hanya bisa dijangkau oleh mereka yang memiliki finansial yang cukup. Harusnya tak begitu. Buku harusnya tersebar luas, bisa dijangkau oleh kalangan bawah, masyarakat kota pinggiran maupun pedesaan.

Keterlibatan pemerintah memang sangat dibutuhkan. Untuk penerbit, pemerintah harus memberikan insentif ekonomi agar buku lebih gampang diakses dan dibeli oleh masyarakat luas. Ini juga bagian dari upaya untuk memutus rantai industri pembajakan buku. Harus didukung dengan regulasi, tentu saja.

0 komentar:

Posting Komentar