Kawan
saya langsung berkomentar ketika buku yang dipesannya secara online tiba, “Saya
tidak mampu beli buku yang original. Harganya terlalu mahal, katanya, sambil
membuka bungkus kirimannya yang berisi buku. Saya begitu paham dengan kondisi
ekonominya. Sebagai mahasiswa yang berasal dari kampung, membeli buku dengan
harga lebih dari ratusan ribu sudah pasti banyak pertimbangan. Saya pernah
mengalami itu waktu masih mahasiswa. Tapi, saya mencoba menghindari untuk tidak
membeli buku bajakan.
Dengan kiriman
yang seadanya, tentu saja jika memaksakan diri membeli buku original, maka
harus siap mengurangi jatah makan atau pada akhir bulan mengencangkan tali
pinggang. Supaya perut tetap terisi dengan teratur dan tentu saja punya buku bacaan,
ia tidak punya pilihan lain dengan mengakalinya membeli buku bajakan. Buku
bajakan dijadikan semacam ‘pelarian’.
Buku yang
ia pesan secara daring itu berjumlah 5 buah. Saya tidak asing dengan buku-buku
itu. Di gramedia tersedia bahkan sebagian buku-buku itu pernah saya baca
sekilas. Harganya berbeda cukup jauh. Satu buah buku ia beli dengan harga
puluhan ribu, sementara di gramedia, harganya mencapai ratusan. Lima buah buku,
kawan saya itu hanya mengeluarkan uang dua ratus ribu rupiah dengan ongkos kirimannya.
Apakah
kawan saya itu dengan membeli buku bajakan salah? Tentu saja, saya tak
menyalahkannya. Yang saya soroti adalah maraknya industri pembajakan dan
mahalnya harga buku. Di tengah minat baca yang minim, indusri pembajakan buku semakin
besar. Sebuah kontradiksi yang membuat saya geleng-geleng kepala. Kawan itu
kaget, saat saya menjelaskan bahwa pembajak itu melanggar Hak Kekayaan Intelektual
(HKI). “Jadi ini tidak boleh, katanya, sambil memeriksa lembar-lembar bukunya
yang sebagian huruf kalimatnya sangat buram.
Beberapa
tahun yang lalu, saya pernah mengikuti diskusi tentang minimnya literasi dan pembajakan
buku. Salah satu pemateri, kurang lebih mengatakan begini: “Jika kita lebih
memilih membeli buku bajakan daripada buku original, itu artinya kita hendak
melanggengkan industri pembajakan buku.” Ya, mungkin ada benarnya. Tapi disisi
yang lain, seharusnya tak bisa kesalahan dilimpahkan kepada konsumen buku-buku
bajakan.
Faktor daya
beli dan mahalnya harga buku menjadi penyebab, mengapa mahasiswa dan sebagian
masyarakat memilih buku bajakan. Apa yang dialami kawan saya adalah sebuah
fakta bahwa ia benar-benar tak bisa menjangkau harga buku original.
Perpustakaan juga tak memiliki peran yang optimal agar setiap orang bisa
mengakses buku-buku.
Jadi,
buku seolah jadi komoditas yang hanya bisa dijangkau oleh mereka yang memiliki
finansial yang cukup. Harusnya tak begitu. Buku harusnya tersebar luas, bisa
dijangkau oleh kalangan bawah, masyarakat kota pinggiran maupun pedesaan.
Keterlibatan pemerintah memang sangat dibutuhkan. Untuk penerbit, pemerintah harus memberikan insentif ekonomi agar buku lebih gampang diakses dan dibeli oleh masyarakat luas. Ini juga bagian dari upaya untuk memutus rantai industri pembajakan buku. Harus didukung dengan regulasi, tentu saja.
0 komentar:
Posting Komentar