02 Oktober 2021

SULTRA, Rawan dalam Pusaran Korupsi

 

Ilustrasi Foto: (Edi Wahyono/Deticom)

Informasinya menyebar sangat cepat. Seorang kawan, jurnalis lokal di Kendari mengabarkan, kepala daerah perempuan pertama yang menjabat sebagai Bupati di Sultra itu terjerat kasus korupsi. Jabatannya tergolong singkat. Dia hanya menjabat selama tiga bulan setelah menggantikan Bupati sebelumnya Samsul Bahri karena meninggal dunia. Bupati Koltim itu, ikut terlibat dalam korupsi dana hibah BNPB berupa dana rehabilitasi dan rekonstruksi (RR) serta dana siap pakai (DSP).

Dia adalah Andi Merya Nur, seorang politisi yang mempunyai karir cukup cemerlang. Di usia 25 tahun, dia sudah menjadi anggota DPRD saat terpilih pada pemilu 2009 lalu. Pada Pemilu 2014, dia terpilih kembali sebagai anggota DPRD. Setahun menjabat, dia mengundurkan diri karena ikut mendampingi Toni Herbiansah sebagai Wakil Bupati. Andi Merya berhasil memenangi kontestasi Pilkada di Kolaka Timur itu.

Dari legislatif daerah terpilih dua kali, dia beralih dengan mulus ke eksekutif. Andi Merya, dua kali terpilih sebagai Wakil Bupati dengan pasangan yang berbeda. Pada pemilihan Bupati tahun 2020, dia mendampingi Samsul Bahri dan berhasil menyabet kursi Wakil Bupati. Belum sebulan dilantik, pasangannya, Samsul Bahri meninggal dunia.

Pada 14 Juni 2021 dengan usia yang masih 37 tahun, Andi Merya melanggeng sebagai Bupati. Kewenangannya tentu makin luas. Dia adalah pengambil kebijakan tertinggi di daerahnya. Dia juga harus mengusulkan dan mengontrol proyek-proyek di wilayahnya. Pada posisi itu, dia terjerumus dan tersandung masalah yang harus berhadapan dengan lembaga anti rasuah. Barang bukti yang hanya 25 juta rupiah, membuatnya terjungkal. Karirnya yang cukup cemerlang itu, kini runtuh dengan seketika.

Kasus-kasus korupsi di Sultra yang melibatkan kepala daerah sebelum Andi Merya, tentu sudah banyak terjadi. Ada nama mantan Gubernur Nur Alam dan Bupati Buton, Samsu Umar Abdul Samiun. Namun kasus korupsi yang menghebohkan publik adalah tertangkapnya Wali Kota Kendari, Adriatma Dwi Putra bersama ayahnya, Asrun, pada tahun 2018. Mereka dicokok KPK karena keterlibatannya dalam korupsi fee proyek infrastruktur di Kota Kendari.

Adriatma Dwi Putra merupakan produk dinasti politik dari ayahnya, Asrun yang menjabat Wali Kota Kendari selama dua periode. Dia adalah putra mahkota yang digadang-gadang akan meneruskan kekuasaan ayahnya. Pada saat itu, setelah Asrun meninggalkan tampuk kekuasaannya sebagai Wali Kota, dia berusaha melebarkan kekuasaan untuk berebut kursi empuk Gubernur. Sementara untuk Wali Kota, dia mencalonkan anaknya dan terpilih.

Yang menarik, anaknya Adriatma Dwi Putra merupakan Wali Kota termuda yang menjabat sangat singkat, selama lima bulan. Dia menjabat sejak 9 Oktober 2017 sampai dengan 28 Februari 2018. Kasus korupsi yang menimpahnya berupa fee proyek infrastruktur ditengarai akan digunakan sebagai uang kampanye ayahnya, yang pada saat itu sedang mencalonkan diri sebagai Gubernur. Meski ayahnya sudah tersangka, langkahnya tidak terhenti. Asrun tetap berkompetisi dengan Cagub lain, meski kalah karena kasus korupsi yang melibatkannya.

Hanya berselang beberapa bulan, Bupati Buton Selatan, Agus Feisal Hidayat juga dicokok KPK. Dia terlibat kasus penerimaan hadiah dan janji dalam pengerjaan proyek di Buton Selatan. Dalam kasus ini, KPK menyita barang bukti uang senilai 409 juta rupiah.

Sama dengan Adriatma, jalan politik Agus Feisal Hidayat juga bersinggungan dengan kekuasaan. Ayahnya, Sjafei Kahar, pernah menjabat sebagai Bupati Buton selama dua periode. Selama ayahnya menjabat, Agus Feisal sangat melekat dengan kekuasaan. Karirnya berjalan mulus. Posisinya saat itu dimulai dari kepala seksi hingga menjadi staf ahli Bupati Buton.

Perjalanan Agus Feisal untuk merengkuh kekuasaan memang sangat panjang. Agus Feisal, dua kali gagal sebagai Wakil Wali Kota Baubau, pada tahun 2008 dan 2012. Setahun sebelumnya, 2011, dia juga gagal dalam memperebutkan kursi kekuasaan dalam Pilkada Buton. Meski awalnya keluar sebagai pemenang, wangi kemenangan itu hanya dihirup sesaat saja. Kemenangannya dianulir oleh Mahkama Konstitusi. Dari sinilah awal terjungkalnya Umar Samiun dari kursinya sebagai Bupati Buton pada tahun 2017. Umar Samiun ditahan KPK terkait kasus suap pada ketua MK, Akil Mochtar yang menangani Pilkada Buton di tahun 2011.

Ungkapan, kegagalan adalah kemenangan yang tertunda ternyata sangat berlaku untuk Agus Feisal. Dengan bekal pengalamannya, dia kemudian mengikuti kontestasi Pilkada Buton Selatan pada tahun 2017. Tiga kali menelan pil pahit dalam panggung politik, dia kemudian mendapatkan momentum kemenangannya. Mahkota itu berhasil dia rebut. Perjuangannya berbuah dengan kemenangan manis.

Namun siapa sangka mahkota itu hanya sekadar singgah dan berubah pil pahit kemudian. Hanya setahun menjabat, dia terjerembab dalam godaan kekuasaan. Kursi empuk yang hendak didudukinya selama lima tahun, berubah menjadi ruang pengap dan gelap dalam sel tahanan.

**

Riwayat panggung politik kita memang pada kenyataannya, banyak para elit yang berkuasa selalu menempatkan atau mendorong keluarganya pada posisi penting. Pertalian itu bukan tak mungkin berbahaya. Ketika penguasa wilayah hanya datang pada segelintir keluarga, maka kekuasaan itu menjadi tak terkontrol atau kekuasaannya tak memiliki batasan. Muaranya adalah korupsi. Ia mesti melayani kepentingan banyak pihak.

Di Muna, juga dihadapkan dengan dinasti politik Ridwan Bae yang saat ini tercatat sebagai anggota DPR RI. Sebelumnya, dia pernah menjabat sebagai Bupati Muna dua periode. Anaknya Iksan Taufik, meski kalah pada Pilkada Muna Barat, digadang-gadang akan meneruskan tahta politik ayahnya. Putrinya, Wa ode Rabia Al Adawia telah berhasil merebut kursi DPD. Ponakannya, Rusman Emba, tengah menikmati jabatan sebagai Bupati Muna di periode keduanya.

Sementara di Konawe, ada nama Kery Saiful Konggoasa. Dia sedang menjabat sebagai Bupati Konawe untuk periode kedua. Dari beberapa informasi yang beredar, dia tengah menyiapkan diri untuk berebut kursi Gubernur. Anaknya, Fachri Konggoasa sedang menjabat sebagai anggota DPR RI.

Lalu, akankah korupsi di Sultra dapat berakhir, mengingat bayang-bayang para elit tengah membentuk dinasti politik!? Di tengah nikmatnya kekuasaan, godaan datang silih berganti dan menggiurkan. Ibarat dinding, ada yang cepat keropos lalu runtuh, ada juga yang lama bertahan dan tetap tegak berdiri. Semuanya hanya menunggu waktu.

Godaan Dalam Kekuasaan

Pepatah yang mengatakan, semakin tinggi pohon, semakin kencang angin yang menerpanya agaknya sangat berlaku untuk para penguasa. Pada hakikatnya kekuasaan adalah godaan. Saat seseorang mendapat kekuasaan, maka godaan yang datang mengerubunginya akan sangat besar. Ibarat gula, kekuasaan dapat mengundang banyak semut. Pada posisi itu, penguasa diberi ujian, apakah bisa menjadi pemimpin sejati atau hanya sekadar imitasi.

Kutipan salah satu presiden legendaris Amerika Serikat, Abraham Lincoln, mungkin sangat tepat dikemukakan disini bahwa “semua orang bisa tahan dengan kesengsaraan, tapi bila ingin mengetahui karakter seseorang, berilah dia kekuasaan.”

Kenikmatan dalam kekuasaan memang mendatangkan banyak efek. Ia bisa berakhir baik, tapi bisa juga berakhir buruk. Ia dapat berbuah manis tapi kadangkala bisa juga berbuah pahit. Berakhir baik, ketika kekuasaan dijalankan sebagai tanggungjawab sosial. Ia lebih mementingkan kepentingan publik dari pada kepentingan kelompok. Ia lebih memahami dirinya, bahwa ia adalah pelayan rakyat bukan golongan. Dan pada titik ini, muaranya dapat berbuah manis. Penguasa bisa menjadi seseorang yang berkarisma, dielu-elukan hingga dipuji oleh banyak orang.

Namun, kekuasaan bisa membuat seseorang terlena, dan ingin berkuasa lebih lama. Ada godaan fasilitas dan berbagai kemudahan yang didapat. Dengan kekuasaan, mereka tergoda untuk terus melanggengkan kekuasaannya. Untuk menjaga eksistensi kekuasaan itu, biasanya mereka menempatkan atau mendorong keluarga baik istri, anak, paman, dan ponakan untuk masuk dalam suatu jabatan politik. Tujuannya, untuk mempertahankan supremasi keluarga dalam lingkaran kekuasaan.

Praktik-praktik ini yang diterapkan di Sultra, dengan membentuk dinasti politik pada kenyataannya memang berakhir buruk. Kekuasaan dinasti politik dihadapkan dengan banyaknya godaan konflik kepentingan. Muaranya mengarah pada penyelewengan kekuasaan itu sendiri. Moralitas kekuasaan yang tidak terlepas dengan tanggungjawab sosial dengan cepat disingkirkan. Di kepala mereka, kekuasaan bukan lagi bagaimana meningkatkan kebijakan publik, menjadi pelayan dengan mensejahterakan rakyat, tetapi mengamankan kepentingan sembari membuka karpet merah untuk melayani kelompoknya.

Dengan begitu, nalar publik seolah dijauhi. Kekuasaan bekerja serupa obat bius. Kepekaan terhadap kondisi sosial dimasyarakat tenggelam karena lebih mementingkan kepentingan pribadi. Ketika kekuasaan membuat penguasa rabun jauh dan lebih memilih bermain atau menyerempet dengan yang lebih dekat, maka rompi oranye menyambut.

Kata Lord Acton “Kekuasaan cenderung merusak, dan kekuasaan mutlak merusak secara mutlak.”

0 komentar:

Posting Komentar