22 September 2021

DARI PASARWAJO, RONGI, LAPANDEWA LALU KE BUGI

Gadis Kampung Bugi

Perjalanan yang melelahkan, pikirku. Bersama kawan saya, Nirwan, kami berangkat dari Baubau ke Pasarwajo pukul 14.00.

Di perjalanan, kami dihadang dengan hujan rintik kemudian berubah menjadi hujan deras. Kami berteduh dipondok-pondok, dibagian kawasan hutan konservasi Lambusango. Selama menuju Pasarwajo, kami berteduh sebanyak tiga kali. Langit terus memuntahkan air hingga malam. Kami pun memaksakan perjalanan dengan kondisi hujan dan basah kuyup.

Dua hari di Pasarwajo, kawan saya bersedia membawa saya untuk jalan-jalan, mengunjungi benteng Lipuogena Takimpo. Dari tempat menginapku, perjalanannya hanya memakan waktu 20 menit. Posisi bentengnya berada di atas perkampungan warga.

Menurut beberapa cerita, benteng ini merupakan salah satu benteng pertahanan kesultanan Buton. Ketika saya memasuki gerbang banteng, itu sudah terlihat galampa (tempat adat), masjid dan lima buah pintu kecil yang biasa warga setempat menyebutnya Lawa. Pintu kecil (Lawa) ini punya nama sendiri-sendiri seperti Lawa Naemata, Lawa Sampu, Lawa Nawakeke, Lawa Kolowundanga, dan Lawa Pibuni. Nama-nama pintu kecil ini, mungkin punya arti sendiri-sendiri. Ada banyak hal sebenarnya yang ingin saya ketahui tentang banteng ini. Sayang, saya tak bisa menemukan banyak cerita disini.

Dari Pasarwajo, esoknya bersama kawan saya mencoba menuju Rongi atau desa Sandang Pangan, Buton Selatan. Rongi ini merupakan kampung yang pernah saya kunjungi tahun 2015, dalam rangka Kuliah Kerja Nyata (KKN). Di sini saya bertemu kawan saya, seorang guru yang sudah lama mengabdikan dirinya untuk mencerdaskan anak-anak Rongi.

Di depan muka saya, saya melihat kampung Rongi sudah nampak berbeda. Semua terlihat indah dan memesona. Pemandangannya memanjakan mata. Bukit Lamando masih berdiri kokoh dengan wajah yang nampak sangat indah dan asri. Tak ada bangunan-bangunan vila para pejabat. Saya begitu tak percaya ketika kawan saya, Pak Ikhsan mengatakan bahwa Rongi terkenal ketika kami KKN. Pada hal sebagai Koordinator Desa KKN, saya tak banyak melakukan apa-apa. Kegiatan saya di Rongi, salah satunya hanya bercengkrama dengan warga sambil menanyakan apakah punya anak gadis yang masih jomblo atau tidak. Hehe.

Selanjutnya kami melanjutkan perjalanan di Lapandewa, sebuah kampung yang berada diperbukitan. Di bawah bukit terdapat desa Tira dan Bahari. Kami melewati pendakian Warope untuk sampai di Lapandewa. Dengan hawa yang begitu dingin dan sudah malam, kawan saya menunjukan sebuah lokasi kebun bawang merah yang sangat luas, yang warga kampungnya disebut lokasi kebun Wanculepani. Lapandewa memang sangat terkenal dengan penghasil bawang merah. Di kampung ini, saya juga tak banyak menemukan cerita karena sudah larut malam.

Kami lalu berbalik arah untuk menuju Baubau. Di perjalanan, tepatnya di desa Bugi, terdapat banyak warga yang lalu lalang untuk menuju pesta kampung. Kawan saya lalu mengajak untuk istrahat sejenak sambil menyaksikan pesta kampung. Di galampa (tempat adat) saya begitu terkesima ketika menyaksikan para gadis-gadis, anak-anak, dan para pemuda ikut memeriahkan pesta kampung. Laki-laki dan perempuan baik gadis-gadisnya, para pemuda, anak-anak, dan orang tua ikut menari dalam pertunjukan itu. Mereka menari dengan sangat indah dihadapan para tokoh adat.

Di tengah kerumunan, saya mencoba mencari tahu tentang desa Bugi di google. Di layar Hp, ulasan tentang desa Bugi mengagetkan saya. Di artikel Kompas tertulis “Wah, Ada Kampung Korea di Kota Baubau”, membuat saya penasaran. Saya membaca dengan pelan dan menemukan bahwa Bugi itu disebut sebagai kampung Korea. Bahasanya, cia-cia Laporo, mempunyai sedikit persamaan dengan aksara Hangeul atau bahasa Korea. Menariknya, penulisan aksara Hangeul masuk dalam kurikulum mata pelajaran sekolah.

Saat saya lagi serius membaca informasi tentang Bugi, tiba-tiba kawan saya membuyarkan konsentrasiku. “Jejeran penari yang paling awal itu cantik sekali”, katanya. Saya lalu membangunkan kepala, mataku mencari-mencari wanita cantik itu. Pikirku, mungkin dia agak mirip dengan wajah artis korea, Son Ye Jin. Hehe.

Saat mereka keluar, kawan saya memintanya untuk berfoto. “Bisa kami berfoto dengannya”, kata kawan saya kepada lelaki muda itu. Lelaki itu mengiyakan, boleh berfoto tapi harus di temani laki-laki lainnya. Duh, pada hal saya hanya ingin berfoto dengan gadis-gadis cantik itu, meminta kontaknya dan mau belajar bahasa korea. Entah apa yang ada dipikiran lelaki itu saya tak tau. Atau jangan-jangan dia tahu saya masih jomblo.

                                                                                    Baubau, 23 September 2021

0 komentar:

Posting Komentar