Kisah Seorang Nelayan di Purirano

Ini adalah cerita saat saya bertemu dengan nelayan di purirano. Keadaan mereka penuh dengan ketidakadilan.

Kenangan di Puncak Terindah Buton Selatan

Ini adalah bentuk penghayatan, akan indahnya alam. Olehnya itu, alam harus dijaga dengan baik agar kita hidup dalam penuh damai dan tentram.

Menggeluti Ilmu di Perguruan Tinggi

Bersama dengan ilmu pengetahuan kita dapat maju, bergerak dan bersaing dengan pihak-pihak lain. Mari, kita dahulukan pendidikan kita.

Sebuah Perjalanan di Muna Barat

Kami mencari keadilan atas masyarakat yang selama ini teralienasi. Lahan-lahan mereka dipermainkan oleh elit-elit desa, mengeruk keuntungan dengan membodohi masyarakat. Kami menolak dan melawan.

Mencari Keindahan di Danau Maleura

Di danau ini, ada panorama keindahan, yang membuat pengunjung sangat menikmati suasana. Hawa dingin dan air yang jernih dan terdapat banyaknya gua-gua. Ini keren kan. Adanya hanya di Muna.

02 Oktober 2021

SULTRA, Rawan dalam Pusaran Korupsi

 

Ilustrasi Foto: (Edi Wahyono/Deticom)

Informasinya menyebar sangat cepat. Seorang kawan, jurnalis lokal di Kendari mengabarkan, kepala daerah perempuan pertama yang menjabat sebagai Bupati di Sultra itu terjerat kasus korupsi. Jabatannya tergolong singkat. Dia hanya menjabat selama tiga bulan setelah menggantikan Bupati sebelumnya Samsul Bahri karena meninggal dunia. Bupati Koltim itu, ikut terlibat dalam korupsi dana hibah BNPB berupa dana rehabilitasi dan rekonstruksi (RR) serta dana siap pakai (DSP).

Dia adalah Andi Merya Nur, seorang politisi yang mempunyai karir cukup cemerlang. Di usia 25 tahun, dia sudah menjadi anggota DPRD saat terpilih pada pemilu 2009 lalu. Pada Pemilu 2014, dia terpilih kembali sebagai anggota DPRD. Setahun menjabat, dia mengundurkan diri karena ikut mendampingi Toni Herbiansah sebagai Wakil Bupati. Andi Merya berhasil memenangi kontestasi Pilkada di Kolaka Timur itu.

Dari legislatif daerah terpilih dua kali, dia beralih dengan mulus ke eksekutif. Andi Merya, dua kali terpilih sebagai Wakil Bupati dengan pasangan yang berbeda. Pada pemilihan Bupati tahun 2020, dia mendampingi Samsul Bahri dan berhasil menyabet kursi Wakil Bupati. Belum sebulan dilantik, pasangannya, Samsul Bahri meninggal dunia.

Pada 14 Juni 2021 dengan usia yang masih 37 tahun, Andi Merya melanggeng sebagai Bupati. Kewenangannya tentu makin luas. Dia adalah pengambil kebijakan tertinggi di daerahnya. Dia juga harus mengusulkan dan mengontrol proyek-proyek di wilayahnya. Pada posisi itu, dia terjerumus dan tersandung masalah yang harus berhadapan dengan lembaga anti rasuah. Barang bukti yang hanya 25 juta rupiah, membuatnya terjungkal. Karirnya yang cukup cemerlang itu, kini runtuh dengan seketika.

Kasus-kasus korupsi di Sultra yang melibatkan kepala daerah sebelum Andi Merya, tentu sudah banyak terjadi. Ada nama mantan Gubernur Nur Alam dan Bupati Buton, Samsu Umar Abdul Samiun. Namun kasus korupsi yang menghebohkan publik adalah tertangkapnya Wali Kota Kendari, Adriatma Dwi Putra bersama ayahnya, Asrun, pada tahun 2018. Mereka dicokok KPK karena keterlibatannya dalam korupsi fee proyek infrastruktur di Kota Kendari.

Adriatma Dwi Putra merupakan produk dinasti politik dari ayahnya, Asrun yang menjabat Wali Kota Kendari selama dua periode. Dia adalah putra mahkota yang digadang-gadang akan meneruskan kekuasaan ayahnya. Pada saat itu, setelah Asrun meninggalkan tampuk kekuasaannya sebagai Wali Kota, dia berusaha melebarkan kekuasaan untuk berebut kursi empuk Gubernur. Sementara untuk Wali Kota, dia mencalonkan anaknya dan terpilih.

Yang menarik, anaknya Adriatma Dwi Putra merupakan Wali Kota termuda yang menjabat sangat singkat, selama lima bulan. Dia menjabat sejak 9 Oktober 2017 sampai dengan 28 Februari 2018. Kasus korupsi yang menimpahnya berupa fee proyek infrastruktur ditengarai akan digunakan sebagai uang kampanye ayahnya, yang pada saat itu sedang mencalonkan diri sebagai Gubernur. Meski ayahnya sudah tersangka, langkahnya tidak terhenti. Asrun tetap berkompetisi dengan Cagub lain, meski kalah karena kasus korupsi yang melibatkannya.

Hanya berselang beberapa bulan, Bupati Buton Selatan, Agus Feisal Hidayat juga dicokok KPK. Dia terlibat kasus penerimaan hadiah dan janji dalam pengerjaan proyek di Buton Selatan. Dalam kasus ini, KPK menyita barang bukti uang senilai 409 juta rupiah.

Sama dengan Adriatma, jalan politik Agus Feisal Hidayat juga bersinggungan dengan kekuasaan. Ayahnya, Sjafei Kahar, pernah menjabat sebagai Bupati Buton selama dua periode. Selama ayahnya menjabat, Agus Feisal sangat melekat dengan kekuasaan. Karirnya berjalan mulus. Posisinya saat itu dimulai dari kepala seksi hingga menjadi staf ahli Bupati Buton.

Perjalanan Agus Feisal untuk merengkuh kekuasaan memang sangat panjang. Agus Feisal, dua kali gagal sebagai Wakil Wali Kota Baubau, pada tahun 2008 dan 2012. Setahun sebelumnya, 2011, dia juga gagal dalam memperebutkan kursi kekuasaan dalam Pilkada Buton. Meski awalnya keluar sebagai pemenang, wangi kemenangan itu hanya dihirup sesaat saja. Kemenangannya dianulir oleh Mahkama Konstitusi. Dari sinilah awal terjungkalnya Umar Samiun dari kursinya sebagai Bupati Buton pada tahun 2017. Umar Samiun ditahan KPK terkait kasus suap pada ketua MK, Akil Mochtar yang menangani Pilkada Buton di tahun 2011.

Ungkapan, kegagalan adalah kemenangan yang tertunda ternyata sangat berlaku untuk Agus Feisal. Dengan bekal pengalamannya, dia kemudian mengikuti kontestasi Pilkada Buton Selatan pada tahun 2017. Tiga kali menelan pil pahit dalam panggung politik, dia kemudian mendapatkan momentum kemenangannya. Mahkota itu berhasil dia rebut. Perjuangannya berbuah dengan kemenangan manis.

Namun siapa sangka mahkota itu hanya sekadar singgah dan berubah pil pahit kemudian. Hanya setahun menjabat, dia terjerembab dalam godaan kekuasaan. Kursi empuk yang hendak didudukinya selama lima tahun, berubah menjadi ruang pengap dan gelap dalam sel tahanan.

**

Riwayat panggung politik kita memang pada kenyataannya, banyak para elit yang berkuasa selalu menempatkan atau mendorong keluarganya pada posisi penting. Pertalian itu bukan tak mungkin berbahaya. Ketika penguasa wilayah hanya datang pada segelintir keluarga, maka kekuasaan itu menjadi tak terkontrol atau kekuasaannya tak memiliki batasan. Muaranya adalah korupsi. Ia mesti melayani kepentingan banyak pihak.

Di Muna, juga dihadapkan dengan dinasti politik Ridwan Bae yang saat ini tercatat sebagai anggota DPR RI. Sebelumnya, dia pernah menjabat sebagai Bupati Muna dua periode. Anaknya Iksan Taufik, meski kalah pada Pilkada Muna Barat, digadang-gadang akan meneruskan tahta politik ayahnya. Putrinya, Wa ode Rabia Al Adawia telah berhasil merebut kursi DPD. Ponakannya, Rusman Emba, tengah menikmati jabatan sebagai Bupati Muna di periode keduanya.

Sementara di Konawe, ada nama Kery Saiful Konggoasa. Dia sedang menjabat sebagai Bupati Konawe untuk periode kedua. Dari beberapa informasi yang beredar, dia tengah menyiapkan diri untuk berebut kursi Gubernur. Anaknya, Fachri Konggoasa sedang menjabat sebagai anggota DPR RI.

Lalu, akankah korupsi di Sultra dapat berakhir, mengingat bayang-bayang para elit tengah membentuk dinasti politik!? Di tengah nikmatnya kekuasaan, godaan datang silih berganti dan menggiurkan. Ibarat dinding, ada yang cepat keropos lalu runtuh, ada juga yang lama bertahan dan tetap tegak berdiri. Semuanya hanya menunggu waktu.

Godaan Dalam Kekuasaan

Pepatah yang mengatakan, semakin tinggi pohon, semakin kencang angin yang menerpanya agaknya sangat berlaku untuk para penguasa. Pada hakikatnya kekuasaan adalah godaan. Saat seseorang mendapat kekuasaan, maka godaan yang datang mengerubunginya akan sangat besar. Ibarat gula, kekuasaan dapat mengundang banyak semut. Pada posisi itu, penguasa diberi ujian, apakah bisa menjadi pemimpin sejati atau hanya sekadar imitasi.

Kutipan salah satu presiden legendaris Amerika Serikat, Abraham Lincoln, mungkin sangat tepat dikemukakan disini bahwa “semua orang bisa tahan dengan kesengsaraan, tapi bila ingin mengetahui karakter seseorang, berilah dia kekuasaan.”

Kenikmatan dalam kekuasaan memang mendatangkan banyak efek. Ia bisa berakhir baik, tapi bisa juga berakhir buruk. Ia dapat berbuah manis tapi kadangkala bisa juga berbuah pahit. Berakhir baik, ketika kekuasaan dijalankan sebagai tanggungjawab sosial. Ia lebih mementingkan kepentingan publik dari pada kepentingan kelompok. Ia lebih memahami dirinya, bahwa ia adalah pelayan rakyat bukan golongan. Dan pada titik ini, muaranya dapat berbuah manis. Penguasa bisa menjadi seseorang yang berkarisma, dielu-elukan hingga dipuji oleh banyak orang.

Namun, kekuasaan bisa membuat seseorang terlena, dan ingin berkuasa lebih lama. Ada godaan fasilitas dan berbagai kemudahan yang didapat. Dengan kekuasaan, mereka tergoda untuk terus melanggengkan kekuasaannya. Untuk menjaga eksistensi kekuasaan itu, biasanya mereka menempatkan atau mendorong keluarga baik istri, anak, paman, dan ponakan untuk masuk dalam suatu jabatan politik. Tujuannya, untuk mempertahankan supremasi keluarga dalam lingkaran kekuasaan.

Praktik-praktik ini yang diterapkan di Sultra, dengan membentuk dinasti politik pada kenyataannya memang berakhir buruk. Kekuasaan dinasti politik dihadapkan dengan banyaknya godaan konflik kepentingan. Muaranya mengarah pada penyelewengan kekuasaan itu sendiri. Moralitas kekuasaan yang tidak terlepas dengan tanggungjawab sosial dengan cepat disingkirkan. Di kepala mereka, kekuasaan bukan lagi bagaimana meningkatkan kebijakan publik, menjadi pelayan dengan mensejahterakan rakyat, tetapi mengamankan kepentingan sembari membuka karpet merah untuk melayani kelompoknya.

Dengan begitu, nalar publik seolah dijauhi. Kekuasaan bekerja serupa obat bius. Kepekaan terhadap kondisi sosial dimasyarakat tenggelam karena lebih mementingkan kepentingan pribadi. Ketika kekuasaan membuat penguasa rabun jauh dan lebih memilih bermain atau menyerempet dengan yang lebih dekat, maka rompi oranye menyambut.

Kata Lord Acton “Kekuasaan cenderung merusak, dan kekuasaan mutlak merusak secara mutlak.”

22 September 2021

DARI PASARWAJO, RONGI, LAPANDEWA LALU KE BUGI

Gadis Kampung Bugi

Perjalanan yang melelahkan, pikirku. Bersama kawan saya, Nirwan, kami berangkat dari Baubau ke Pasarwajo pukul 14.00.

Di perjalanan, kami dihadang dengan hujan rintik kemudian berubah menjadi hujan deras. Kami berteduh dipondok-pondok, dibagian kawasan hutan konservasi Lambusango. Selama menuju Pasarwajo, kami berteduh sebanyak tiga kali. Langit terus memuntahkan air hingga malam. Kami pun memaksakan perjalanan dengan kondisi hujan dan basah kuyup.

Dua hari di Pasarwajo, kawan saya bersedia membawa saya untuk jalan-jalan, mengunjungi benteng Lipuogena Takimpo. Dari tempat menginapku, perjalanannya hanya memakan waktu 20 menit. Posisi bentengnya berada di atas perkampungan warga.

Menurut beberapa cerita, benteng ini merupakan salah satu benteng pertahanan kesultanan Buton. Ketika saya memasuki gerbang banteng, itu sudah terlihat galampa (tempat adat), masjid dan lima buah pintu kecil yang biasa warga setempat menyebutnya Lawa. Pintu kecil (Lawa) ini punya nama sendiri-sendiri seperti Lawa Naemata, Lawa Sampu, Lawa Nawakeke, Lawa Kolowundanga, dan Lawa Pibuni. Nama-nama pintu kecil ini, mungkin punya arti sendiri-sendiri. Ada banyak hal sebenarnya yang ingin saya ketahui tentang banteng ini. Sayang, saya tak bisa menemukan banyak cerita disini.

Dari Pasarwajo, esoknya bersama kawan saya mencoba menuju Rongi atau desa Sandang Pangan, Buton Selatan. Rongi ini merupakan kampung yang pernah saya kunjungi tahun 2015, dalam rangka Kuliah Kerja Nyata (KKN). Di sini saya bertemu kawan saya, seorang guru yang sudah lama mengabdikan dirinya untuk mencerdaskan anak-anak Rongi.

Di depan muka saya, saya melihat kampung Rongi sudah nampak berbeda. Semua terlihat indah dan memesona. Pemandangannya memanjakan mata. Bukit Lamando masih berdiri kokoh dengan wajah yang nampak sangat indah dan asri. Tak ada bangunan-bangunan vila para pejabat. Saya begitu tak percaya ketika kawan saya, Pak Ikhsan mengatakan bahwa Rongi terkenal ketika kami KKN. Pada hal sebagai Koordinator Desa KKN, saya tak banyak melakukan apa-apa. Kegiatan saya di Rongi, salah satunya hanya bercengkrama dengan warga sambil menanyakan apakah punya anak gadis yang masih jomblo atau tidak. Hehe.

Selanjutnya kami melanjutkan perjalanan di Lapandewa, sebuah kampung yang berada diperbukitan. Di bawah bukit terdapat desa Tira dan Bahari. Kami melewati pendakian Warope untuk sampai di Lapandewa. Dengan hawa yang begitu dingin dan sudah malam, kawan saya menunjukan sebuah lokasi kebun bawang merah yang sangat luas, yang warga kampungnya disebut lokasi kebun Wanculepani. Lapandewa memang sangat terkenal dengan penghasil bawang merah. Di kampung ini, saya juga tak banyak menemukan cerita karena sudah larut malam.

Kami lalu berbalik arah untuk menuju Baubau. Di perjalanan, tepatnya di desa Bugi, terdapat banyak warga yang lalu lalang untuk menuju pesta kampung. Kawan saya lalu mengajak untuk istrahat sejenak sambil menyaksikan pesta kampung. Di galampa (tempat adat) saya begitu terkesima ketika menyaksikan para gadis-gadis, anak-anak, dan para pemuda ikut memeriahkan pesta kampung. Laki-laki dan perempuan baik gadis-gadisnya, para pemuda, anak-anak, dan orang tua ikut menari dalam pertunjukan itu. Mereka menari dengan sangat indah dihadapan para tokoh adat.

Di tengah kerumunan, saya mencoba mencari tahu tentang desa Bugi di google. Di layar Hp, ulasan tentang desa Bugi mengagetkan saya. Di artikel Kompas tertulis “Wah, Ada Kampung Korea di Kota Baubau”, membuat saya penasaran. Saya membaca dengan pelan dan menemukan bahwa Bugi itu disebut sebagai kampung Korea. Bahasanya, cia-cia Laporo, mempunyai sedikit persamaan dengan aksara Hangeul atau bahasa Korea. Menariknya, penulisan aksara Hangeul masuk dalam kurikulum mata pelajaran sekolah.

Saat saya lagi serius membaca informasi tentang Bugi, tiba-tiba kawan saya membuyarkan konsentrasiku. “Jejeran penari yang paling awal itu cantik sekali”, katanya. Saya lalu membangunkan kepala, mataku mencari-mencari wanita cantik itu. Pikirku, mungkin dia agak mirip dengan wajah artis korea, Son Ye Jin. Hehe.

Saat mereka keluar, kawan saya memintanya untuk berfoto. “Bisa kami berfoto dengannya”, kata kawan saya kepada lelaki muda itu. Lelaki itu mengiyakan, boleh berfoto tapi harus di temani laki-laki lainnya. Duh, pada hal saya hanya ingin berfoto dengan gadis-gadis cantik itu, meminta kontaknya dan mau belajar bahasa korea. Entah apa yang ada dipikiran lelaki itu saya tak tau. Atau jangan-jangan dia tahu saya masih jomblo.

                                                                                    Baubau, 23 September 2021

16 April 2021

Terancamnya Aktivis Desa

Adin, Ketua Aliansi Pemerhati Masyarakat Wantiworo (APMW)

Minggu 31 Januari 2021 pukul 10.14 WITA, handphone saya berdering. Saya dihubungi oleh kawan saya La Ode Muliadi atau sering disapa Adin. Ia mengabari, sedang berada di Balai Desa Wantiworo. Rupanya ia telah tiba di kampung. Ia memanggil saya untuk mengikuti Musrenbang Desa. Saya bertemu dia sekitar beberapa menit. Setelah itu, saya mengajaknya untuk bertemu di rumah.

Pukul 14.23-25-an, dia pamit untuk pulang ke rumahnya. Ia hendak akan mengikuti rombongan untuk berkunjung ke desa tetangga. Untuk itu, ia meminta izin terlebih dahulu pada orang tuanya. Karena tak kunjung datang, kami bersama kawan-kawan lainnya melanjutkan perjalanan.

Sekitar pukul 16.55, handphone kawan saya berdering. Ia mengabarkan telah mendapat perlakuan buruk dari PLT Kepala Desa Wantiworo. Sontak, saya begitu kaget. Saat itu juga, saya bersama kawan memutuskan untuk melihat keadaannya.

Seperti yang diberitakan media lokaltelisik.id, ada dugaan penganiayaan yang dilakukan oleh PLT Kepala Desa Wantiworo. Adin yang saat itu membeli disebuah kios, hendak mendapat pukulan. Namun, ia bisa menghindari pukulan itu lalu mencoba menenangkan PLT Kepala Desa tapi tak mempedulikannya. Dalam waktu yang bersamaan, ia dilempar dengan memakai batu.

Nasibnya masih sedikit beruntung. Kepalanya selamat karena ia melindunginya dengan siku. Dalam posisi kehilangan kendali, ia terjatuh di aspal. Ia berdiri dan menghindar, lalu kembali menuju ke rumahnya. Namun, ia terus di ikuti sampai dipekarangan rumah. Dengan kejadian yang dialaminya, ia kemudian melaporkan PLT Kepala Desa Wantiworo ke Polda Sulawesi Tenggara dengan laporan polisi No: LP/67 / II 2021/ SPKT POLDA SULTRA, tanggal 1 Februari 2021.

Adin adalah seorang aktivis desa yang sangat vokal dan berani. Kejadian yang menimpahnya, diduga kuat merupakan rentetan peristiwa atas protes-protes yang dilakukan bersama kawan-kawannya enam tahun belakangan. Ia terus mengkritik kebijakan pemerintah desa, dimulai dari masuknya perusahaan perkebunan tebu yang merusak hutan, ganti rugi lahan, dan pengelolaan Dana Desa yang tidak transparan.

Bukan saja itu, ketakukan warga untuk menuntut hak-haknya pada pemerintah desa menyadarkannya bahwa warga harus didampingi. Ia terus berada pada jalur idealismenya, berada digarda terdepan dalam memperotes kebijakan pemerintah desa. Sore itu, diduga adalah puncak yang dialaminya.

Sekitar bulan April 2015, Adin bersama kawan-kawannya mendampingi sebagian para petani yang menolak lahannya dipakai untuk perkebunan tebu, PT. Wahana Surya Agro. Ia juga ikut mendampingi para petani untuk menuntut hak ganti rugi lahan kepada perusahaan perkebunan tebu dan Pemdes. Baginya, ada berbagai kejanggalan saat ganti rugi lahan para petani yang dilakukan oleh pemerintah desa. Pemdes diduga, telah menyalahi kesepakatan dalam musyawarah yang dilakukan pada tanggal 27 Mei 2015 lalu.

Merespon keresahan warga, maka bulan Juni, ia dan beberapa warga membentuk Jaringan Pemerhati Petani (JPP) Desa Wantiworo. Anggotanya terdiri dari 15 orang. Ada beberapa mahasiswa dan warga, sementara koordinatornya dia sendiri.

Jaringan kemudian mulai bergerak dan melakukan konsolidasi dengan beberapa warga. Selain untuk mengetahui dan mencatat warga-warga yang memiliki lahan, jaringan juga bekerja melakukan advokasi pada warga untuk menuntut hak ganti rugi lahan. Pada akhir bulan Oktober misalnya, jaringan mengirim surat kepada DPRD Kab. Muna untuk meminta audiensi. Tanggal 02 November ada respon dari DPRD, yang diwakili oleh komisi IV.

Dalam surat pengaduan itu, jaringan menuntut agar hak-hak warga diberikan sepenuhnya. Pembagian ganti rugi lahan harus trasnparan, tak boleh ada yang ditutup-tutupi. Sebagaimana hasil dalam musyawarah, sebelum lahan warga dilakukan penggusuran, perlu adanya penerbitan kepemilikan hak atas tanah (SKT) terlebih dahulu. Surat Keterangan Tanah (SKT) itu diperlukan agar masyarakat mengetahui luas tanah beserta batas-batasnya. Setelah itu, warga diberikan hak ganti rugi lahan, dimana per hektarnya (ha) sekitar Rp. 4.000.000,00-5.000.000,00.

Temuan Jaringan mengungkapkan, yang terjadi justru sebaliknya. Kesepakatan itu tidak ditindaklanjuti. Pemerintah desa memberikan ganti rugi lahan tanpa SKT warga. Yang membuat miris, setiap warga mendapat ganti rugi lahan yang berbeda-beda setiap per hektarnya dibawa harga, tidak sesuai kesepakatan awal antara perusahaan perkebunan tebu dan masyarakat.

Pertengahan November, setelah audiensi dengan komisi IV DPRD, jaringan kembali mempertanyakan hasil rapat tersebut. Tak ada tindaklanjut. Jaringan merasa, DPRD telah mengabaikan tuntutan dan aspirasi warga.

Protes-protes terhadap kebijakan  pemerintah desa terus berlanjut, yakni terkait dengan transpransi pengelolaan Dana Desa. Pada Juni 2018, Komunitas Mahasiswa dan Pemuda serta Jaringan Pemerhati Petani  (JPP) Desa Wantiworo memprotes kebijakan Pemdes terkait pembangunan sarana dan prasarana olahraga atau lapangan futsal pada lapangan yang memiliki nilai sejarah bagi masyarakat. Menurut koordinator jaringan, La Ode Muliadi waktu itu, lapangan yang dijadikan sebagai lapangan futsal sangat memiliki nilai sejarah bagi masyarakat setempat, karena mantan Presiden B. J. Habibie pernah berkunjung pada tahun 1987.

Jaringan berpendapat, pembangunan lapangan futsal sangat dipaksakan. Lapangan yang menjadi ikon desa, yang dijadikan sebagai pembangunan sarana dan prasarana olahraga sangat tidak tepat sasaran. Pasalnya, sejak awal, pembuatan lapangan futsal disepakati bukan didirikan pada lapangan yang sudah jadi, tetapi mencari lahan atau tanah kosong yang menjadi kewenangan Pemdes. Hasil temuan Jaringan mengungkapkan, Pemdes tak menemukan lahan kosong sehingga memaksakan menggaraap proyek pembangunan sarana dan prasarana olahraga tersebut pada lapangan yang telah menjadi ikon desa.

Masih pada bulan Juni, Forum dan JPP kemudian mencoba bersurat pada Pemdes untuk melakukan audiensi. Anggota Forum dan JPP kemudian bergerak di Balai Pertemuan Desa untuk melakukan dialog. Hasilnya nihil. Anak buah Kepala Desa, mencoba membubarkan teman-teman mahasiswa dan pemuda. Pemdes menuduh Forum dan JPP sebagai provokator, yang memicu keributan di desa.

Selama beberapa bulan, anggota Forum dan JPP banyak mendapat tekanan. Mereka juga mendengar isu akan hendak dilaporkan ke polisi. Jaringan menganggap, hal itu dilakukan  untuk melunakan nyali beberapa anggota. Ada yang benar-benar takut dan memilih diam. Bagi Adin, menyuarakan protes untuk hak-hak warga desa adalah perkara yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Ia tetap menjaga dan menyemangati anggota Forum dan Jaringan untuk tetap berani memberikan kritik pada Pemdes.

Bulan Oktober 2020, sebagian anggota Forum dan Jaringan kemudian mulai membentuk Aliansi Pemerhati Masyarakat Wantiworo (APMW). Aliansi adalah organisasi yang menjadi wadah para mahasiswa, pemuda dan masyarakat untuk merespon permasalahan di desa.

Sebagai koordinator aliansi, Adin menganggap, pembentukan Aliansi di desa sangat penting, mengingat desa saat ini posisinya sangat seksi, menjadi rebutan para pejabat ditingkat lokal dan pemodal. Bukan saja ada kucuran dana dari Negara, tetapi kejadian-kejadian pengrusakan lingkungan juga banyak terjadi di desa. Untuk itu, ia bersama kawan-kawannya berniat untuk terus melakukan advokasi terhadap masyarakat desa.

Sepanjang tahun 2018-2020, Adin beserta kawan-kawan terus menyuarakan kritik terhadap Pemdes. Harapannya, agar Pemdes Wantiworo dapat mengelola Dana Desa secara transparan dan akuntabel. Pengawasan yang dilakukan oleh Aliansi bertujuan agar pengelolaan Dana Desa oleh Pemdes benar-benar tepat sasaran. Hal itu, tentu sejalan dengan arahan Presiden Jokowi pada Rabu, 11/12/2019, agar penggunaan Dana Desa perlu diawasi oleh masyarakat.

November 2020, Aliansi mulai melakukan pengawasan terhadap penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa. BLT DD adalah bantuan yang diberikan oleh pemerintah guna membantu menyangga kehidupan ekonomi warga desa, terutama bagi mereka yang terdampak Covid-19. Khusus Desa Wantiworo, anggaran BLT DD mencapai sebesar Rp. 837,900,000,00.

Bagi Aliansi, anggaran BLT DD ini cukup besar. Tanpa pengawasan, anggaran ini dengan gampang akan disalahgunakan. Desember 2020, Aliansi menemukan, penyaluran BLT DD yang dilakukan oleh pemerintah desa dianggap bolong, tidak dilakukan penyaluran pada tahap 9 bulan 12. Ada dugaan, BLT tahap akhir ini telah diselewengkan. Aliansi lalu bergerak, mulai mencatat dan menelusuri warga-warga yang belum menerima BLT. Dari hasil penelusuran itu, warga mengakui, Pemdes Wantiworo belum atau tidak pernah menyalurkan BLT.

Menanggapi pengakuan warga, Aliansi tidak tinggal diam. Mereka menuntut Pemdes untuk segera menyalurkan hak-hak warga. Di grup Facebook Pemuda Wantiworo misalnya, Adin mengkritik Pemdes terkait keterlambatan penyaluran BLT DD. Bukan saja Adin,terdapat beberapa akun palsu turut serta mengritik Pemdes. Akibat dari kritikan tersebut, lalu muncul reaksi dari Pemdes Wantiworo. Adin dituduh memakai akun palsu untuk menyerang Pemdes. Ia membantah dan meminta Pemdes untuk membuktikan tuduhan tersebut.

Tak bisa membuktikan, Pemdes tetap bersikeras dengan tuduhannya. Bahkan ada isu ancaman, memenjarakan orang-orang yang memakai akun palsu bagi yang menyerang Pemdes. Karena tak merasa memakai akun palsu, anggota Aliansi tetap berani, tegak pada jalurnya, menuntut Pemdes untuk transparan mengelola BLT DD. Tak lama setelah polemik itu bergulir, Adin diduga mengalami penganiayaan dari PLT Kepala Desa Wantiworo.

Dari desakan-desakan yang aliansi suarakan, Pemdes Wantiworo kemudian mulai terlihat ketakutan. Keterlambatan penyaluran BLT terus menuai polemik ditengah masyarakat. Aliansi lalu mengadukan temuan ini di Polres Muna tanggal 24 Februari 2021. Dari laporan tersebut, tanggal 9 Maret 2021, sehari sebelum Tipikor Polres Muna turun ke desa, Pemdes Wantiworo menyalurkan BLT DD tahap akhir bulan Desember 2020. Penyaluran ini, jelas sudah dianggap terlambat karena menyebrang tahun. Aliansi berpendapat, meskipun BLT sudah disalurkan ke masyarakat, proses hukum harusnya tetap berlanjut. Pemdes dinilai sudah menyalahi aturan. Tak menutup kemungkinan, ada dugaan-dugaan penyelewengan anggaran Dana Desa lain, dari program pembangunan di Desa Wantiworo.

Para Aktivis Bertaruh Nyawa

Dugaan kasus penganiayaan yang dialami Adin harus dilihat secara serius. Dari kritik-kritikannya bersama anggota Aliansi dan laporannya di Polres Muna, kini dia tengah berada dalam posisi berbahaya dan bahaya.

Berbahaya karena ia dianggap sebagai ancaman. Ia tetap dalam komitmennya, tak akan berhenti untuk terus mengusut dugaan korupsi di desanya. Namun, ia tak pernah lupa bahwa posisinya saat ini juga tengah berada dalam bahaya. Nyawanya, kini dalam posisi terancam.

Ia mengingat kejadian pada Rabu dini hari, 13 April 2021, orang tuanya mendapat teror dari orang yang tak dikenal. Dari keterangan ayahnya, para preman itu datang langsung mematikan sekring listrik dirumahnya. Setelah itu, mereka mencoba membuka jendela dan mendobrak pintu rumah bagian depan dan belakang sambil menanyakan nama Adin. Dalam ketakutan, ayahnya tak menyahuti para preman itu. Tak berselang lama mereka bergegas pergi.

Gempuran berupa ancaman, teror dan penganiayaan sudah menjadi hari-hari yang dilalui oleh para aktivis. Bukan saja itu, nyawa mereka seringkali menjadi taruhannya. Salim Kancil misalnya, aktivis desa di Desa Selok Awar-Awar, Lumajang, Jawa Timur, yang memperjuangkan tanahnya akibat pertambangan pasir, tewas dibunuh oleh tim preman yang ditugaskan Kepala Desa. Ia tewas dikeroyok, dipukuli, dan dianiaya tanpa ampun.

Sebagaimana yang dilaporkan oleh media Tirto.id, yang dilansir dari laman Selamatkan Bumi menyebutkan, Salim Kancil mendapat penyiksaan berat dengan kondisi tangan terikat tali. Tubuhnya, bukan saja mendapat hantaman pukulan tangan kosong, tapi berupa kayu dan terjangan batu. Dengan kepala yang berdarah, ia dibawa dijalan yang sepi ke arah makam. Para preman itu, menyiksa Salim dengan lebih kejam lagi. Tubuhnya disetrum. Kepalanya digorok. Seonggok batu besar dihajarkan dikepalanya hingga merenggang nyawa.

Kawannya bernama Tosan juga mengalami nasib yang serupa dengan Salim. Tapi, ia masih bernasib lebih baik. Saat preman komplotan Desir menganiaya Tosan, ia berpura-pura meninggal. Tosan selamat setelah dibawa ke rumah sakit.

Kasus-kasus yang dialami para aktivis di desa tidak hanya berhenti pada Salim dan Tosan. Apa yang dialami Adin hanyalah puncak gunung es atas dugaan kasus yang menimpanya. Bukan saja pembunuhan dan penganiayaan, tapi ada upaya kriminalisasi para aktivis desa. Posisi mereka makin berbahaya, selain taruhan nyawa, juga ada upaya agar para aktivis dipenjara. Mereka yang punya pengaruh karena jabatan dan modal besar, dengan gampang melakukan kongsi, baik sesama pejabat, preman juga aparat negara. Seperti itulah cara mereka untuk meredam aktivisme warga, membungkam bagi yang melawan.

Ario Bayu Prakoso, seorang warga di Desa Ngemplak, Kecamatan Gebang, Kab. Purworejo, Jawa Tengah, juga mengalami penganiayaan yang dilakukan oleh Kepala Desa bersama anak buahnya. Bayu, bukan hanya mengalami pemukulan, namun muka dan kepalanya juga ditendang. Ia mengalami penganiayaan karena mendorong transparansi penggunaan Dana Desa.

Laporan Kompas.com menyebutkan, Bayu yang saat itu sedang berada dirumahnya, didatangi oleh Kepala Desa dengan menggedor-gedor pintu dan marah-marah. Tak berselang lama, anak buah Kepala Desa datang dan langsung memukulnya dengan alat plester bangunan yang terbuat dari kayu.

Kepala Desa memulai obrolan dengan nada tinggi dan ekspresi yang sangat emosional, yang pada intinya menuduh Bayu bersama warga lainnya berusaha menjatuhkan Kepala Desa. Tidak hanya itu, salah seorang yang diketahui sebagai perangkat desa ikut melakukan penganiayaan dengan cara menendang kepala bagian kiri, demikian keterangan Direktur LBH Semarang Zainal Arifin dalam keterangan tertulisnya, Senin (27/8/2020), seperti dikutip Kompas.co.

Upaya-upaya pembungkaman baik ancaman, penganiayaan, pembunuhan maupun kriminalisasi terhadap para aktivis seolah memberi pesan terselubung bahwa “semua aktivitasmu tak boleh menganggu kami.” Kejadian-kejadian tersebut dilakukan bukan tanpa alasan. Secara tidak langsung, ada pesan yang hendak disampaikan, yakni jangan menganggu dan macam-macam jika tak ingin dihabisi. Pesan ini menunjukan bahwa para pelaku takut terhadap sikap kritis masyarakat. Kedok mereka tak ingin terbongkar dan diketahui publik.

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) mencatat, dalam kurun Januari-April 2020, ada 22 peristiwa pelanggaran dan kekerasan terhadap pembela HAM. Pada tahun sebelumnya ELSAM mencatat, sepanjang tahun 2019 terdapat 27 kasus kekerasan yang menimpa pembela HAM atas lingkungan. Sementara catatan LBH Pers mengungkapkan, kasus-kasus kekerasan tersebut bukan hanya menimpa para aktivis lingkungan, namun masyarakat dan jurnalis juga mengalami hal serupa. Hal ini mengindikasikan bahwa maraknya kasus kekerasan terhadap pembela HAM menjadi gambaran lemahnya perlindungan negara terhadap para aktivis.

Temuan Global Witness, sebuah lembaga swadaya yang bergerak di bidang anti-eksploitasi lingkungan lebih menarik lagi. Lembaga ini menjelaskan, kasus pembunuhan terhadap aktivis kerap terjadi di daerah terpencil.

Sudah bukan rahasia lagi, pemerintah lokal baik ditingkat Bupati maupun Kepala Desa kerap berkongsi dengan pemilik modal untuk saling menjaga dan menyelamatkan satu sama lain agar tak terjerat hukum. Untuk itu, mereka memiliki keberanian sebab biasanya kasus-kasus ditingkat lokal kurang mendapat perhatian ditingkat nasional. Di tambah lagi tidak adanya tindakan yang jelas dan tegas dari negara. Dari situ, penyingkiran terhadap para aktivis juga bagian dari kontribusi mereka.

Mereka yang bersuara kritis, seperti Aji Kusumo di Yogyakarta, Salim Kancil di Lumajang, Abdul Jamil di Demak, Yanes Balubun, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk wilayah Maluku dan Ambon, Budi Pego di Yogyakarta, dan Effendi Buhing ketua komunitas adat Laman Kinipan di Lamandau merupakan aktivis yang sangat vokal yang menjadi korban pembunuhan, penganiayaan dan kriminalisasi. Mereka disingkirkan dengan cara sadis maupun halus. Di balik penyingkiran itu, ada bekingan yang sangat kuat dibelakang mereka, yakni pejabat dan pemodal.

Saat uang besar mengalir, disitulah nasib para aktivis ditentukan, yakni tersingkir atau kalah.