|
Warga dan mahasiswa Muna Barat dipelabuhan Raha. |
SAAT TIBA di pelabuhan kapal malam Kendari untuk pulang ke Muna,
saya merasa tercengang melihat suasana di pelabuhan itu. Sangat ramai, antrian
tiket cukup panjang. Yang membuatku heran adalah membludaknya penumpang kapal
malam. Yang saya tau, biasanya membludaknya penumpang terjadi pada saat-saat
momen Pilkada, bulan puasa dan lebaran.
Menyaksikan mereka, membuatku ingin bertanya pada salah satu
penumpang. Saya dekati beberapa orang, lalu bertanya. Kepulangan para
mahasiswa/i itu ternyata karena ada momen Pilkades di Muna Barat. Mereka ingin
menyalurkan hak politiknya untuk memilih kepala desa, di desanya masing-masing.
Pikirku, antusiasme warga untuk pemilihan kepala desa ternyata sudah cukup
besar. Berbeda dengan lima belas atau dua pulu tahun lalu, antusiasme warga
terhadap Pilkades sangat kecil.
Yang menarik, tentu
bukan saja antusiasme yang besar, namun jumlah kandidat calon-calon kepala desa
yang ikut berkompetisi. Rata-rata kandidat yang mencalonkan diri di setiap
desa, terdapat paling banyak lima Cakades. Salah satu mahasiswa mengatakan
kepada saya bahwa, banyaknya Cakades yang ikut berkompetisi tak terlepas dari
adanya dana desa. Tak main-main, setiap desa mendapat kucuran dana desa sekira
satu miliyar per desa dari APBN. Jika dulu sangat jarang yang ingin jadi kepala
desa, kini semakin banyak peminat.
Bagi saya ini sangat wajar, jika saat ini banyak orang yang
ingin jadi kepala desa. Saya tak ingin memberi stereotip kepada mereka yang
mencalonkan diri kepala desa karena tergiur dengan dana desa. Tentu, masih
banyak orang yang berpikiran rasional, mencalonkan diri karena ingin
memanfaatkan dana desa untuk kesejahteraan warganya. Tapi tak salah juga jika
sebagian warga mengeneralisasi, mereka yang mencalonkan diri kepala desa hanya
karena mencari pekerjaan atau tergiur karena besaran dana desa.
Di kapal malam itu, saya coba mewawancarai beberapa orang
terkait kepulangannya di desanya masing-masing. Apakah diberi uang transportasi
oleh salah satu Cakades? Beberapa yang saya temui membenarkan, mereka pulang
karena diberi uang transportasi. Tak tanggung-tanggung, ada calon kepala desa
yang mengeluarkan uang sejumlah ratusan ribu per orang. “Salah satu calon
kepala desa di desaku, relah mengeluarkan uang lima ratus ribu per orang demi
memenangi Pilkades, kata mahasiswa itu. Tapi bukan Cakades yang saya pilih”
mahasiswa itu melanjutkan.
.
Saya benar-benar tercengang mendengar cerita itu. Tentunya
terlepas apakah itu fakta atau bukan, itu bisa diperdebatkan. Namun, informasi
itu tentu menjadi pertanyaan mendasar kita, mengapa seorang calon kepala desa
rela mengeluarkan uang sebanyak itu? Bahkan, ada yang mengeluarkan uang sekitar
ratusan juta rupiah.
Tentu bagi saya ini memprihatinkan. Ongkos politik kian
mahal mulai dari pemilu, pilgub, pilbup, pilwakot sampai pilkades. Demi
memenangi kompetisi, masing-masing calon termasuk calon kepala desa, harus
mengeluarkan ongkos politik yang begitu banyak. Di sisi yang lain, masyarakat
juga disebut-sebut lebih proaktif, tak malu-malu lagi untuk meminta uang kepada
para calon.
Inilah pola pragmatisme-transaksional yang banyak terjadi
dilapangan politik. “Ada uang, saya pilih. Tak ada uang, saya pilih yang
sedikit uangnya.” Atau jika tak menyukai calon yang menghambur-hamburkan uang
akan mengatakan begini “Ambil uangnya, jangan pilih orangnya” dan lain
sebagainya.
Pola-pola seperti ini bukan lagi hal yang tabu, untuk kita
temukan dilingkungan masyarakat kita. Coba sediakan waktumu, berbaur dengan warga
lalu tanyakan siapa yang mereka pilih. Sebagian akan mengatakan, “Saya akan
memilih yang ada uangnya”. Antara masyarakat dan calon, sudah sama-sama
memiliki keberanian untuk memberi dan meminta. Yang punya banyak uang, tentu
memiliki peluang besar untuk memenangi kompetisi. Yang irit uang, jangan
berharap banyak untuk menang. Sementara yang keluar ongkos banyak, tetapi tetap
kalah itu hanya sebuah anomali dalam politik.
.
Dalam demokrasi, “kaum penjahat” dan “kaum orang baik”
memang punya kesempatan yang sama dalam berebut kekuasaan. Dua-duanya bisa jadi
pemimpin. Kata Nurcholish Madjid, bahkan “setan gundul” pun bisa jadi pemimpin.
“Kaum penjahat” dan “kaum orang baik” dua-duanya karena dipilih oleh orang
banyak. Namun, tak menutup kemungkinan, “kaum orang baik” tak berubah jadi “kaum
penjahat.” Semua bisa berubah, tergantung motif dan kepentingan disekelilingnya.
Hal ini bisa terjadi pada semua tingkatan kepemimpinan, baik
Presiden, Gubernur, Bupati, Wali kota dan Kepala Desa. “Kaum penjahat” dan “kaum
orang baik’ bisa berkuasa pada semua tingkatan kepemimpinan itu. Potret kepala
daerah yang terjerat korupsi adalah cerminan dimana “kaum penjahat” itu bisa
berkuasa karena sistem demokrasi liberal seperti sekarang ini. Korupsi itu bisa
jadi karena telah mengeluarkan ongkos politik yang mahal pada saat pencalonan.
Dalam kepemimpinan tingkat desa atau kepala desa, juga bisa
melahirkan “kaum penjahat” dan “kaum orang baik.” Sudah banyak fakta dimana
kepala desa menjadikan dana desa sebagai lahan basah untuk kepentingan pribadi
dan kelompok. Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang
2015- 2018 sudah ada 214 kepala desa yang terjerat korupsi.
Dengan ongkos politik yang semakin mahal dalam pemilihan
kepala desa, bagi saya, ini justru akan semakin memperbesar jumlah kepala desa
yang terjerat korupsi. Para kepela desa yang terpilih, tentu akan dengan mudah
memanfaatkan kuasanya untuk menilap dana desa. Apalagi dengan besarnya dana
desa yang dialokasikan ke setiap desa, tentu itu dapat membuka celah kepala
desa untuk melakukan korupsi. Dengan berbagai motif, mereka menginginkan uang
balik dan untung.
Begitulah wajah politik kepemimpin kita. Kepala daerah dan
kepala desa sama, sama-sama dipilih oleh orang banyak dan dengan ongkos yang
banyak. Yang saya tidak sepakat bukan soal dipilih oleh orang banyak tapi soal
politik uang. Jika dulu politik uang hanya banyak terjadi dalam pemilu atau
pemilihan kepala daerah, kini terjadi dalam pemilihan kepala desa. Bisa jadi,
para calon kepala desa belajar dari pemilu atau pilkada dalam memenangi
kompetisi secara tidak sehat. Siapa yang tahu!
Pada akhirnya, budaya politik uang ini sangat sulit untuk
dihilangkan, karena telah mengakar kuat. Juga dipengaruhi oleh calon-calon yang
tak memiliki program, sehingga politik uang telah menjadi salah satu instrument
untuk memenangi kompetisi. Ke depan, bisa jadi korupsi dana desa akan semakin
masif terjadi karena dipengaruhi oleh ongkos politik Pilkades ini. Semoga saya
salah.
Muna,
18 Desember 2019