|
Sumber foto; Hasrun |
SEBUAH
panorama indah memanjakan mata kita. Di sebuah desa―namanya desa Bandaeha langitnya
sangat cerah―putih ke biru-biruan. Desa itu dikelilingi oleh bukit dan hutan
yang membuat mata kita terkagum-kagum akan keindahannya. Sinar mataharinya
begitu menyengat, panas. Sebuah hamparan sawah bersuka cita menyambut sinarnya.
Sudah berhari-hari sawah itu tak mendapat sinar, karena langit seringkali
tertutupi oleh awan hitam.
Di desa
Bandaeha, kecamatan Oheo, terkenal sebagai desa persawahan. Disepanjang jalan
terdapat hamparan sawah yang memanjang dengan daun kehijau-hijauan. Sawah itu
dikepung oleh bukit dan hutan lebat yang senantiasa mengirimi udara sejuk. Dibawahnya,
air mengalir tanpa henti menandakan desa itu diberkahi tanah subur. Sementara hutannya
dijadikan masyarakat sebagai sumber rejeki, karena didalamnya terdapat limpahan
berbagai rotan.
Tidak
terlalu jauh dari desa itu―masuk desa Polora Indah, kecamatan Langgigima, kita
disuguhkan dengan pemandangan yang lain lagi. Kali ini bukan persawahan, tetapi
sebuah perkebunan kelapa sawit yang cukup luas dibawah bukit. Tanaman sawitnya
terlihat miring, namun tidak mengurangi kesuburannya. Sawit itu terlihat tumbuh
subur, bersih
karena terawat dengan cukup baik.
Masuknya
perusahaan perkebunan sawit di kecamatan Langgigima, boleh dibilang sudah agak
terlalu lama. Yang mengelola perkebunan sawit adalah PT. Damai Jaya Lestari
(DJL). Sawinya ditanam sekitar tahun 2006―dan awal panen sekitar tahun 2011. Meskipun
demikian, perkebunan sawit ini ternyata sudah menimbulkan berbagai masalah.
Belum
lama ini, dari informasi yang saya himpun, masyarakat melakukan demonstrasi bahkan
menutup dan mendirikan tenda dikantong-kantong perlawanan karena tuntutan
mereka tak kunjung dipenuhi. Masyarakat menyarankan agar perusahaan perkebunan PT.
DJL memberikan klarifikasi apa yang tertuang dalam MoU. Karena selama ini
masyarakat tidak pernah diberitahukan apa isi dalam MoU tersebut.
Ada beberapa
tuntutan petani sawit Langgigima, dua diantaranya yaitu pembayaran lahan milik
warga yang telah ditanami kelapa sawit dan pengembalian sertifikat tanah yang
telah ditahan perusahaan PT. DJL. Hal lainnya terkait dengan keterlambatan pembayaran,
seharusnya setiap satu bulan, kini petani sawit harus menunggu setiap tiga
bulan.
|
Sumber foto; Hasrun |
Perlawanan-perlawanan
masyarakat seperti itu ternyata bukan sesuatu yang baru. Juga bukan
tuntutan-tuntutan yang baru pula kepada perusahaan perkebunan. Dibalik sebuah
iming-iming perusahaan beserta pemerintah daerahnya yang menjanjikan kesejahteraan,
ternyata menyimpan sebuah jerat. MoU hanyalah kertas putih yang disepakati
perusahaan dengan pemerintah, bukan dengan masyarakat. Selebihnya perusahaan
bergerak sendiri, berbuat seenaknya sendiri. Ia berbuat sewenang-wenang tanpa mempertimbangkan keadilan dan hak-hak masyarakat
petani sawit.
Kejadian
ini, juga berlaku di perkebunan kelapa sawit kecamatan Wiwirano. Sebuah
perusahaan perkebunan, PT. Perkebunan Nusantara XIV justru tidak memenuhi
kesepakatan yang tertuang dalam MoU. Akibatnya masyarakat banyak mengalami
kerugian. Terutama saat perusahaan tidak menepati janjinya membangun sebuah
pabrik besar untuk menampung hasil sawit. Selama kurang lebih 5 tahun, hasil panen sawit masyarakat Wiwirano terbuang
sia-sia, rusak atau dibiarkan membusuk dipohon.
***
Semua
berawal, saat pemerintahan
Soeharto menjalankan program transmigrasi. Pada tahun 1997, banyak
masyarakat Jawa, Bali, Sumatra dan Nusa Tenggara Timur menanggungkan hidup di daerah Wiwirano, dekat perbatasan Sulawesi Tengah. Warga transmigrasi itu disediakan lahan untuk menggarap
perkebunan dan pertanian untuk keberlanjutan hidup mereka. Mereka diberikan tanah dengan luas 0,5
sampai 3 hektar.
Nanti
pada tahun 1999 perusahaan perkebunan, PT. Perkebunan
Nusantara XIV mulai
menginisisasi membuka lahan perkebunan sawit.
PT. PN XIV
merupakan perusahaan negara, BUMN, yang bergerak dalam pemberdayaan pertanian,
perkebunan dan peternakan, dengan bidang usaha meliputi komoditi tebuh, kelapa
sawit, karet, kelapa, dan ternak sapi.
Melalui pemerintah, warga kemudian menyediakan lahan-lahan yang ada untuk digarap dan ditanami oleh
perusahaan perkebunan. Sementara itu, bank Agro (bank BRI) sebagai penyedia pinjaman modal. Besaran
pinjaman warga kepada bank Agro kala itu berkisar 13 juta/1 hektar. Saat itu
masyarakat Wiwirano, dari beberapa informasi yang saya himpun, hanya mengetahui
besaran utang saja, tanpa ada perincian secara jelas.
PT.
PN XIV dalam perjanjiannya, semua kegiatan, mulai dari pembukaan lahan,
penanaman, pemupukan, perawatan serta pemanenan hasil dilakukan oleh perusahaan
sendiri. Perusahaan juga berjanji akan mendirikan pabrik. Warga saat itu hanya
dijanjikan menunggu hasil, dalam artian menunggu pembayaran lahan. Selebihnya dari
hasil panen itu, perusahaan melakukan pemotongan untuk pembayaran utang pada
bank Agro.
Itulah
awal perjanjian masyarakat dengan perusahaan PT. PN XIV yang dikemudian hari
justru tidak ditepati bahkan dilanggar. Perusahaan perkebunan hanya menanam,
dipelihara dan dibiarkan berbuah. Tetapi perusahaan tidak bisa memanen hasil sawit
karena pabrik belum tersedia. Akibatnya buah sawit itu rusak dan membusuk
dipohon. Para petani kemudian melakukan demonstrasi dan perlawanan, menuntut
perusahaan agar menepati janjinya. Sebagian para aktivis masyarakat saat itu
dipenjarah. Ini adalah bagian dari kelicikan perusahaan, kata Abdul Rahmat
Badwin, seorang aktivis petani sawit Wiwirano.
Abdul
Rahmat Badwin merupakan seorang aktivis petani sawit di desa Tetewatu,
kecamatan Wiwirano. Ia merupakan mantan aktivis Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI), di Kalimantan Timur tahun 1990. Di Wiwirano, ia bersama
teman-temannya,
terus memperjuangkan hak-hak petani yang selama
ini diabaikan oleh perusahaan PT. PN XIV.
Ia terus menentang perusahaan perkebunan, agar hak-hak petani sawit dapat diberikan. Dengan usia yang sudah
tergolong tua, semangatnya masih berkobar. Bahkan ia pernah
membubarkan sebuah musyawara, lantaran tidak ketemu kesepakatan dengan pihak
perusahaan. Idealismenya
masih tinggi. Ia sama sekali tidak tergiur ketika
ditawarkan jabatan dan sejumlah uang.
Saya pernah didatangi oleh seseorang, menanyakan saya mau jadi apa. Ditawarkan uang pun
tidak akan menerimanya. Bagi saya itu suatu ketelodoran,
sama halnya kita menjual idealisme. Itu juga akan menyakiti masyarakat yang
lain. Saya
memilih untuk menjadi petani. Semua ini adalah kodrat
dari yang kuasa. Jika kita menentang, tidak mau menerima, berarti sama halnya
kita melawan kehendak yang kuasa. Saya tidak pernah menyesal dengan keputusanku.
Dengan menjadi petani, maka saya bebas, saya merdeka dan menjadi diriku sendiri,
kata Abdul Rahmat Badwin dengan penuh semangat.
Namun demikian, memang tidak selalu muda menyelesaikan persoalan ketika berhadapan dengan kekuasaan perusahaan. Sudah lebih dari 10 tahun ia terus
menyuarakan hak-hak petani, melalui dialog dan juga demonstrasi. Semua tanpa
hasil, nihil. Perusahaan selalu memiliki banyak akal, mengamankan aktivis (para
mahasiswa) dengan diberikan uang amplop, kemudian dibantu aparat
kepolisian dan pemerintah setempat.
Banyak yang ikut membantu kami, kata
Abdul Rahmat, termasuk para aktivis mahasiswa di Kendari. Tapi suara mereka
seperti putus ditengah jalan, dibungkam. Setelah kita telusuri, ternyata para
aktivis mahasiswa itu diamankan oleh perusahaan dengan diberikan amplop. Dari situ,
maaf, kami tidak lagi mempercayai aktivis mahasiswa, ungkap Abdul Rahmat B. saat
memulai mencoba menjelaskan.
***
Sebelum warga transmigrasi mendiami, Wiwirano sebagai
daerah setengah belantara. Hutan masih lebat, sementara penduduk lokalnya belum
terlalu banyak. Semua orang bisa memulai hidup baru di Wiwirano, termasuk
seorang pembunuh dan perampok sekalipun. Warga transmigrasi kemudian
bermunculan sekitar tahun 1997-1998. Saat itu, tanah Wiwirano menjadi tanah
emas bagi para pengusaha perkebunan sawit. Ini merupakan suatu keajaiban bagi tanah
Wiwirano, diprediksi menjadi suatu kebangkitan masyarakat setelah masuknya
perusahaan perkebunan sawit pada tahun 1999.
Tetapi yang terjadi kemudian justru sebaliknya. Wiwirano
berubah menjadi daerah yang penuh dengan ketidakwarasan. Berubah menjadi tempat
yang aneh, miskin dan terbelakang. Yang kaya dan yang banyak tanah hanya mereka
para kepala desa dan kroni-kroninya. Sementara petani yang mempunyai lahan 0,5
sampai 3 hektar, masih menjadi sampah
ketidakdilan bagi perusahaan. Para petani itu, telah diperlakukan semena-mena
oleh pihak perusahaan perkebunan PT. PN XIV.
Itulah yang saya dengar, yang saya lihat, kemudian saya
himpun, setelah bertemu dan berdiskusi dengan warga Wiwirano. Pemerintah
kabupaten dan desa, perusahaan beserta penguasa-penguasa tanah dengan asyiknya
ber-tango diatas karpet, yang mencoba menyembunyikan debu kemiskinan (Budiman Sudjatmiko, buku: Anak-anak
Revolusi 2). Jeritan mereka tidak terdengar, tersumbat oleh kehidupan yang
semakin susah dan menghimpit. Kesusahan begitu
membelenggu, kelaparan semakin menusuk-nusuk
perut, para
petani terus bekerja
mencoba mempertahankan hidup.
Dari situ, banyak warga yang tidak
tahan dengan penderitaan itu. Sawit mereka selama bertahun-tahun tidak bisa mendapatkan uang satu rupiah pun, dibiarkan membusuk dipohon. Saat panen hasil tiba, masyarakat bingung kemana sawitnya
akan dijual. Janji
perusahaan membangun pabrik tidak pernah terealisasi. Para petani kadang
menjualnya di Sulawesi Tengah, tetapi terkendala pada infrastruktur jalan. Itupun dengan resiko, berhadapan dengan preman perusahaan.
Jalanan saat itu sangat rusak bahkan
berhari-hari kami bermalam, itupun sawit kami sudah membusuk sebagian. Kadang
juga kami dilarang dan ditahan sama pihak perusahaan agar tidak menjual sendiri
diluar daerah. Kami rugi besar, ungkap pak Umar setengah terbata-bata.
Yang tidak tahan dengan penderitaan, para petani lalu menjual
kebun sawit yang ditangani oleh perusahaan (sawit plasma), lalu memilih pergi
meninggalkan Wiwirano. Mereka kembali dikampung
halaman atau pergi merantau di kota mencari kerja informal, menjadi buruh. Para
petani itu tidak bisa menggarap pertanian yang lain karena keterbatasan lahan yang ada.
Mereka betul-betul dibuat jatuh miskin.
Bertani yang lain pun kami tidak bisa.
Kami tidak mempunyai banyak tanah. Tanah kami yang disediakan oleh pemerintah
hanya
0,5 sampai 3 hektar. Itupun semua ditanami
kelapa sawit oleh perusahaan. Banyak petani yang memilih pergi meninggalkan
Wiwirano, karena tak ada lahan. Berharap sama hasil kelapa sawit susah,
harganya sangat murah. Dulu Rp. 1.200, sekarang tinggal Rp. 950,00 sampai Rp.
750, 00. Belum lagi perusahaan melakukan pemotongan hasil dan keterlambatan
melakukan pembayaran. Dulu janjinya setiap satu bulan, sekarang sudah tiga
bulan perusahaan belum membayar, ungkap pak Sukrani, seorang transmigrasi asal Jawa.
Beberapa hari di Wiwirano, Konawe Utara, saya bertemu dengan banyak kemalangan. Sejak
pertama menginjak tanah itu, terlihat hamparan tanaman kelapa sawit yang cukup luas, berjumlah 2.500 hektar. Pikirku,
warga disini hidup lebih sejahtera. Jumlah itu ternyata tidak membuat kehidupan
mereka beranjak pada kebaikan hidup, tetapi justru malah hidup serba susah. Petani
sawit tidak berdaulat atas harga sawitnya. Harga sawit dipatok para tengkulak
dengan harga Rp. 750,00. Hal itu merupakan salah satu alternatif agar hasil
sawit mereka tidak membusuk dipohon. Jika menjualnya ke pabrik kelapa sawit,
para petani sawit tidak mampu membiayai ongkos transportasinya.
Semua
itu bermuara pada penghasilan yang pas-pasan. Bahkan sama sekali tak cukup
hanya sekadar memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Belum lagi kenakalan-kenakalan
yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan dan pabrik kelapa sawit. Hasil sawit
petani harganya dipotong dengan alasan pembayaran utang. PT. PN XIV hanya
datang menagih/meminta ke masyarakat. Pada hal menurut Abdul Rahmat Badwin, yang
merawat kelapa sawit petani sendiri. Perusahaan tidak lagi mengurus, tidak
merawat dan tidak ada perlakuan sama sekali.
Yang menjadi
kegelisahan Abdul Rahmat yaitu terkait dengan utang para petani. Ia mempertanyakan,
mengapa utang petani tidak pernah lunas, pada hal sudah 15 tahun lebih. Selama dua
tahun petani sawit berhenti membayar, tetapi perusahaan perkebunan kembali
muncul melakukan penagihan.
Ini aneh. Perusahaan perkebunan ini memang nakal. Sepertinya
ada yang dilindungi. Ia mencoba menggunting dalam lipatan, ungkap Abdul Rahmat
Badwin.
Saya membayangkan,
apa yang terjadi kepada masyarakat petani sawit Wiwirano adalah bagian dari
eksploitasi. Mereka tak ubahnya seperti para pekerja rodi di zaman kolonial. Bukan
saja dimiskinkan tapi dibuat bodoh. Para petani sawit itu, secara sadar dan
tidak sadar mengemis pada tanahnya sendiri. Sawit telah berubah menjadi air
mata. Sementara perusahaan perkebunan berdiri pada singasana bisnisnya, meraup
ber-miliyar-miliyar keuntungan.
Terakhir,
saya ingin mengutip pernyataan Abdul Rahmat Badwin;
“Perusahaan perkebunan ini adalah perusahaan negara. Dan kami
juga adalah anak-anak negara. Tapi lihatlah, apa yang diperbuat oleh negara
kepada masyarakatnya!”
Wiwirano, 2017
Laode
Halaidin