19 Juni 2017

Menghitung Manik-Manik Nasib

Pixabay.com

RANTAU dalam kebudayaan Muna, biasanya mereka yang berani ke luar dari batas-batas wilayah, berpindah dari desa ke kota, dari kota ke kota atau dari desa ke Negara lainnya. Istilah rantau atau merantau dalam bahasa Muna disebut giu—dimana maknanya disempitkan hanya berarti mencari uang. Istilah bahasa giu—dapat kita temukan saat anak-anak muda lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sesudah menempuh pendidikan perguruan tinggi. Biasanya mereka-mereka ini sudah bisa diandalkan untuk mencari kehidupan di daerah lain.
Kehidupan lelaki di Muna, mungkin kita akan menemukan banyak kemiripan dengan masyarakat lainnya di Indonesia. Sebagaimana lelaki lain, lelaki dewasa Muna, suatu waktu pasti akan merantau dalam hidupnya. Jika tak menemukan kehidupan yang layak di desa, lelaki Muna sudah pasti beranjak untuk merantau di daerah lain. Hal ini sudah terjadi secara turun temurun dan dari generasi ke generasi.
Seiring dengan perjalanan waktu, makna rantau itu kini sudah berubah. Tak hanya bermakna untuk mencari uang—giu, (biasanya yang termasuk kategori ini, mereka yang bekerja dibidang informal, seperti buruh, pedagang dan TKI) dengan pertimbangan berhasil dan tidak berhasil—perantau yang sukses atau gagal. Tetapi, kini rata-rata lelaki dewasa Muna sudah memaknainya dengan yang lebih luas—termasuk mencari ilmu atau sebuah karir itu termasuk—rantau. Bagi yang berpendidikan, sekolah diperguruan tinggi diluar batas wilayah atau diwilayah luar, kini sudah termasuk rantau, dimana lelaki dewasa memiliki kebebasan untuk mencari ilmu pengetahuan dan karir.
Dalam kebudayaan Muna (dimana kebudayaan Minangkabau juga berlaku), ayah dan lelaki dewasa juga di desak untuk masuk ke pinggiran. Mereka harus berani ke luar wilayah—memasuki rimba rantau demi tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Bagi lelaki dewasa yang belum menikah, bertahan di desa hanya akan menjadi omongan dan bahan pergunjingan ibu-ibu, gadis-gadis dan tetangga-tetangga. Ini akan menjadi momok bagi lelaki dewasa, apalagi ditambah dengan tidak mengurus lahan pertanian.
Bagi lelaki muda Muna, mengurus lahan pertanian dan perkebunan di desa bukanlah pekerjaan yang menjanjikan, kotor dan tak punya masa depan. Dengan demikian, bagi yang tidak ingin masuk ke perguruan tinggi, mereka memilih merantau dibagian Timur Indonesia, meski bekerja di bidang informal. Sementara yang masuk di perguruan tinggi, lelaki mudahnya memilih Indonesia Barat atau sebagian memilih Makassar, Sulawesi Selatan dan Kendari, Sulawesi Tenggara.
Inilah yang disebut dengan, meminjam Rudolf Mrázek, memasuki “Dunia pinggiran”. Para lelaki Muna sangat terkenal dengan keberaniannya, memasuki dunia pinggiran atau rantau. Ukuran sukses dan gagal bagi perantau menjadi pertimbangan untuk kembali ke desa. Dari dulu hingga sekarang bagi lelaki yang pergi ke rantau, jika pulang dengan gagal maka itu tentu sudah menjadi hal yang sangat memalukan atau menjadi beban sosial dimasyarakat. Namun jika menjadi perantau yang berhasil, itu akan menjadi prestasi besar—dibanggah-banggahkan dimasyarakat.
***
Apa yang saya alami dengan kehidupanku hari ini adalah sebuah tragedi hidup yang memasuki rimba dunia pinggiran—rantau itu. Saya berada diwilayah luar, yang menghubungkan tanah Muna dan daerah-daerah lainnya. Saya di Kendari, yang merupakan daerah daratan Sulawesi Tenggara, sementara Muna merupakan kepulauannya.
Darah rantau ini, mengalir dari ayah yang juga suka merantau. Dari cerita-cerita ayah, ia konon sejak tahun 1930-1940-an bisa menjangkau  Negara Malaysia, Kalimantan, Papua (dulu Irian Jaya), Jakarta dan daerah-daerah lainnya. Meskipun situasi saat itu sangat menegangkan—kekacauan disana-sini, ayah tetap melancong mengunjungi daerah rantaunya. Rantau sudah menjadi tradisi keluarganya, yang lalu menurun ke anak-anaknya. Dan kakak-kakak saya pun semua hidup di daerah rantau, di Papua, Kalimantan dan Kendari.
Meskipun daerah rantau yang saya kunjungi sangat dekat dengan wilayah desa asal, namun saya begitu merasakan bagaimana hidup berada di dunia pinggiran itu. Nasib kita terkatung-katung dalam perantauan. Kedatangan didaerah rantau, tidak membawa marga, suku, adat atau keturunan. Semua dilepaskan. Maka mimpi untuk mendapatkan pekerjaan-pekerjaan yang bagus adalah sebuah pertarungan hidup. Tidak sama dengan mereka-mereka yang mempunyai relasi-relasi dengan kekuasaan, atau bagian dari keluarga yang berkuasa—mereka sangat mudah mendapatkan pekerjaan.
Tampaknya hidup yang baik, juga ditentukan oleh kekuasaan. Jika kita menoleh sejarah masa lalu, penjajahan kolonial, orang yang bernasib baik adalah orang-orang yang dekat dengan kekuasaan Belanda. Hal itu turun-temurun kemudian menggarisi orang-orang zaman sekarang. Entah pandai, entah berprestasi. Semua tak dipandang.
Hidup di dunia pinggiran, seperti hidup seorang pengelana. Kita terus berjalan menyusuri lorong-lorong nasib. Disitu ada kesunyian, disitu kita meneduh. Disitu ada kesenyapan, disitu kita berikhtiar. Namun hidup terus berlanjut. Sampai menemukan titik persimpangan yang jelas.
Inilah hidup saya diperantauan. Disini tak banyak yang ku perbuat selain terus belajar. Pekerjaan serabutan yang saya lakoni hanya sekadar untuk menyabung hidup. Darah rantau tak pernah berhenti mengalir dalam aliran darahku. Mungkin ke depan saya akan hidup di dunia pinggiran lain lagi.
Tetapi untuk sementara, saya masih disini, menghitung manik-manik nasib.

                                                                                                            L. Halaidin
                                                                                                            Kendari, 19 Juni 2017

0 komentar:

Posting Komentar