Pixabay.com |
RANTAU dalam kebudayaan Muna, biasanya mereka yang berani ke luar dari batas-batas wilayah, berpindah dari desa ke kota, dari kota ke kota atau dari desa ke Negara lainnya. Istilah rantau atau merantau dalam bahasa Muna disebut giu—dimana maknanya disempitkan hanya berarti mencari uang. Istilah bahasa giu—dapat kita temukan saat anak-anak muda lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sesudah menempuh pendidikan perguruan tinggi. Biasanya mereka-mereka ini sudah bisa diandalkan untuk mencari kehidupan di daerah lain.
Kehidupan
lelaki di Muna, mungkin kita akan menemukan banyak kemiripan dengan masyarakat
lainnya di Indonesia. Sebagaimana lelaki lain, lelaki dewasa Muna, suatu waktu pasti
akan merantau dalam hidupnya. Jika tak menemukan kehidupan yang layak di desa,
lelaki Muna sudah pasti beranjak untuk merantau di daerah lain. Hal ini sudah
terjadi secara turun temurun dan dari generasi ke generasi.
Seiring
dengan perjalanan waktu, makna rantau itu kini sudah berubah. Tak hanya bermakna
untuk mencari uang—giu, (biasanya
yang termasuk kategori ini, mereka yang bekerja dibidang informal, seperti
buruh, pedagang dan TKI) dengan pertimbangan berhasil dan tidak berhasil—perantau
yang sukses atau gagal. Tetapi, kini rata-rata lelaki dewasa Muna sudah
memaknainya dengan yang lebih luas—termasuk mencari ilmu atau sebuah karir itu
termasuk—rantau. Bagi yang berpendidikan, sekolah diperguruan tinggi diluar
batas wilayah atau diwilayah luar, kini sudah termasuk rantau, dimana lelaki dewasa
memiliki kebebasan untuk mencari ilmu pengetahuan dan karir.
Dalam
kebudayaan Muna (dimana kebudayaan Minangkabau juga berlaku), ayah dan lelaki
dewasa juga di desak untuk masuk ke pinggiran. Mereka harus berani ke luar
wilayah—memasuki rimba rantau demi tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Bagi
lelaki dewasa yang belum menikah, bertahan di desa hanya akan menjadi omongan
dan bahan pergunjingan ibu-ibu, gadis-gadis dan tetangga-tetangga. Ini akan
menjadi momok bagi lelaki dewasa, apalagi ditambah dengan tidak mengurus lahan
pertanian.
Bagi
lelaki muda Muna, mengurus lahan pertanian dan perkebunan di desa bukanlah
pekerjaan yang menjanjikan, kotor dan tak punya masa depan. Dengan demikian,
bagi yang tidak ingin masuk ke perguruan tinggi, mereka memilih merantau
dibagian Timur Indonesia, meski bekerja di bidang informal. Sementara yang
masuk di perguruan tinggi, lelaki mudahnya memilih Indonesia Barat atau
sebagian memilih Makassar, Sulawesi Selatan dan Kendari, Sulawesi Tenggara.
Inilah
yang disebut dengan, meminjam Rudolf Mrázek, memasuki “Dunia pinggiran”. Para
lelaki Muna sangat terkenal dengan keberaniannya, memasuki dunia pinggiran atau
rantau. Ukuran sukses dan gagal bagi perantau menjadi pertimbangan untuk
kembali ke desa. Dari dulu hingga sekarang bagi lelaki yang pergi ke rantau,
jika pulang dengan gagal maka itu tentu sudah menjadi hal yang sangat memalukan
atau menjadi beban sosial dimasyarakat. Namun jika menjadi perantau yang
berhasil, itu akan menjadi prestasi besar—dibanggah-banggahkan dimasyarakat.
***
Apa
yang saya alami dengan kehidupanku hari ini adalah sebuah tragedi hidup yang
memasuki rimba dunia pinggiran—rantau itu. Saya berada diwilayah luar, yang
menghubungkan tanah Muna dan daerah-daerah lainnya. Saya di Kendari, yang
merupakan daerah daratan Sulawesi Tenggara, sementara Muna merupakan kepulauannya.
Darah
rantau ini, mengalir dari ayah yang juga suka merantau. Dari cerita-cerita
ayah, ia konon sejak tahun 1930-1940-an bisa menjangkau Negara Malaysia, Kalimantan, Papua (dulu
Irian Jaya), Jakarta dan daerah-daerah lainnya. Meskipun situasi saat itu
sangat menegangkan—kekacauan disana-sini, ayah tetap melancong mengunjungi daerah
rantaunya. Rantau sudah menjadi tradisi keluarganya, yang lalu menurun ke
anak-anaknya. Dan kakak-kakak saya pun semua hidup di daerah rantau, di Papua,
Kalimantan dan Kendari.
Meskipun
daerah rantau yang saya kunjungi sangat dekat dengan wilayah desa asal, namun
saya begitu merasakan bagaimana hidup berada di dunia pinggiran itu. Nasib kita
terkatung-katung dalam perantauan. Kedatangan didaerah rantau, tidak membawa
marga, suku, adat atau keturunan. Semua dilepaskan. Maka mimpi untuk
mendapatkan pekerjaan-pekerjaan yang bagus adalah sebuah pertarungan hidup. Tidak
sama dengan mereka-mereka yang mempunyai relasi-relasi dengan kekuasaan, atau
bagian dari keluarga yang berkuasa—mereka sangat mudah mendapatkan pekerjaan.
Tampaknya
hidup yang baik, juga ditentukan oleh kekuasaan. Jika kita menoleh sejarah masa
lalu, penjajahan kolonial, orang yang bernasib baik adalah orang-orang yang
dekat dengan kekuasaan Belanda. Hal itu turun-temurun kemudian menggarisi
orang-orang zaman sekarang. Entah pandai, entah berprestasi. Semua tak
dipandang.
Hidup
di dunia pinggiran, seperti hidup seorang pengelana. Kita terus berjalan
menyusuri lorong-lorong nasib. Disitu ada kesunyian, disitu kita meneduh. Disitu
ada kesenyapan, disitu kita berikhtiar. Namun hidup terus berlanjut. Sampai menemukan
titik persimpangan yang jelas.
Inilah
hidup saya diperantauan. Disini tak banyak yang ku perbuat selain terus belajar.
Pekerjaan serabutan yang saya lakoni hanya sekadar untuk menyabung hidup. Darah
rantau tak pernah berhenti mengalir dalam aliran darahku. Mungkin ke depan saya
akan hidup di dunia pinggiran lain lagi.
Tetapi
untuk sementara, saya masih disini, menghitung manik-manik nasib.
L.
Halaidin
Kendari,
19 Juni 2017
0 komentar:
Posting Komentar