Kisah Seorang Nelayan di Purirano

Ini adalah cerita saat saya bertemu dengan nelayan di purirano. Keadaan mereka penuh dengan ketidakadilan.

Kenangan di Puncak Terindah Buton Selatan

Ini adalah bentuk penghayatan, akan indahnya alam. Olehnya itu, alam harus dijaga dengan baik agar kita hidup dalam penuh damai dan tentram.

Menggeluti Ilmu di Perguruan Tinggi

Bersama dengan ilmu pengetahuan kita dapat maju, bergerak dan bersaing dengan pihak-pihak lain. Mari, kita dahulukan pendidikan kita.

Sebuah Perjalanan di Muna Barat

Kami mencari keadilan atas masyarakat yang selama ini teralienasi. Lahan-lahan mereka dipermainkan oleh elit-elit desa, mengeruk keuntungan dengan membodohi masyarakat. Kami menolak dan melawan.

Mencari Keindahan di Danau Maleura

Di danau ini, ada panorama keindahan, yang membuat pengunjung sangat menikmati suasana. Hawa dingin dan air yang jernih dan terdapat banyaknya gua-gua. Ini keren kan. Adanya hanya di Muna.

21 Juni 2017

SULTRA, Dalam PUSARAN DINASTI POLITIK

Pixabay.com
KEKUASAAN menurut Daniel Dhakidae, memang begitu nyata dan juga sekaligus begitu misterius. Kekuasaan nyata, ketika berada dalam genggaman yang kemudian membuat penguasa berbuat leluasa, apakah berkaitan dengan dimensi kebijakan maupun tanggungjawab sosial. Sementara kekuasaan misterius, ketika kekuasaan itu beralih, lepas dari genggaman—lalu diperolehnya kembali lewat legitimasi anak, istri dan sanak famili.
Hal itu, memang sungguh misterius, bukan! Meskpiun kekuasaan yang demikian, gampang untuk diselewengkan oleh penguasanya sendiri.
Maka dari itu, kita patut mengamini sebuah “dalil kekuasaan” (Alfan Alfian, 2016), yang diutarakan oleh Lord Acton bahwa kekuasaan cenderung diselewengkan oleh pemegangnya dan kekuasaan mutlak sudah pasti menyeleweng. Minimal, inilah yang berlaku disetiap daerah, saat penguasa mencoba membiakan dinasti politik.
Politik dinasti merupakan produk politik yang bermasalah. Secarah hukum memang tidak dilarang. Namun jika dilihat dari dimensi kebijakan, dinasti politik kerap banyak menimbulkan masalah yang justru merugikan publik. Tengoklah daerah-daerah yang hari ini menerapkan dinasti politik—yang terjadi malah menjadi pasien Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), berakhir di jeruji besi.
Lalu, apakah seandainya Sulawesi Tenggara bila diterapkan dinasti politik, juga akan menghadapi banyak masalah? Disini kita bukan mengawang-ngawang atau berasumsi. Tetapi berbicara fakta bahwa biasanya sebuah dinasti berusaha membek-ap kepentingan keluarga dengan mencalonkannya untuk meraih jabatan kembali. Hal tersebut bisa dilakukan melalui istrinya, anaknya dan mungkin juga keluarganya yang lain.
Jadi, tidak menutup kemungkinan penyalahgunaan wewenang itu akan terjadi. Karena biasanya, ketika sang ayah selesai menjabat, kepentingan atau urusan bisnis masih banyak yang belum terselesaikan. Atau bisa jadi ada perkara hukum yang ditinggalkan. Sehingga untuk mengamankan posisi itu, salah satunya anak, istri atau bagian dari keluarga harus berkuasa.
Sulawesi Tenggara dalam hal ini tengah berada dalam bayang-bayang dinasti politik. Itu dapat terlihat, ketika para politisi muncul dipermukaan dengan wajah yang itu-itu saja. Sebagian yang wara-wiri di media sosial merupakan politisi atau wajah lama, yang saat ini, anak, istri, suami dan sebagian keluarganya tengah menduduki jabatan-jabatan penting.
Sebut saja, yang pertama misalnya Ir. Asrun, yang masih menjabat sebagai wali kota Kendari. Dalam pemilihan wali kota beberapa bulan yang lalu, anaknya Adriatma Dwi Putra (ADP) berhasil keluar menjadi jawara, untuk memimpin wali kota Kendari lima tahun kedepan. Kemenangan itu tidak terlepas dari campur tangan ayahnya, dengan menggunakan mesin birokrasi yang ada. Bukti yang paling kuat, menjelang pilkada 2017 beberapa bulan yang lalu, ia melakukan berbagai manufer dengan mengganti beberapa pejabat eselon I, III dan IV, dari tingkat kepala dinas sampai dengan kepala kelurahan.
Dengan masa jabatan yang tinggal menyisakan beberapa bulan lagi, Ir. Asrun tengah melakukan sosialisasi untuk mencalonkan diri sebagai Gubernur. Ia adalah orang yang berhasil memperkuat posisinya membangun dinasti sejak tahun 2014. Dinasti politiknya yang dibangun di Kendari hari ini tengah berjalan mulus. Dengan terpilihnya Adriatma sebagai wali kota, tak menutup kemungkinan kedepan ia akan disiapkan oleh ayahnya untuk mencalonkan diri sebagai Gubernur. Saat ini Ir. Asrun tinggal bagaimana menata basis dan finansial untuk menuju kursi Gubernur.
Yang kedua, Tina Nur Alam, yang saat ini menjabat sebagai anggota DPR RI Komisi VI. Tina atau yang mempunyai nama lengkap Asnawati Hasan, merupakan istri Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam, yang saat ini masih dijadikan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan modal prestasi dan populer suaminya Nur Alam, ia dengan optimis akan mendapat dukungan dari masyarakat.
Barangkali, disini publik akan diuji. Apakah masyarakat tetap akan mendukungnya? Pasalnya, Nur Alam, saat ini tengah dirundung masalah, diduga menyalahgunakan wewenang, dengan mengeluarkan izin pertambangan pada rentang waktu tahun 2009-2014. Sosok Tina Nur Alam, masuk dalam gelanggang politik merupakan produk dinasti politik, yang dibangun oleh Nur Alam sejak tahun 2008 silam. Sejak Nur Alam menjadi Gubernur pada tahun 2008-2013, istrinya, Tina berhasil menyabet kursi DPR RI pada tahun 2014 lalu.
Dalam kasusnya, Nur Alam disebutkan telah menerbitkan surat keputusan (SK) Persetujuan  Percadangan Wilayah Pertambangan, Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan SK Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah (AHB) yang dilakukan di Buton dan Bombana. Bagi KPK, Surat Keputusan tersebut telah menyalahi aturan.
Ketiga, Ridwan Bae, dimana ia tengah menjabat sebagai anggota DPR RI, komisi V. Ridwan Bae juga hendak membangun dinasti politik di Sulawesi Tenggara. Itu dapat terlihat ketika ia mencalonkan anaknya L.M. Ihsan Taufik, pada pemilihan bupati di Muna Barat beberapa bulan yang lalu. Meskipun kalah, tetapi dalam langka politiknya ia hendak membangun kekuasaan dinasti politik dari bawah.
Ridwan Bae merupakan sosok politisi yang populer di Sulawessi Tenggara. Ia adalah ketua Golkar Sultra, seorang pengusaha yang sangat loyal dengan pembiayaan politik. Dalam karir politiknya, ia berhasil menjadi bupati Muna selama dua periode 2000-2010. Namun, langka kerjanya di Muna sebenarnya tidak menunjukan begitu signifikan, bahwa ia memiliki visioner untuk membangun daerah.
Muna saat itu dibuat terkatung-katung. Bahkan diakhir masa jabatannya periode pertama, ia sempat diduga melakukan korupsi lelang kayu jati. Ia dinilai menyalahi aturan proses lelang, sebagaimana Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan No 319 tahun 1997. Dan dalam laporan pertanggungjawaban Bupati Muna pada tahun 2003, ada ketidaksesuaian dengan realisasi pendapatan dari hasil lelang kayu jati. Bukan saja itu, ia diduga melakukan korupsi terkait penimbunan penataan kawasan kumuh di kelurahan lagasa dan kelurahan tula.
Dari informasi yang dihimpun oleh wikidpr.org, sejak 2004 Ridwan Bae, dilaporkan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) ke KPK yang terkait dengan dugaan korupsi pelelangan kayu jati. Seharusnya menurut WALHI pemerintah Kabupaten Muna menerima pendapatan sebesar 15 miliar lebih pada tahun 2002 dan 2003. Namun, dalam laporan pertanggungjawaban bupati Muna, Ridwan Bae tahun 2003, Kabupaten Muna hanya memperoleh hasil pelelangan kayu jati sebesar 8 miliar.
Kekalahan anaknya, bukan akhir dari langka politik Ridwan. Minimal, ia telah berhasil membangun dinasti politik, dimana ponakannya L.M. Rusman Emba menjadi Bupati Kabupaten Muna. Tidak menutup kemungkinan, ke depan Ridwan Bae akan mencalonkan anaknya atau ponakannya untuk berebut kuasa di pemilihan Gubernur. Saat ini, Ridwan Bae tinggal bagaimana memuluskan langkahnya untuk menuju kursi Gubernur.
Keempat, Rusda Mahmud. Ia disebut-sebut sebagai Bupati dua periode (2007-2017) yang berhasil memodernisasi Kolaka Utara. Namun, cerita keberhasilan itu (memang berhasil dari segi pembangunan fisik), masih menyimpan masa kelam yang diduga terkait korupsi proyek pertambangan dan dugaan penyelewengan APBD Kolaka Utara.
Kepemimpinan Rusda Mahmud di Kolaka Utara banyak menuai kritik. Pasalnya, ia menempatkan sebagian keluarganya pada jabatan-jabatan penting di pemerintahannya. Dinasti politik yang dibangun Rusda Mahmud, terlihat ketika ia mendukung Nur Rahman Umar dan H. Abbas sebagai Bupati Kolaka Utara.
Nur Rahman Umar sebelumnya menjabat sebagai kepala dinas pertambangan Kolaka Utara yang tidak pernah diganti selama dua periode, selama kepemimpinan Rusda Mahmud. Ini terlihat seperti ada konsensus ikatan kekeluargaan yang dibangun, demi memuluskan kekuasaan di Kolaka Utara. Sementara H. Abbas dari beberapa informasi dari media bahwa ia bersepupu dengan Rusda Mamud.
Kemenangan Nur Rahman Umar dan H. Abbas di Kolaka Utara merupakan satu langka yang dibangun Rusda Mahmud untuk menuju kursi Gubernur. Minimal, ia telah mempunyai basis pendukung atau massa di Kolaka Utara. Ini tentu akan membuktikan bahwa Rusda Mahmud merupakan politisi yang diperhitungkan di Sulawesi Tenggara. Dinasti itu, telah ia bangun lewat kerabat, relasi dan juga keluarga.
Kelima, Sjafei Kahar. Ia merupakan mantan Bupati Buton. Sjafei Kahar telah memulai membangun dinasti sejak tahun 2001-2011, berawal dari birokrat, ketua Golkar Buton dan bupati. Pada tahun 2011 ia mendorong anaknya (saat ini menjabat sebagai bupati Buton Selatan), Agus Faisal Hidayat sebagai bupati Buton. Namun dalam perjalanannya, ia dikalahkan oleh Umar Samiun.
Tak hanya sampai disitu. Tahun 2014, Sjafei Kahar  mendorong istrinya, Waode Salmatia mencalonkan diri sebagai anggota legislatif lewat partai Demokrat. Istrinya berhasil menyabet kursi DPRD Provinsi dengan kekuatan basis dan finansial yang dimiliki oleh suaminya, Sjafei Kahar.
Tahun 2017, Sjafei kembali mendorong anaknya, Agus Faisal Hidayat untuk maju di pilkada Buton Selatan. Agus berhasil memenangi pilkada Buton Selatan. Kemenangan Agus, merupakan senjata Sjafei untuk memuluskan jalan politiknya menuju Gubernur. Ia adalah orang pertama, yang menyebarkan balihonya dijalan-jalan sebagai calon Gubernur. Dengan itu, Sjafei ingin menegaskan bahwa ia adalah politisi yang layak diperhitungkan. Ia telah mempunyai peluru, untuk mengerahkan basis dan finansial yang ada.
Ke lima politisi diatas, telah memegang kekuasaan di masing-masing wilayah. Secara tidak langsung itu terlihat lewat dinasti politik yang mereka bangun. Mereka dengan gampang dapat memanfaatkan jabatan-jabatan para bupati dan wali kota, yang melalui dinasti politiknya untuk mengerahkan pendukung, baik dukungan secara finansial maupun basis masanya.
Melalui keluarga politik itu, maka bagi mereka bukan sesuatu yang sulit untuk berkuasa di Sulawesi Tenggara. Mereka bisa melakukan apapun, demi meraih kekuasaan tersebut. Maka apa yang dikatakan oleh filosof Bertrand Russel, semakin meyakinkan bahwa dari keinginan manusia yang tidak  terbatas, di dalam kepalanya adalah keinginan untuk berkuasa.
Daerah Sultra kedepan akan menapaki jalan terjal. Kita tak tau siapa kedepan yang akan berkuasa. Namun bagi saya, selama beberapa puluh tahun ke depan, Sultra akan terus berada dalam pusaran dinasti politik.
Namun, kita selayaknya bertanya, bagaimana dampaknya terhadap masyarakat. Kita patut memperhitungkan, bagaimana konflik kepentingan yang terjadi ketika daerah dijabat oleh keluarga dari dinasti politik. Ini justru akan berdampak buruk terhadap kehidupan masyarakat. Mestinya, daerah ini lebih besar dari beberapa keluarga dinasti.

                                                                                         L. Halaidin
                                                                                         21 Juni 2017

19 Juni 2017

Anak Muda! MARI Berpolitik Lewat MEDIA

Pixabay.com

SANGAT banyak, saya menemukan anak-anak muda yang pandai bicara politik. Mereka bicara seperti orator hebat, yang tutur katanya tersusun rapi. Saya kadang mengatakan, mereka sangat luar biasa, bicara bak pengamat yang lihai meneropong keadaan perpolitikan tanah air.

Kita patut mengapresiasi hal-hal yang demikian. Itu pertanda positif, banyak anak-anak muda yang sudah melek politik. Saya bersepakat dengan salah satu sahabat, bahwa bicara ranah politik, itu bukan saja bagian mereka yang sudah menapaki ilmuwan/intelektual politik. Juga tidak mesti harus didiskusikan lewat forum-forum formal. Semua bebas.
Dengan aliran berita diberbagai media—yang berseliweran dijagat maya, anak muda bebas membicarakan politik dimanapun dan kapan saja. Sebagaimana kita menganut kebebasan berpendapat, maka tentu tak ada masalah. Ketika, anak muda ramai bicara politik—mengutarakan pendapat, secara tidak langsung sebenarnya mereka sudah ikut berpolitik. Ia itu—berpolitik lewat mulut ke mulut.
Dari itu, saya menyeruhkan, mari kita ramai-ramai berpolitik.
Namun, bagi saya, berpolitik hanya lewat mulut ke mulut itu tidak cukup. Itu sama halnya seperti membuat jaring ke laut, yang sama sekali tak punya ikan. Hasilnya nol, meskipun cara membuangnya sangat baik.
Apa yang ingin saya katakan adalah, anak muda minimal harus berani berpolitik lewat media sosial. Caranya? Sederhana saja, berani melempar opini ke publik melalui tulisan. Di media sosial, sangat banyak ditemukan kanal-kanal yang bisa menampung tulisan-tulisan kita. Atau anak muda bisa membuat kanal sendiri, yang lalu membuat tulisan untuk dikonsumsi publik. Sederhana, bukan!
Hal tersebut merupakan salah satu cara, ketika anak-anak muda belum menemukan ideologi yang pas dengan salah satu partai. Anak muda bisa memilih jalur kanal media sosial untuk berpendapat—mengutarakan ide politik dan opininya. Itu jalur independen, berhak mengkritik berpedaan politik dengan siapa pun. Dari itu, kita harus mempunyai keberanian, meskipun opini yang kita sampaikan bersinggungan dengan orang lain.
Inilah yang saya lakukan hari ini. Berani berpolitik lewat media sosial. Minimal, apa yang terbenam dikepala, dikelola, lalu melahirkan opini, pendapat tentang perpolitikan. Lalu, anak muda juga harus berani, mengalihkan dukungan atau mendukung salah satu figur ketika pemilihan akan berlangsung. Intinya, agar kita tak terlihat seperti seorang pragmatis.
Saya mengutip, salah satu percakapan dalam novel Tan yang ditulis oleh Hendri Teja, bahwa “orang yang bermuka tebal itu bisa memiliki separuh dunia.” Artinya, kita jangan takut salah atau takut didebat, karena beribu-ribu kesalahan itu masih lebih baik daripada kita bungkam dan tak melahirkan apapun.
Anak muda, mari kita berani berpolitik lewat media. Ayolah. Jangan hanya banyak bicara.

                                                                                                                        L. Halaidin
                                                                                                                        20 Juni 2017

Menghitung Manik-Manik Nasib

Pixabay.com

RANTAU dalam kebudayaan Muna, biasanya mereka yang berani ke luar dari batas-batas wilayah, berpindah dari desa ke kota, dari kota ke kota atau dari desa ke Negara lainnya. Istilah rantau atau merantau dalam bahasa Muna disebut giu—dimana maknanya disempitkan hanya berarti mencari uang. Istilah bahasa giu—dapat kita temukan saat anak-anak muda lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sesudah menempuh pendidikan perguruan tinggi. Biasanya mereka-mereka ini sudah bisa diandalkan untuk mencari kehidupan di daerah lain.
Kehidupan lelaki di Muna, mungkin kita akan menemukan banyak kemiripan dengan masyarakat lainnya di Indonesia. Sebagaimana lelaki lain, lelaki dewasa Muna, suatu waktu pasti akan merantau dalam hidupnya. Jika tak menemukan kehidupan yang layak di desa, lelaki Muna sudah pasti beranjak untuk merantau di daerah lain. Hal ini sudah terjadi secara turun temurun dan dari generasi ke generasi.
Seiring dengan perjalanan waktu, makna rantau itu kini sudah berubah. Tak hanya bermakna untuk mencari uang—giu, (biasanya yang termasuk kategori ini, mereka yang bekerja dibidang informal, seperti buruh, pedagang dan TKI) dengan pertimbangan berhasil dan tidak berhasil—perantau yang sukses atau gagal. Tetapi, kini rata-rata lelaki dewasa Muna sudah memaknainya dengan yang lebih luas—termasuk mencari ilmu atau sebuah karir itu termasuk—rantau. Bagi yang berpendidikan, sekolah diperguruan tinggi diluar batas wilayah atau diwilayah luar, kini sudah termasuk rantau, dimana lelaki dewasa memiliki kebebasan untuk mencari ilmu pengetahuan dan karir.
Dalam kebudayaan Muna (dimana kebudayaan Minangkabau juga berlaku), ayah dan lelaki dewasa juga di desak untuk masuk ke pinggiran. Mereka harus berani ke luar wilayah—memasuki rimba rantau demi tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Bagi lelaki dewasa yang belum menikah, bertahan di desa hanya akan menjadi omongan dan bahan pergunjingan ibu-ibu, gadis-gadis dan tetangga-tetangga. Ini akan menjadi momok bagi lelaki dewasa, apalagi ditambah dengan tidak mengurus lahan pertanian.
Bagi lelaki muda Muna, mengurus lahan pertanian dan perkebunan di desa bukanlah pekerjaan yang menjanjikan, kotor dan tak punya masa depan. Dengan demikian, bagi yang tidak ingin masuk ke perguruan tinggi, mereka memilih merantau dibagian Timur Indonesia, meski bekerja di bidang informal. Sementara yang masuk di perguruan tinggi, lelaki mudahnya memilih Indonesia Barat atau sebagian memilih Makassar, Sulawesi Selatan dan Kendari, Sulawesi Tenggara.
Inilah yang disebut dengan, meminjam Rudolf Mrázek, memasuki “Dunia pinggiran”. Para lelaki Muna sangat terkenal dengan keberaniannya, memasuki dunia pinggiran atau rantau. Ukuran sukses dan gagal bagi perantau menjadi pertimbangan untuk kembali ke desa. Dari dulu hingga sekarang bagi lelaki yang pergi ke rantau, jika pulang dengan gagal maka itu tentu sudah menjadi hal yang sangat memalukan atau menjadi beban sosial dimasyarakat. Namun jika menjadi perantau yang berhasil, itu akan menjadi prestasi besar—dibanggah-banggahkan dimasyarakat.
***
Apa yang saya alami dengan kehidupanku hari ini adalah sebuah tragedi hidup yang memasuki rimba dunia pinggiran—rantau itu. Saya berada diwilayah luar, yang menghubungkan tanah Muna dan daerah-daerah lainnya. Saya di Kendari, yang merupakan daerah daratan Sulawesi Tenggara, sementara Muna merupakan kepulauannya.
Darah rantau ini, mengalir dari ayah yang juga suka merantau. Dari cerita-cerita ayah, ia konon sejak tahun 1930-1940-an bisa menjangkau  Negara Malaysia, Kalimantan, Papua (dulu Irian Jaya), Jakarta dan daerah-daerah lainnya. Meskipun situasi saat itu sangat menegangkan—kekacauan disana-sini, ayah tetap melancong mengunjungi daerah rantaunya. Rantau sudah menjadi tradisi keluarganya, yang lalu menurun ke anak-anaknya. Dan kakak-kakak saya pun semua hidup di daerah rantau, di Papua, Kalimantan dan Kendari.
Meskipun daerah rantau yang saya kunjungi sangat dekat dengan wilayah desa asal, namun saya begitu merasakan bagaimana hidup berada di dunia pinggiran itu. Nasib kita terkatung-katung dalam perantauan. Kedatangan didaerah rantau, tidak membawa marga, suku, adat atau keturunan. Semua dilepaskan. Maka mimpi untuk mendapatkan pekerjaan-pekerjaan yang bagus adalah sebuah pertarungan hidup. Tidak sama dengan mereka-mereka yang mempunyai relasi-relasi dengan kekuasaan, atau bagian dari keluarga yang berkuasa—mereka sangat mudah mendapatkan pekerjaan.
Tampaknya hidup yang baik, juga ditentukan oleh kekuasaan. Jika kita menoleh sejarah masa lalu, penjajahan kolonial, orang yang bernasib baik adalah orang-orang yang dekat dengan kekuasaan Belanda. Hal itu turun-temurun kemudian menggarisi orang-orang zaman sekarang. Entah pandai, entah berprestasi. Semua tak dipandang.
Hidup di dunia pinggiran, seperti hidup seorang pengelana. Kita terus berjalan menyusuri lorong-lorong nasib. Disitu ada kesunyian, disitu kita meneduh. Disitu ada kesenyapan, disitu kita berikhtiar. Namun hidup terus berlanjut. Sampai menemukan titik persimpangan yang jelas.
Inilah hidup saya diperantauan. Disini tak banyak yang ku perbuat selain terus belajar. Pekerjaan serabutan yang saya lakoni hanya sekadar untuk menyabung hidup. Darah rantau tak pernah berhenti mengalir dalam aliran darahku. Mungkin ke depan saya akan hidup di dunia pinggiran lain lagi.
Tetapi untuk sementara, saya masih disini, menghitung manik-manik nasib.

                                                                                                            L. Halaidin
                                                                                                            Kendari, 19 Juni 2017