|
Pixabay.com |
KEKUASAAN
menurut Daniel Dhakidae, memang begitu nyata dan juga sekaligus begitu
misterius. Kekuasaan nyata, ketika berada dalam genggaman yang kemudian membuat
penguasa berbuat leluasa, apakah berkaitan dengan dimensi kebijakan maupun
tanggungjawab sosial. Sementara kekuasaan misterius, ketika kekuasaan itu
beralih, lepas dari genggaman—lalu diperolehnya kembali lewat legitimasi anak,
istri dan sanak famili.
Hal
itu, memang sungguh misterius, bukan! Meskpiun kekuasaan yang demikian, gampang
untuk diselewengkan oleh penguasanya sendiri.
Maka
dari itu, kita patut mengamini sebuah “dalil kekuasaan” (Alfan Alfian, 2016),
yang diutarakan oleh Lord Acton bahwa kekuasaan cenderung diselewengkan oleh
pemegangnya dan kekuasaan mutlak sudah pasti menyeleweng. Minimal, inilah yang
berlaku disetiap daerah, saat penguasa mencoba membiakan dinasti politik.
Politik
dinasti merupakan produk politik yang bermasalah. Secarah hukum memang tidak
dilarang. Namun jika dilihat dari dimensi kebijakan, dinasti politik kerap
banyak menimbulkan masalah yang justru merugikan publik. Tengoklah daerah-daerah
yang hari ini menerapkan dinasti politik—yang terjadi malah menjadi pasien Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), berakhir di jeruji besi.
Lalu,
apakah seandainya Sulawesi Tenggara bila diterapkan dinasti politik, juga akan
menghadapi banyak masalah? Disini kita bukan mengawang-ngawang atau berasumsi. Tetapi
berbicara fakta bahwa biasanya sebuah dinasti berusaha membek-ap kepentingan
keluarga dengan mencalonkannya untuk meraih jabatan kembali. Hal tersebut bisa
dilakukan melalui istrinya, anaknya dan mungkin juga keluarganya yang lain.
Jadi,
tidak menutup kemungkinan penyalahgunaan wewenang itu akan terjadi. Karena biasanya,
ketika sang ayah selesai menjabat, kepentingan atau urusan bisnis masih banyak
yang belum terselesaikan. Atau bisa jadi ada perkara hukum yang ditinggalkan. Sehingga
untuk mengamankan posisi itu, salah satunya anak, istri atau bagian dari
keluarga harus berkuasa.
Sulawesi
Tenggara dalam hal ini tengah berada dalam bayang-bayang dinasti politik. Itu dapat
terlihat, ketika para politisi muncul dipermukaan dengan wajah yang itu-itu
saja. Sebagian yang wara-wiri di media sosial merupakan politisi atau wajah lama,
yang saat ini, anak, istri, suami dan sebagian keluarganya tengah menduduki
jabatan-jabatan penting.
Sebut
saja, yang pertama misalnya Ir. Asrun, yang masih menjabat sebagai wali kota
Kendari. Dalam pemilihan wali kota beberapa bulan yang lalu, anaknya Adriatma
Dwi Putra (ADP) berhasil keluar menjadi jawara, untuk memimpin wali kota
Kendari lima tahun kedepan. Kemenangan itu tidak terlepas dari campur tangan
ayahnya, dengan menggunakan mesin birokrasi yang ada. Bukti yang paling kuat,
menjelang pilkada 2017 beberapa bulan yang lalu, ia melakukan berbagai manufer
dengan mengganti beberapa pejabat eselon I, III dan IV, dari tingkat kepala dinas
sampai dengan kepala kelurahan.
Dengan
masa jabatan yang tinggal menyisakan beberapa bulan lagi, Ir. Asrun tengah melakukan
sosialisasi untuk mencalonkan diri sebagai Gubernur. Ia adalah orang yang
berhasil memperkuat posisinya membangun dinasti sejak tahun 2014. Dinasti politiknya
yang dibangun di Kendari hari ini tengah berjalan mulus. Dengan terpilihnya
Adriatma sebagai wali kota, tak menutup kemungkinan kedepan ia akan disiapkan
oleh ayahnya untuk mencalonkan diri sebagai Gubernur. Saat ini Ir. Asrun
tinggal bagaimana menata basis dan finansial untuk menuju kursi Gubernur.
Yang
kedua, Tina Nur Alam, yang saat ini menjabat sebagai anggota DPR RI Komisi VI.
Tina atau yang mempunyai nama lengkap Asnawati Hasan, merupakan istri Gubernur
Sulawesi Tenggara, Nur Alam, yang saat ini masih dijadikan sebagai tersangka
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan modal prestasi dan populer suaminya
Nur Alam, ia dengan optimis akan mendapat dukungan dari masyarakat.
Barangkali,
disini publik akan diuji. Apakah masyarakat tetap akan mendukungnya? Pasalnya, Nur
Alam, saat ini tengah dirundung masalah, diduga menyalahgunakan wewenang,
dengan mengeluarkan izin pertambangan pada rentang waktu tahun 2009-2014. Sosok
Tina Nur Alam, masuk dalam gelanggang politik merupakan produk dinasti politik,
yang dibangun oleh Nur Alam sejak tahun 2008 silam. Sejak Nur Alam menjadi
Gubernur pada tahun 2008-2013, istrinya, Tina berhasil menyabet kursi DPR RI
pada tahun 2014 lalu.
Dalam
kasusnya, Nur Alam disebutkan telah menerbitkan surat keputusan (SK)
Persetujuan Percadangan Wilayah Pertambangan,
Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan SK Persetujuan Peningkatan Izin
Usaha Pertambangan Eksplorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi
kepada PT Anugerah Harisma Barakah (AHB) yang dilakukan di Buton dan Bombana. Bagi
KPK, Surat Keputusan tersebut telah menyalahi aturan.
Ketiga,
Ridwan Bae, dimana ia tengah menjabat sebagai anggota DPR RI, komisi V. Ridwan
Bae juga hendak membangun dinasti politik di Sulawesi Tenggara. Itu dapat
terlihat ketika ia mencalonkan anaknya L.M. Ihsan Taufik, pada pemilihan bupati
di Muna Barat beberapa bulan yang lalu. Meskipun kalah, tetapi dalam langka
politiknya ia hendak membangun kekuasaan dinasti politik dari bawah.
Ridwan
Bae merupakan sosok politisi yang populer di Sulawessi Tenggara. Ia adalah
ketua Golkar Sultra, seorang pengusaha yang sangat loyal dengan pembiayaan politik.
Dalam karir politiknya, ia berhasil menjadi bupati Muna selama dua periode
2000-2010. Namun, langka kerjanya di Muna sebenarnya tidak menunjukan begitu
signifikan, bahwa ia memiliki visioner untuk membangun daerah.
Muna
saat itu dibuat terkatung-katung. Bahkan diakhir masa jabatannya periode
pertama, ia sempat diduga melakukan korupsi lelang kayu jati. Ia dinilai
menyalahi aturan proses lelang, sebagaimana Surat Keputusan (SK) Menteri
Kehutanan No 319 tahun 1997. Dan dalam laporan pertanggungjawaban Bupati Muna
pada tahun 2003, ada ketidaksesuaian dengan realisasi pendapatan dari hasil
lelang kayu jati. Bukan saja itu, ia diduga melakukan korupsi terkait
penimbunan penataan kawasan kumuh di kelurahan lagasa dan kelurahan tula.
Dari
informasi yang dihimpun oleh wikidpr.org, sejak 2004 Ridwan Bae, dilaporkan
Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) ke KPK yang terkait dengan dugaan korupsi
pelelangan kayu jati. Seharusnya menurut WALHI pemerintah Kabupaten Muna
menerima pendapatan sebesar 15 miliar lebih pada tahun 2002 dan 2003. Namun,
dalam laporan pertanggungjawaban bupati Muna, Ridwan Bae tahun 2003, Kabupaten
Muna hanya memperoleh hasil pelelangan kayu jati sebesar 8 miliar.
Kekalahan
anaknya, bukan akhir dari langka politik Ridwan. Minimal, ia telah berhasil
membangun dinasti politik, dimana ponakannya L.M. Rusman Emba menjadi Bupati
Kabupaten Muna. Tidak menutup kemungkinan, ke depan Ridwan Bae akan mencalonkan
anaknya atau ponakannya untuk berebut kuasa di pemilihan Gubernur. Saat ini,
Ridwan Bae tinggal bagaimana memuluskan langkahnya untuk menuju kursi Gubernur.
Keempat, Rusda Mahmud. Ia disebut-sebut sebagai Bupati dua periode (2007-2017) yang
berhasil memodernisasi Kolaka Utara. Namun, cerita keberhasilan itu (memang
berhasil dari segi pembangunan fisik), masih menyimpan masa kelam yang diduga
terkait korupsi proyek pertambangan dan dugaan penyelewengan APBD Kolaka Utara.
Kepemimpinan
Rusda Mahmud di Kolaka Utara banyak menuai kritik. Pasalnya, ia menempatkan
sebagian keluarganya pada jabatan-jabatan penting di pemerintahannya. Dinasti politik
yang dibangun Rusda Mahmud, terlihat ketika ia mendukung Nur Rahman Umar dan H.
Abbas sebagai Bupati Kolaka Utara.
Nur
Rahman Umar sebelumnya menjabat sebagai kepala dinas pertambangan Kolaka Utara
yang tidak pernah diganti selama dua periode, selama kepemimpinan Rusda Mahmud.
Ini terlihat seperti ada konsensus ikatan kekeluargaan yang dibangun, demi
memuluskan kekuasaan di Kolaka Utara. Sementara H. Abbas dari beberapa
informasi dari media bahwa ia bersepupu dengan Rusda Mamud.
Kemenangan
Nur Rahman Umar dan H. Abbas di Kolaka Utara merupakan satu langka yang
dibangun Rusda Mahmud untuk menuju kursi Gubernur. Minimal, ia telah mempunyai
basis pendukung atau massa di Kolaka Utara. Ini tentu akan membuktikan bahwa
Rusda Mahmud merupakan politisi yang diperhitungkan di Sulawesi Tenggara.
Dinasti itu, telah ia bangun lewat kerabat, relasi dan juga keluarga.
Kelima, Sjafei Kahar. Ia merupakan mantan Bupati Buton. Sjafei Kahar telah memulai
membangun dinasti sejak tahun 2001-2011, berawal dari birokrat, ketua Golkar
Buton dan bupati. Pada tahun 2011 ia mendorong anaknya (saat ini menjabat
sebagai bupati Buton Selatan), Agus Faisal Hidayat sebagai bupati Buton. Namun dalam
perjalanannya, ia dikalahkan oleh Umar Samiun.
Tak
hanya sampai disitu. Tahun 2014, Sjafei Kahar
mendorong istrinya, Waode Salmatia mencalonkan diri sebagai anggota legislatif
lewat partai Demokrat. Istrinya berhasil menyabet kursi DPRD Provinsi dengan
kekuatan basis dan finansial yang dimiliki oleh suaminya, Sjafei Kahar.
Tahun
2017, Sjafei kembali mendorong anaknya, Agus Faisal Hidayat untuk maju di
pilkada Buton Selatan. Agus berhasil memenangi pilkada Buton Selatan. Kemenangan
Agus, merupakan senjata Sjafei untuk memuluskan jalan politiknya menuju
Gubernur. Ia adalah orang pertama, yang menyebarkan balihonya dijalan-jalan
sebagai calon Gubernur. Dengan itu, Sjafei ingin menegaskan bahwa ia adalah
politisi yang layak diperhitungkan. Ia telah mempunyai peluru, untuk
mengerahkan basis dan finansial yang ada.
Ke
lima politisi diatas, telah memegang kekuasaan di masing-masing wilayah. Secara
tidak langsung itu terlihat lewat dinasti politik yang mereka bangun. Mereka dengan
gampang dapat memanfaatkan jabatan-jabatan para bupati dan wali kota, yang
melalui dinasti politiknya untuk mengerahkan pendukung, baik dukungan secara finansial
maupun basis masanya.
Melalui
keluarga politik itu, maka bagi mereka bukan sesuatu yang sulit untuk berkuasa
di Sulawesi Tenggara. Mereka bisa melakukan apapun, demi meraih kekuasaan
tersebut. Maka apa yang dikatakan oleh filosof Bertrand Russel, semakin
meyakinkan bahwa dari keinginan manusia yang tidak terbatas, di dalam kepalanya adalah keinginan
untuk berkuasa.
Daerah
Sultra kedepan akan menapaki jalan terjal. Kita tak tau siapa kedepan yang akan
berkuasa. Namun bagi saya, selama beberapa puluh tahun ke depan, Sultra akan
terus berada dalam pusaran dinasti politik.
Namun,
kita selayaknya bertanya, bagaimana dampaknya terhadap masyarakat. Kita patut
memperhitungkan, bagaimana konflik kepentingan yang terjadi ketika daerah
dijabat oleh keluarga dari dinasti politik. Ini justru akan berdampak buruk terhadap
kehidupan masyarakat. Mestinya, daerah ini lebih besar dari beberapa keluarga
dinasti.
L.
Halaidin
21
Juni 2017