|
La Ida dan Istrinya |
Terik matahari panas menyengat,
menembusi kulit para nelayan itu. Seketika mereka tetap beraktivitas, berlalu
lalang dengan perahu kecil. Saat mengambil gambar, para nelayan itu sesekali
menyunggingkan senyum. Ronah senyum dimukanya terlihat, mereka sedang menikmati
pertualangannya dalam mencari penghidupan di tengah laut.
Namun,
cuaca siapa yang bisa menebak. Jika saat ini langit terlihat terang dan
matahari menyinari begitu panas hingga kulit terlihat lebam, sejam atau dua jam
kemudian awan bisa berubah jadi hitam keganasan. Itu pertanda bahwa hujan akan
segera turun. Angin segera bertiup kencang. Para nelayan pun siagap.
Saat
perahu kecil itu sandar di dermaga, saya mencoba bertanya pada seorang nelayan
bernama La Ida. Dari mana Pak? Kami habis melaut, sekalian tadi singgah ke
kebun di seberang mengambil kayu, tuturnya. Di dalam perahu kecil itu memang terlihat
seikat kayu dan beberapa jenis ikan tangkapan.
La
Ida bersama istrinya saat saya temui terlihat basah kuyup. Mereka diterpa angin
kencang disertai hujan, saat jarak perahunya tinggal beberapa ratus meter
dengan dermaga. Hasil tangkapannya hanya ini saja pak, tanyaku. Hari ini saya
lihat kebun saya diseberang, sekalian mencari ikan untuk makan malam nanti,
tutur La Ida.
Sejenak
saya melihat di perahunya ada tulisan Dana Desa. Ternayata di desa Lakarinta
dana desa dimanfaatkan dengan baik. Ada 23 perahu bantuan dari Anggaran Dana
Desa untuk para nelayan, kata La Ida. Kami sangat bersyukur bisa mendapatkan
bantuan ini. Perahu saya ada dua, satunya bukan bantuan, digunakan oleh
keluarga untuk mengambil pasir, satunya lagi bantuan. Perahu bantuan ini, saya
gunakan untuk mencari ikan dan berkebun diseberang, ungkap La Ida.
|
La Ida beserta Istri dan Warga Yang Sedang Mengangkut Pasir: Foto Laode Halaidin |
Dari
Desa Lakarinta saya menemukan pelajaran-pelajaran baru. Desa ini tergolong
bebatuan, dataran tinggi dan berjurang-jurang. Maka tak heran sebagian
masyarakatnya memilih berkebun diseberang daripada di desa Lakarinta. Saat
menyusuri jalan, kemiskinan terpampang didepan mata. Rumah-rumah panggung masih
mendominasi. Sebagian rumah masih beratap alang-alang, yang dibuat seperti atap
rumbia. Dinding rumah masih ada yang terbuat dari bambu-bambu.
Pekerjaan
masyarakatnya selain sebagai nelayan, juga mereka berkebun. Seorang teman lama
bernama La Madi menuturkan, bahwa kebun-kebun petani sangat jauh, ada dibalik
puncak itu. Ada yang berkebun jagung, ubi kayu, ubi jalar dan kacang. Dibawah
bukit itu, ada Danau Motonuno yang biasa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari
oleh masyarakat. Biasanya digunakan untuk memasak, mandi dan mencuci, kata La
Madi.
|
Danau Motonuno, di desa Lakarinta: Foto Laode Halaidin |
Selain
itu, di desa Lakarinta akan dibangun pabrik semen. Di bukit itu ada potensi
pertambangan batu gamping dan karst yang bisa diproduksi sebagai semen. Sudah
dirapatkan, tapi sampai sekarang masih bermasaalah. Lahan ada disini, yang
punya lahan juga orang-orang disini. Tapi ditanda tangani dan disetujui oleh
desa sebelah, dari desa sebelah. Ini akan menjadi masaalah kedepannya, kata La
Madi.
Jika
pabrik semen tersebut akan dibangun, tentu akan merusak Danau Motonuno dan perkebunan
masyarakat yang ada dibawah bukit. Ini tentu akan mempengaruhi kehidupan
masyarakat Lakarinta. Danau Motonuno dan juga hutan yang ada dibawah bukit itu
seharusnya dijaga dan dilestarikan, bukan dihancurkan. Para petani sangat
menggantungkan hidupnya dihutan-hutan itu dan Danau Motonuno.
Kehidupan
masyarakat Muna memang mayoritas bergelut pada sektor pertanian dan nelayan.
Pemerintah daerah perlu serius menangani dua sektor ini. Para petani dan
nelayan butuh uluran tangan dari pemerintah, bukan pengabaian, diabaikan.
Mereka tak bisa dibiarkan sendiri dalam mengarungi hidup.
Keberhasilan
mereka, bukan saja tersaji dalam bentuk data-data statistik yang dianggap
sukses, berhasil, tumbuh, berkembang dan lain sebagainya. Tetapi penyajiannya
perlu dalam bentuk fakta-fakta dilapangan. Kehidupan petani dan nelayan yang
sejahterah dalam bentuk data, biasanya berbeda jika kita mencoba telusuri fakta
dilapangan. Selama ini, kita kerap disajikan dengan data-data yang kebenarannya
masih perlu dipertanyakan.
Desa
Lakarinta bagi saya tidak terlepas dari itu. Yang perlu dilakukan adalah
merevolusi desa, mengembangkan dan menata segala potensi yang tersedia untuk
kepentingan dan kesejahteraan warga desa. Potensi sumber daya perlu untuk
dieskplorasi, tapi tidak untuk dieksploitasi yang sifatnya menghancurkan
ekosistem yang ada didalamnya.
***
Setelah
saya berkeliling dan berdiskusi dengan warga desa, ada yang menarik perhatian
saya di desa Lakarinta. Disini terdapat potensi ekowisata yang perlu
dikembangkan. Ada Pantai Maleura, yang panoramanya sangat memanjakan mata.
Pemandangannya indah, diapit oleh bukit-bukit dan hutan. Airnya jernih dan
terdapat batu karang-batu karang besar.
Bagi
warga sekitar, Pantai Maleura memiliki keunikan tersendiri. Banyak masyarakat
yang berkunjung bahkan dari mancanegara. Jika kita menyewa kapal dan keliling
disamping pantai, kita akan dimanjakan dengan pemandangan gua-gua.
Sejenak
saya melihat ada masyarakat yang sedang melakukan pemotretan untuk wedding,
pernikahan. Kalau hari-hari biasa itu memang kadang sepi. Pengunjungnya hanya
seperti ini, kecuali hari sesuda lebaran pengunjungnya banyak bahkan kendaraan
padat, mengantri hingga sekitar satu kilo, kata La Ida.
|
Salah Satu Pengunjung, sedang Melakukan Pemotretan Wedding: Foto Laode Halaidin |
|
Gadis Pantai Maleura: Foto Laode Halaidin |
|
Pemandangan Pantai Maleura: Foto Laode Halaidin |
|
Salah Satu Pengunjung, Adin: Foto Laode Halaidin |
Pantai
Maleura memang sungguh indah. Di dekat pantai ada rumah-rumah permukiman
wargah. Jika kita ingin bercerita mengenal Maleura lebih banyak lagi, kita bisa
mengunjungi rumah warga sekitar. Maleura juga sudah menjadi favorit kunjungan
warga Kabupaten Muna. Buat apa kita memotret ditempat lain, Pantai Maleura itu
sudah begitu indah, pemandangannya bagus, kata Ari yang sedang melakukan
pemotretan wedding.
Tapi
sungguh sayang, keindahan tidak disertai dengan pengelolaan yang memadai.
Pantai Maleura perlu dikembangkan dengan baik, untuk menarik perhatian
pengunjung. Infrastrukturnya perlu di tata, diperbaiki. Ini bisa menjadi salah
satu ikon Kab. Muna, tinggal bagaimana pemerintah mengelolanya, memberinya
perhatian.
***
Berjarak
sekitar lima kilo meter, saya kemudian mengunjungi Danau Napabale. Danau Napabale
terletak di desa Lohia. Saat saya menyusuri jalan, tampak kemiskinan juga
sangat nampak didepan mata. Tak jauh beda dengan gambaran masyarakat desa
Lakarinta.
Bahkan,
saya menemukan rumah seorang nenek yang sudah mau roboh, papan berlubang-lubang
dan atap sudah sangat banyak yang kebocoran. Rumah nenek itu, bukan lagi tempat
tinggal kategori layak. Ia sudah sepatutnya mendapatkan perhatian pemerintah
daerah, merenovasi rumah yang ia tinggali. Saya merenung sesaat, lalu berkata,
dimanakah pemerinta? Mengapa mereka tidak hadir, saat mereka sangat
membutuhkan?
Saat tiba
di Danau Napabale, kita langsung disuguhkan dengan pemandangan yang sangat
indah, airnya warna ke biru-biruan dan terletak di kaki bukit. Ada juga
terowongan alami yang bisa menembus tengah laut. Jika air sedang surut, maka
silahkan anda berselancar menuju terowongan. Namun jika air sedang pasang, maka
terowongan tak dapat terlihat , ditembus karena ditutupi dengan air. Inilah
yang menjadi daya tarik Danau Napabale.
|
Danau Napabale: Foto Laode Halaidin |
|
Anak gadis Belajar Berenang: Foto Laode Halaidin |
|
Anak Kecil yang Membawa Perahu: Foto Laode Halaidin |
|
Jasa Perahu Untuk Mengantar Pengunjung Danau Napabale: Foto Laode Halaidin |
Danau
Napabale sudah dikenal luas oleh masyarakat Muna sebagai tempat wisata. Biasanya
penuh sesak pengunjung saat sesudah lebaran. Untuk hari-hari biasa,
pengunjungnya juga tidak terlalu banyak. Bisanya didominasi oleh masyarakat
sekitar dan bagian Kota Raha.
Saya
melihat, ada berbagai jasa yang ditawarkan disini. Ada jasa perahu yang bisa
disewa berkeliling untuk menuju terowongan atau hanya sekedar melihat gua-gua
dipinggir laut, di bawah bukit. Sewanya pun sangat murah, 10 sampai 15 ribu
rupiah.
Tapi
sayang, saya tak bisa bercerita banyak dengan masyarakat. Danau Napabale tak
berpenghuni seperti di Pantai Maleura. Saya tak banyak mendapatkan mutiara
disini. Jauhnya lokasi dengan tempat tinggal warga, membuat Danau ini tampak seperti
sepih. Kita hanya bertemu dengan sesama pengunjung, yang sama-sama asing
tentang Danau.
***
Mengenai
tempat wisata, di Pulau Muna terdapat beberapa tempat wisata yang harus
mendapatkan perhatian serius, termasuk Danau Napabale, Pantai Maleura, Danau Moko, Danau Ubur-ubur dan Danau yang
baru ditemukan seperti Danau Randano Ghaghe, Danau Wawomata dan masih banyak
lagi.
Intinya,
semua perlu dukungan dari pemerintah daerah berupa infrastruktur yang memadai,
guna dapat meningkatkan pendapatan desa sekitar. Sebagai daerah kepulauan, maka
sudah saatnya Pulau Muna perlu perbaikan serius. Ia tak bisa lagi dibiarkan
tertidur pulas, sementara apa yang menjadi sumber potensi kekayaan alamnya
selalu meminta untuk dibangunkan.
Laode Halaidin
Kendari, 12 April 2017