Kisah Seorang Nelayan di Purirano

Ini adalah cerita saat saya bertemu dengan nelayan di purirano. Keadaan mereka penuh dengan ketidakadilan.

Kenangan di Puncak Terindah Buton Selatan

Ini adalah bentuk penghayatan, akan indahnya alam. Olehnya itu, alam harus dijaga dengan baik agar kita hidup dalam penuh damai dan tentram.

Menggeluti Ilmu di Perguruan Tinggi

Bersama dengan ilmu pengetahuan kita dapat maju, bergerak dan bersaing dengan pihak-pihak lain. Mari, kita dahulukan pendidikan kita.

Sebuah Perjalanan di Muna Barat

Kami mencari keadilan atas masyarakat yang selama ini teralienasi. Lahan-lahan mereka dipermainkan oleh elit-elit desa, mengeruk keuntungan dengan membodohi masyarakat. Kami menolak dan melawan.

Mencari Keindahan di Danau Maleura

Di danau ini, ada panorama keindahan, yang membuat pengunjung sangat menikmati suasana. Hawa dingin dan air yang jernih dan terdapat banyaknya gua-gua. Ini keren kan. Adanya hanya di Muna.

18 Desember 2016

Desaku Sayang, Desaku Malang

Balai Desa Wantiworo
Di ujung timur Sulawesi Tenggara terdapat desa-desa yang memiliki lahan pertanian yang sangat subur. Di setiap desa, saya menyaksikan betapa suburnya tanaman kebun para petani yang mereka tanam. Ada berbagai tanaman yang ditanami seperti tanaman jagung, cabai, terong dan tanaman kacang-kacangan lainnya.
Tetapi dibalik suburnya tanaman mereka, yang menjadi perhatian kita pada para petani/pekebun adalah kemiskinannya. Pagi, siang dan malam petani/pekebun merawat dan menjaga tanamannya. Namun, saat panen tiba mereka tak bisa apa-apa. Hasilnya tak seberapa, karena harga-harga tanaman yang mereka tanam hanya bernilai ribuan rupiah. Mereka juga sesekali mengurut dada saat panen tak ada hasil. Kata salah seorang petani yang mengalami gagal panen bercerita kepadaku, tahun itu, kami sangat kesusahan untuk makan dan kami juga tak bisa menghasilkan uang yang cukup.
Kebanyakan pendapatan petani hanya bersumber dari tanaman musiman itu, sehingga hasilnya tidak cukup untuk mengantarkan anak-anak mereka pada perguruan tinggi. Pendidikan anak-anak mereka terhenti ditengah jalan karena tak ada biaya. Anak-anak itu lalu memilih merantau menjadi TKI, TKW atau merantau di kota lainnya di Indonesia dan bekerja di bidang informal seperti kuli bangunan, pembantu rumah tanggga, buruh perkebunan, buruh kapal, sopir angkot dan lain sebagainya.
Nama desa ini adalah Desa Wantiworo. Jumlah kepala keluarganya berkisar sekitar 400-an kepala keluarga (KK). Mayoritas pekerjaan masyarakatnya rata-rata sebagai petani jagung dan kacang. Tanaman ini biasanya di tanam pada bulan Oktober masa panen Januari dan Maret masa panen Juni. Cara bertani mereka juga nomaden, berpinda-pindah tempat dengan membuka hutan-hutan baru, yang suda sekian tahun ditinggalkan.
Kesederhanaan dan ketertinggalan mereka sangat nampak di depan mata. Yang di pakai tak ada alat-alat yangg moderen, tak ada juga tanaman-tanaman yang berpenghasilan cukup yang di tanam. Masyarakat di sini berkebun dan bekerja hanya sekedar mencari makan, tak lebih dari itu. Kemiskinan semakin menggurita dan para orang tua menyerah dengan keadaan. Anak-anak mudanya banyak yang putus sekolah seperti daun yang berguguran di musim panas, lalu menjadi preman desa, jadi anak-anak nakal.
Dengan keadaan seperti ini, kehidupan masyarakatnya pun semakin hari, semakin sulit. Kita dapat membayangkan kemiskinan bercampur dengan pemuda-pemuda yang jadi preman, suka miras, berkelahi, merampok atau mencuri. Amburadulnya sebuah kehidupan dapat disaksikan di sini. Para pemuda preman mencuri hasil-hasil pertanian para petani dan sebagainya. Kehidupan petani semakin terhimpit dan teralienasi oleh keadaan. Petani/pekebun seperti terpenjara dalam kampungnya sendiri.
***
Banyak hal yang terjadi di sini, seperti keterbelakangan pengetahuan yang disertai dengan ego individual yang sangat kental dan tidak bisa bekerjasama. Dari kacamata saya, tak ada modal sosial yang dibangun di sini, masyarakatnya sangat individualis, jalan sendiri-sendiri. Tak ada juga rasa peduli sesama.
Yang lebih mengherankan, dibalik ketidakberdayaan pola pikir, ketidaktahuan, keterbelakangan dan ketertinggalan masyarakat, justru para elit desa semakin korup dengan memanfaatkan sumber daya desa untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Banyak masyarakat yang mendatangiku hanya sekedar bercerita bagaimana mereka dimanfaatkan elit-elit desa. Elit-elit desa itu bekerja dengan menekan dan membodohi masyarakat, mengatur berapa luas lahan masyarakat lalu diberikan ganti rugi yang tidak sesuai dengan luas lahan yang dimiliki. Elit desa menggunakan akal manipulatif, menekan demi mengeruk keuntungan pribadi dan kroni-kroninya.
Lalu, yang terjadi dengan masyarakat di sini, yang miskin kian terpuruk serta kemelaratan semakin mengungkungi dalam setiap sudut kehidupan mereka. Tak banyak perubahan yang terjadi. Bulir-bulir keringat bercucuran akibat kerja keras yang suda sekian tahun dilakukan namun tak ada hasil. Hanya kemiskinan dan keterbelakangan mental-lah yang dapat disaksikan di sini.
***
Memasuki zaman moderen atau era digital serta teknologi, informasi dan komunikasi yang sangat canggih, kehidupan masyarakat kita seharusnya suda beranjak pada kehidupan yang lebih baik, bukan sebaliknya terus jalan ditempat. Harus ada peningkatan kehidupan dari pra-sejahtera menjadi sejahtera, dari cukup menjadi berkecukupan dan dari ada menjadi berkeadaan.
Masyarakat kita seharusnya sudah dapat mengakses informasi dan komunikasi lewat teknologi, bagaimana kemudian untuk  menjadi petani yang sukses. Selain itu, pemerintah desa juga dapat memberikan pemahaman, bagaimana mengelola lahan pertanian yang efektif agar kemudian dapat menghasilkan panen yang melimpa.
Edukasi yang sifatnya mendidik dan memajukan pola pikir masyarakat tentu harus diutamakan. Tidak bisa pemerintah terus-terusan membiarkan masyarakat berjalan sendiri lalu, membuat masyarakat hidup tercerai-berai, terpisa-pisah. Petani/pekebun harus dibina, didampingi untuk kemudian dijadikan sebagai penggerak ekonomi pedesaan.
Bagaimana cara menggerakan ekonomi desa? Yang dilakukan tidak lain adalah memanfatkan Undang-Undang Desa nomor 6 tahun 2014, dengan menggunakan dana desa semaksimal mungkin untuk memajukan ekonomi masyarakat pedesaan. Bagaimana cara memanfaatkannya? Dana desa itu, dapat dipinjamkan kepada petani-petani yang kreatif, yang ingin memulai wirausaha. Namun, pertama yang perlu dilakukan di sini adalah membangun kelompok usaha tani. Dana usaha, bisa bersumber dari dana desa dengan status pinjaman. Desa juga dapat mendirikan bank desa untuk petani melalui APB-Des.
Yang diperlukan tentuya bukan saja membangun infrastruktur jalan pertanian, tetapi kelompok usaha tani pedesaan. Di sini atau mungkin semua wilayah pedesaan tidak bisa hanya bersandar pada jalan pertanian. Bagaimana mungkin ekonomi pedesaan bisa bergerak maju, jika masyarakat petani/pekebun menggunakan jalan itu hanya sekedar mencari makan. Bukan sebaliknya, dijadikan sebagai perintis jalan agar menjadi petani/pekebun yang sukses.
Seperti itulah yang terjadi dengan para petani/pekebun di sini, jalan pertanian hanya di gunakan untuk mencari makan saja. Olenya itu, Petani/pekebun di sini perlu ada upaya transformasi pemikiran, merevolusi desa dengan paradigma membangun dan menggerakan ekonomi desa. Tugas pemerintah desa hanya perlu memfasilitasi, mendampingi atau membimbing agar masyarakat dapat berkreatif dengan baik.
***
Aungan ‘kita kembali ke desa’ merupakan bentuk keprihatinan, bahwa desa kita saat ini masih terbelakang dan tertinggal, dimana masyarakatnya masih banyak yang terkungkung dalam kemiskinan. Tugas kita sebagai anak bangsa adalah ikut berkontribusi, berpatisipasi dalam menggerakan desa yang maju, desa yang makmur. Sedangkan untuk pemerintah desa perlu ada keterbukaan untuk berdiskusi dengan anak-anak muda, bukan menutup diri sebagaimana yang terjadi di sini. Jalannya bisa berbeda-beda, namun kita tetap mendahulukan kepentingan masyarakat desa kita.
Sekat-sekat dapat dibuang jauh-jauh. Kita perlu berangkulan demi menatap masa depan desa yang makmur nan jaya. Kita harus sejalan beriringan, agar desa tumbuh berkembang dengan senyum dalam keharmonisan. Jika tidak, maka desa hanya akan menjadi racun dan berkembangnya para iblis irasional. Merekalah yang akan mengeruk desa untuk kepentingan pribadi. Jika demikian yang terjadi, maka ‘desaku sayang, desaku malang’ sangat layak untuk diungkapkan.
                                                                                     Muna, 18 Desember 2016