19 Oktober 2016

Mencari Manusia Politik Asketis

Sumber dari: fajar-kurnianto.blogspot.com
Dalam bukunya “Bandit-Bandit Segala Bidang” M Alfan Alfian menulis salah satu tulisan yang sangat kekinian tentang “Menuju Kesalehan Politik”. Dalam tulisannya itu ia mencatat, disemua level pemerintahan dari tingkat desa hingga nasional, demokrasi langsung hadir dengan sejumlah potensi daya rusak pragmatisnya. Otentitas kesalehan sosial, baginya selalu dihadapkan dengan pragmatisme politik. Ketika pemilu semata-semata merupakan pasar bebas politik, maka para pemodal besarlah yang berpeluang memenangkan dukungan pragmatis. Kemenangan ini pun biasanya selalu meninggalkan luka-luka sosial yang serius.
Demokrasi langsung kemudian menjadi kehilangan makna sebagai proses politik untuk mewujudkan kemaslahatan bersama. Politisi yang terkungkung dengan sikap pragmatis, lalu meleburkan diri kedalam perang politik uang (money politics), kampanye hitam dan meminjam istilah M Alfan Alfian, memakai jalan pintas dengan tembusan peluru logistik materi.
Disaat seperti inilah demokrasi langsung diturunkan martabatnya hanya sekedar mencari kerja atau pelibatan diri dalam proses politik hanya untuk mencari jabatan. Bukan sebaliknya, terlibat dalam proses politik sebagaimana yang di katakan Aristoteles untuk menciptakan kebaikan bersama.
Dengan melihat berbagai kenyataan ini, kita patut mempertanyakan, apakah politisi seperti itu yang terlibat dalam demokrasi langsung bisa melahirkan kebijakan untuk mensejahterakan masyarakat di akar rumput? Semua tergantung pada politisinya. Tetapi pada kenyataannya, politisi-politisi yang terlibat dalam politik uang (money politics) atau tembusan peluru logistik materi, biasanya akan berusaha untuk mengembalikan uangnya dengan berbagai macam cara, lalu meraup keuntungan. Hal ini mengindikasikan bahwa politisi seperti itu tidak menggambarkan sebagai manusia politik.
Menurut Imran Hasibuan, manusia politik adalah manusia yang bertindak secara serius dan bertanggungjawab terhadap masaalah publik. Selain itu, manusia politik juga selalu menghindari hasrat untuk menyilaukan orang dengan tindakan untuk eksistensi diri dengan menegasikan formalitas sistem. Ia senantiasa memaknai berpolitik untuk mempertinggi kemuliaan manusia. Tindakan politik bermakna, kata Imran, sejauh ia menjadi sarana manusia untuk mewujudkan kemanusiaannya.
Tapi tindakan para politisi sekarang ini semakin jauh dari harapan publik. Akhir-akhir ini, kita dipertontonkan dengan adegan-adegan dimana para politisi baik di level daerah hingga nasional terlibat dalam praktek korupsi. Modus-modus yang dilakukannya pun berbeda-beda. Ada yang menyalahgunakan wewenang, misalnya dengan membuat kebijakan untuk kepentingan pribadi, kelompok dan kolega-kolega politiknya. Ada juga yang memanfaatkan jabatannya dengan memeras para pengusaha, untuk memuluskan proyek-proyek yang ada. Atau para pengusaha menyogok para politisi, kepala daerah yang ‘ijon proyek dan lain sebagainya.
Dalam situasi ini, kini para politisi selalu diperhadapkan dengan serba pragmatis. Kekuasaan yang diselimuti dengan penuh godaan dan nafsu akan keserakahan. Memang, jabatan serta kekuasaan itu sangat menggiurkan. Orang-orang yang memiliki kekuasaan dapat melakukan apapun sesuai dengan apa yang dikehendaki.
Namun, jabatan yang hanya dianggap sebagai kekuasaan, hanya akan menimbulkan ketidakberdayaan dalam hidup masyarakat. Yang akan terjadi adalah penguasa yang hedonisme; kehidupan yang berfoya-foya, konsumerisme, dengan memanfaatkan berbagai macam cara untuk mengeruk kekayaan pribadi. Lalu, kita seakan mengaminkan pendapat seorang ahli politik Lord Acton, bahwa kekuasaan memang cenderung untuk menjadi korup dan kekuasaan mutlak akan menjadi korup secara mutlak pula.
Penguasa yang demikian, memang nalurinya hanya ingin membangun sebuah kejayaan; kemewahan serta kekayaan akan harta benda. Semua diinginkan serba instan seperti Bandung Bondowoso membangun Candi Prambanan dalam waktu semalam. Ingin cepat kaya, karena adanya tuntutan selera ekonomi yang sangat tinggi. Misalnya, sudah punya mobil lima, ingin sepuluh mobil, sudah punya uang puluhan miliar, ingin ratusan miliar dan jika sudah punya beberapa rumah mewah, ia ingin mengoleksi rumah-rumah mewah. Ada naluri yang terbersit dalam diri politisi seperti itu, kuasa akan keserakahan, bukan tanggungjawab pada rakyatnya, apalagi kesalehan dalam berpolitik.
Lalu, masyarakat diperhadapkan dengan para politisi yang kehilangan moral. Dan kepada siapa lagi rakyat kecil di bangsa ini berharap!
Pada saat inilah seharusnya muncul manusia politik yang asketis. Manusia Politik asketis bukan berarti harus menderita secara fisik dalam memperjuangkan politiknya, tetapi bagaimana ia memperjuangkan politiknya dengan cara-cara yang rasional. Tidak meniru cara-cara politik dengan bungkusan materi atau hal lainnya, yang dapat menurunkan martabat politiknya. Tidak juga dengan memanfaatkan jabatan dengan mengeksekusi kebijakan untuk kepentingan diri sendiri, kelompok dan partainya.
Asketisme politik senantiasa membimbing seorang politisi dengan tidak pantang menyerah, berani berkorban untuk sebuah cita-cita politik yang ingin diwujudkannya. Manusia politik asketis juga tidak selalu berjalan atau berhadapan dengan rel politik yang mulus, tetapi berliku, berkerikil, namun tidak pernah goyah demi konsistensi politik yang diperjuangkannya.
Kata Haji Agus Salim, seorang pemimpin itu sebenarnya menderita. Seperti itulah sesungguhnya hakikat untuk manusia politik asketis, pemimpin yang ikut mengarungi jalan penderitaan. Namun, menderita disini bukan menderita secara fisik atau pemimpin yang harus jatuh miskin, tetapi terkait dengan konsistensi dan kesungguh-sungguhan dalam mewujudkan agenda-agenda politiknya.
Pemimpin asketis biasanya menjadi tumpuan atau harapan masyarakat banyak, di zaman yang serba pragmatis ini. Pemimpin asketis bukan saja yang terkait dengan tampilan, pencitraan, visi, idealisme tetapi cara-cara dalam berpolitik. Pemimpin yang asketis adalah manusia politik yang berangkat dari keprihatinan sosial, kemiskinan dari kaum papa lalu membuat kebijakan politik dan ekonomi yang memihak mereka. Pemimpin asketis membuat kebijakan yang bebas dari pengaruh materi dengan cara disogok untuk kepentingan orang-seorang, tetapi dengan sebaliknya ia membuat kebijakan untuk kepentingan masyarakat luas. Inilah wujud kesalehan politik dari manusia politik asketis, menciptakan kebijakan yang lebih adil untuk mentransfomasi kehidupan masyarakat di akar rumput.
Hakikatnya, manusia politik asketis adalah pemimpin yang memperjuangkan agenda-agenda politiknya untuk kemaslahatan umat, tetapi dengan tidak muda. Ada banyak rintangan yang dihadapi, termasuk berani berbenturan dengan kepentingan yang hendak menjatuhkan cita-cita politiknya. Cita-cita politik itu bukan untuk kepentingan entitas-entitas politik atau bisnis orang-orang tertentu, tetapi demi kemaslahatan masyarakat kecil yang selama ini masih berada dalam lingkaran setan kemiskinan.
Maka, manusia politik asketis itu sesungguhnya adalah manusia politik yang arif, bijak dan selalu menunjukan kesalehan berpolitik. Kata, Abraham Lincoln “Nearly all men can stand adversity, but if you want to test a man’s character, give him power”. Ketika Abraham Lincoln menempatkan kekuasaan sebagai ujian, apakah seseorang akan menjadi pemimpin sejati atau tidak saat diberi kekuasaan, maka hanya manusia politik asketisme-lah yang tahan godaan akan kuasa keserakahan itu.
Olehnya itu, mari kita istrahat sejenak, berpikir sejenak dan terangkan mata batin. Lihatlah para politisi disekelilingmu, apakah mereka manusia politik sejati atau bukan. Bukankah, kita tidak ingin asal-asalan memiliki seorang pemimpin!


                                                                                    Kendari, 19-10-2016
                                                                                    Laode Halaidin

0 komentar:

Posting Komentar