Sumber dari: fajar-kurnianto.blogspot.com |
Demokrasi langsung kemudian menjadi
kehilangan makna sebagai proses politik untuk mewujudkan kemaslahatan bersama.
Politisi yang terkungkung
dengan sikap pragmatis, lalu meleburkan diri kedalam perang politik uang (money
politics), kampanye hitam dan meminjam istilah M Alfan Alfian, memakai jalan
pintas dengan tembusan peluru logistik materi.
Disaat
seperti inilah demokrasi
langsung
diturunkan martabatnya hanya sekedar mencari kerja atau pelibatan diri dalam proses politik hanya untuk mencari
jabatan. Bukan
sebaliknya, terlibat dalam proses politik sebagaimana yang
di katakan Aristoteles untuk
menciptakan
kebaikan bersama.
Dengan
melihat berbagai kenyataan ini, kita patut mempertanyakan, apakah politisi
seperti itu yang terlibat dalam demokrasi langsung bisa melahirkan kebijakan
untuk mensejahterakan masyarakat di
akar
rumput? Semua tergantung
pada politisinya. Tetapi pada
kenyataannya, politisi-politisi yang terlibat dalam politik uang (money
politics) atau tembusan peluru logistik materi, biasanya akan berusaha untuk
mengembalikan uangnya dengan berbagai macam cara, lalu meraup keuntungan. Hal ini
mengindikasikan bahwa politisi seperti itu tidak menggambarkan sebagai manusia
politik.
Menurut Imran Hasibuan, manusia politik adalah manusia
yang bertindak secara serius dan bertanggungjawab terhadap masaalah publik. Selain
itu, manusia politik juga selalu menghindari hasrat untuk menyilaukan orang
dengan tindakan untuk eksistensi diri dengan menegasikan formalitas sistem. Ia
senantiasa memaknai berpolitik untuk mempertinggi kemuliaan manusia. Tindakan
politik bermakna, kata Imran, sejauh ia menjadi sarana manusia untuk mewujudkan
kemanusiaannya.
Tapi tindakan para politisi sekarang ini semakin jauh
dari harapan publik. Akhir-akhir ini, kita dipertontonkan dengan
adegan-adegan dimana para politisi baik di level daerah hingga nasional terlibat
dalam praktek korupsi. Modus-modus yang dilakukannya pun berbeda-beda. Ada yang
menyalahgunakan wewenang, misalnya dengan membuat kebijakan untuk kepentingan
pribadi, kelompok dan kolega-kolega politiknya. Ada juga yang memanfaatkan
jabatannya dengan memeras para pengusaha, untuk memuluskan proyek-proyek yang ada.
Atau para pengusaha menyogok para politisi, kepala daerah yang ‘ijon proyek’ dan lain sebagainya.
Dalam situasi ini, kini
para
politisi selalu diperhadapkan dengan serba pragmatis. Kekuasaan yang diselimuti dengan penuh godaan dan
nafsu akan keserakahan. Memang, jabatan serta kekuasaan itu sangat menggiurkan. Orang-orang yang memiliki kekuasaan dapat melakukan
apapun sesuai dengan apa yang dikehendaki.
Namun, jabatan yang hanya dianggap
sebagai kekuasaan, hanya akan
menimbulkan ketidakberdayaan dalam hidup masyarakat. Yang akan terjadi adalah penguasa
yang hedonisme;
kehidupan yang berfoya-foya,
konsumerisme, dengan memanfaatkan berbagai macam cara untuk mengeruk
kekayaan pribadi. Lalu, kita seakan
mengaminkan pendapat seorang ahli politik Lord Acton, bahwa kekuasaan memang
cenderung untuk menjadi korup dan kekuasaan mutlak akan menjadi korup secara
mutlak pula.
Penguasa yang demikian, memang nalurinya hanya ingin membangun
sebuah kejayaan; kemewahan serta kekayaan akan harta benda. Semua diinginkan
serba instan seperti Bandung Bondowoso membangun Candi Prambanan dalam waktu semalam. Ingin cepat kaya, karena
adanya tuntutan selera ekonomi yang sangat tinggi. Misalnya, sudah
punya mobil lima, ingin sepuluh mobil, sudah punya uang puluhan miliar, ingin
ratusan miliar dan jika sudah punya beberapa rumah mewah, ia ingin mengoleksi
rumah-rumah mewah. Ada naluri
yang terbersit dalam diri politisi seperti itu, kuasa akan keserakahan, bukan
tanggungjawab pada rakyatnya, apalagi kesalehan dalam berpolitik.
Lalu,
masyarakat diperhadapkan dengan para politisi yang kehilangan moral. Dan kepada
siapa lagi rakyat kecil di bangsa ini berharap!
Pada
saat inilah seharusnya muncul manusia
politik yang
asketis. Manusia Politik asketis bukan berarti harus
menderita secara fisik dalam memperjuangkan politiknya, tetapi bagaimana ia
memperjuangkan politiknya dengan cara-cara yang rasional. Tidak meniru cara-cara
politik dengan bungkusan materi atau hal lainnya, yang dapat menurunkan
martabat politiknya. Tidak juga dengan memanfaatkan jabatan dengan mengeksekusi
kebijakan untuk kepentingan diri sendiri, kelompok dan partainya.
Asketisme
politik senantiasa membimbing seorang politisi dengan tidak pantang menyerah,
berani berkorban untuk sebuah cita-cita politik yang ingin diwujudkannya. Manusia politik asketis juga tidak selalu berjalan atau
berhadapan dengan rel politik yang mulus, tetapi berliku, berkerikil, namun
tidak pernah goyah demi konsistensi politik yang diperjuangkannya.
Kata Haji Agus Salim, seorang pemimpin itu sebenarnya menderita.
Seperti itulah sesungguhnya hakikat untuk manusia politik asketis, pemimpin
yang ikut mengarungi jalan penderitaan. Namun, menderita disini bukan menderita
secara fisik atau pemimpin yang harus jatuh miskin, tetapi terkait dengan
konsistensi dan kesungguh-sungguhan dalam mewujudkan agenda-agenda politiknya.
Pemimpin asketis biasanya menjadi tumpuan atau harapan
masyarakat banyak, di zaman yang serba pragmatis ini. Pemimpin asketis bukan
saja yang terkait dengan tampilan, pencitraan, visi, idealisme tetapi cara-cara
dalam berpolitik. Pemimpin yang asketis adalah manusia politik yang berangkat
dari keprihatinan sosial, kemiskinan dari kaum papa lalu membuat kebijakan
politik dan ekonomi yang memihak mereka. Pemimpin asketis membuat kebijakan
yang bebas dari pengaruh materi dengan cara disogok untuk kepentingan
orang-seorang, tetapi dengan sebaliknya ia membuat kebijakan untuk kepentingan
masyarakat luas. Inilah wujud kesalehan politik dari manusia politik asketis,
menciptakan kebijakan yang lebih adil untuk mentransfomasi kehidupan masyarakat
di akar rumput.
Hakikatnya, manusia politik asketis adalah pemimpin
yang memperjuangkan agenda-agenda politiknya untuk kemaslahatan umat, tetapi
dengan tidak muda. Ada banyak rintangan yang dihadapi, termasuk berani
berbenturan dengan kepentingan yang hendak menjatuhkan cita-cita politiknya. Cita-cita
politik itu bukan untuk kepentingan entitas-entitas politik atau bisnis
orang-orang tertentu, tetapi demi kemaslahatan masyarakat kecil yang selama ini
masih berada dalam lingkaran setan kemiskinan.
Maka, manusia politik asketis itu sesungguhnya adalah
manusia politik yang arif, bijak dan selalu menunjukan kesalehan berpolitik. Kata,
Abraham Lincoln “Nearly all men can stand adversity, but if you want to test a
man’s character, give him power”. Ketika Abraham Lincoln menempatkan kekuasaan
sebagai ujian, apakah seseorang akan menjadi pemimpin sejati atau tidak saat
diberi kekuasaan, maka hanya manusia politik asketisme-lah yang tahan godaan
akan kuasa keserakahan itu.
Olehnya itu, mari kita istrahat sejenak, berpikir
sejenak dan terangkan mata batin. Lihatlah para politisi disekelilingmu, apakah
mereka manusia politik sejati atau bukan. Bukankah, kita tidak ingin
asal-asalan memiliki seorang pemimpin!
Kendari, 19-10-2016
Laode
Halaidin
0 komentar:
Posting Komentar