Kisah Seorang Nelayan di Purirano

Ini adalah cerita saat saya bertemu dengan nelayan di purirano. Keadaan mereka penuh dengan ketidakadilan.

Kenangan di Puncak Terindah Buton Selatan

Ini adalah bentuk penghayatan, akan indahnya alam. Olehnya itu, alam harus dijaga dengan baik agar kita hidup dalam penuh damai dan tentram.

Menggeluti Ilmu di Perguruan Tinggi

Bersama dengan ilmu pengetahuan kita dapat maju, bergerak dan bersaing dengan pihak-pihak lain. Mari, kita dahulukan pendidikan kita.

Sebuah Perjalanan di Muna Barat

Kami mencari keadilan atas masyarakat yang selama ini teralienasi. Lahan-lahan mereka dipermainkan oleh elit-elit desa, mengeruk keuntungan dengan membodohi masyarakat. Kami menolak dan melawan.

Mencari Keindahan di Danau Maleura

Di danau ini, ada panorama keindahan, yang membuat pengunjung sangat menikmati suasana. Hawa dingin dan air yang jernih dan terdapat banyaknya gua-gua. Ini keren kan. Adanya hanya di Muna.

26 Oktober 2016

Aku Tidak di Sini

Hari-hariku seperti kelabu, nampak tak terang
Tidak ada malam, hari ini
Tidak merasakan siang kemarin
Aku sendirian di sini
dan kupeluk tubuhku sendiri.

Aku, antara di sini dan tidak di sini
Tiap hari, bagai pesakitan menghitung hari
Semua orang begitu asing didekatku
Tak mengenal mereka yang lalu-lalang.

Karena aku tidak di sini
Aku jauh, yang ingin terbang mengangkasa
Menerawang dingin bersama malam.

Oh, sungguh dunia
Aku menggigil dan mulai merasakannya
Engkau datang bersama dengan hembusan angin
Menusuk dan mulai menusukku lagi.

19 Oktober 2016

Mencari Manusia Politik Asketis

Sumber dari: fajar-kurnianto.blogspot.com
Dalam bukunya “Bandit-Bandit Segala Bidang” M Alfan Alfian menulis salah satu tulisan yang sangat kekinian tentang “Menuju Kesalehan Politik”. Dalam tulisannya itu ia mencatat, disemua level pemerintahan dari tingkat desa hingga nasional, demokrasi langsung hadir dengan sejumlah potensi daya rusak pragmatisnya. Otentitas kesalehan sosial, baginya selalu dihadapkan dengan pragmatisme politik. Ketika pemilu semata-semata merupakan pasar bebas politik, maka para pemodal besarlah yang berpeluang memenangkan dukungan pragmatis. Kemenangan ini pun biasanya selalu meninggalkan luka-luka sosial yang serius.
Demokrasi langsung kemudian menjadi kehilangan makna sebagai proses politik untuk mewujudkan kemaslahatan bersama. Politisi yang terkungkung dengan sikap pragmatis, lalu meleburkan diri kedalam perang politik uang (money politics), kampanye hitam dan meminjam istilah M Alfan Alfian, memakai jalan pintas dengan tembusan peluru logistik materi.
Disaat seperti inilah demokrasi langsung diturunkan martabatnya hanya sekedar mencari kerja atau pelibatan diri dalam proses politik hanya untuk mencari jabatan. Bukan sebaliknya, terlibat dalam proses politik sebagaimana yang di katakan Aristoteles untuk menciptakan kebaikan bersama.
Dengan melihat berbagai kenyataan ini, kita patut mempertanyakan, apakah politisi seperti itu yang terlibat dalam demokrasi langsung bisa melahirkan kebijakan untuk mensejahterakan masyarakat di akar rumput? Semua tergantung pada politisinya. Tetapi pada kenyataannya, politisi-politisi yang terlibat dalam politik uang (money politics) atau tembusan peluru logistik materi, biasanya akan berusaha untuk mengembalikan uangnya dengan berbagai macam cara, lalu meraup keuntungan. Hal ini mengindikasikan bahwa politisi seperti itu tidak menggambarkan sebagai manusia politik.
Menurut Imran Hasibuan, manusia politik adalah manusia yang bertindak secara serius dan bertanggungjawab terhadap masaalah publik. Selain itu, manusia politik juga selalu menghindari hasrat untuk menyilaukan orang dengan tindakan untuk eksistensi diri dengan menegasikan formalitas sistem. Ia senantiasa memaknai berpolitik untuk mempertinggi kemuliaan manusia. Tindakan politik bermakna, kata Imran, sejauh ia menjadi sarana manusia untuk mewujudkan kemanusiaannya.
Tapi tindakan para politisi sekarang ini semakin jauh dari harapan publik. Akhir-akhir ini, kita dipertontonkan dengan adegan-adegan dimana para politisi baik di level daerah hingga nasional terlibat dalam praktek korupsi. Modus-modus yang dilakukannya pun berbeda-beda. Ada yang menyalahgunakan wewenang, misalnya dengan membuat kebijakan untuk kepentingan pribadi, kelompok dan kolega-kolega politiknya. Ada juga yang memanfaatkan jabatannya dengan memeras para pengusaha, untuk memuluskan proyek-proyek yang ada. Atau para pengusaha menyogok para politisi, kepala daerah yang ‘ijon proyek dan lain sebagainya.
Dalam situasi ini, kini para politisi selalu diperhadapkan dengan serba pragmatis. Kekuasaan yang diselimuti dengan penuh godaan dan nafsu akan keserakahan. Memang, jabatan serta kekuasaan itu sangat menggiurkan. Orang-orang yang memiliki kekuasaan dapat melakukan apapun sesuai dengan apa yang dikehendaki.
Namun, jabatan yang hanya dianggap sebagai kekuasaan, hanya akan menimbulkan ketidakberdayaan dalam hidup masyarakat. Yang akan terjadi adalah penguasa yang hedonisme; kehidupan yang berfoya-foya, konsumerisme, dengan memanfaatkan berbagai macam cara untuk mengeruk kekayaan pribadi. Lalu, kita seakan mengaminkan pendapat seorang ahli politik Lord Acton, bahwa kekuasaan memang cenderung untuk menjadi korup dan kekuasaan mutlak akan menjadi korup secara mutlak pula.
Penguasa yang demikian, memang nalurinya hanya ingin membangun sebuah kejayaan; kemewahan serta kekayaan akan harta benda. Semua diinginkan serba instan seperti Bandung Bondowoso membangun Candi Prambanan dalam waktu semalam. Ingin cepat kaya, karena adanya tuntutan selera ekonomi yang sangat tinggi. Misalnya, sudah punya mobil lima, ingin sepuluh mobil, sudah punya uang puluhan miliar, ingin ratusan miliar dan jika sudah punya beberapa rumah mewah, ia ingin mengoleksi rumah-rumah mewah. Ada naluri yang terbersit dalam diri politisi seperti itu, kuasa akan keserakahan, bukan tanggungjawab pada rakyatnya, apalagi kesalehan dalam berpolitik.
Lalu, masyarakat diperhadapkan dengan para politisi yang kehilangan moral. Dan kepada siapa lagi rakyat kecil di bangsa ini berharap!
Pada saat inilah seharusnya muncul manusia politik yang asketis. Manusia Politik asketis bukan berarti harus menderita secara fisik dalam memperjuangkan politiknya, tetapi bagaimana ia memperjuangkan politiknya dengan cara-cara yang rasional. Tidak meniru cara-cara politik dengan bungkusan materi atau hal lainnya, yang dapat menurunkan martabat politiknya. Tidak juga dengan memanfaatkan jabatan dengan mengeksekusi kebijakan untuk kepentingan diri sendiri, kelompok dan partainya.
Asketisme politik senantiasa membimbing seorang politisi dengan tidak pantang menyerah, berani berkorban untuk sebuah cita-cita politik yang ingin diwujudkannya. Manusia politik asketis juga tidak selalu berjalan atau berhadapan dengan rel politik yang mulus, tetapi berliku, berkerikil, namun tidak pernah goyah demi konsistensi politik yang diperjuangkannya.
Kata Haji Agus Salim, seorang pemimpin itu sebenarnya menderita. Seperti itulah sesungguhnya hakikat untuk manusia politik asketis, pemimpin yang ikut mengarungi jalan penderitaan. Namun, menderita disini bukan menderita secara fisik atau pemimpin yang harus jatuh miskin, tetapi terkait dengan konsistensi dan kesungguh-sungguhan dalam mewujudkan agenda-agenda politiknya.
Pemimpin asketis biasanya menjadi tumpuan atau harapan masyarakat banyak, di zaman yang serba pragmatis ini. Pemimpin asketis bukan saja yang terkait dengan tampilan, pencitraan, visi, idealisme tetapi cara-cara dalam berpolitik. Pemimpin yang asketis adalah manusia politik yang berangkat dari keprihatinan sosial, kemiskinan dari kaum papa lalu membuat kebijakan politik dan ekonomi yang memihak mereka. Pemimpin asketis membuat kebijakan yang bebas dari pengaruh materi dengan cara disogok untuk kepentingan orang-seorang, tetapi dengan sebaliknya ia membuat kebijakan untuk kepentingan masyarakat luas. Inilah wujud kesalehan politik dari manusia politik asketis, menciptakan kebijakan yang lebih adil untuk mentransfomasi kehidupan masyarakat di akar rumput.
Hakikatnya, manusia politik asketis adalah pemimpin yang memperjuangkan agenda-agenda politiknya untuk kemaslahatan umat, tetapi dengan tidak muda. Ada banyak rintangan yang dihadapi, termasuk berani berbenturan dengan kepentingan yang hendak menjatuhkan cita-cita politiknya. Cita-cita politik itu bukan untuk kepentingan entitas-entitas politik atau bisnis orang-orang tertentu, tetapi demi kemaslahatan masyarakat kecil yang selama ini masih berada dalam lingkaran setan kemiskinan.
Maka, manusia politik asketis itu sesungguhnya adalah manusia politik yang arif, bijak dan selalu menunjukan kesalehan berpolitik. Kata, Abraham Lincoln “Nearly all men can stand adversity, but if you want to test a man’s character, give him power”. Ketika Abraham Lincoln menempatkan kekuasaan sebagai ujian, apakah seseorang akan menjadi pemimpin sejati atau tidak saat diberi kekuasaan, maka hanya manusia politik asketisme-lah yang tahan godaan akan kuasa keserakahan itu.
Olehnya itu, mari kita istrahat sejenak, berpikir sejenak dan terangkan mata batin. Lihatlah para politisi disekelilingmu, apakah mereka manusia politik sejati atau bukan. Bukankah, kita tidak ingin asal-asalan memiliki seorang pemimpin!


                                                                                    Kendari, 19-10-2016
                                                                                    Laode Halaidin

07 Oktober 2016

Kisah Seorang Nelayan dan Cerita Politik Kita

La Aco Sedang Memperhatikan Perahunya
Di Jazirah Sulawesi Tenggara, Kota Kendari terdapat kisah yang menginspirasi dari kehidupan seorang nelayan. Keseharian hidupnya hanya bergantung di laut dengan perahu rapuh yang ia miliki. Ia berlayar dari satu pulau ke pulau yang lain. Ia tak punya kemampuan finansial untuk membeli sebuah kapal nelayan modern penangkap ikan.

Ia berusaha membuat kapal nelayan sendiri, lalu ia belikan mesin. Setiap bantuan dari pemerintah setempat datang, ia tak kebagian. Justru orang-orang yang dekat dengan pemerintah setempatlah yang mendapatkan bantuan itu. Namun dibalik ketidakadilan itu, ia tetap berusaha untuk mengarungi hidup dilautan sana.

Memasuki masa reformasi yang suda berusia 18 tahun, harapan untuk kehidupan yang lebih baik itu masih ada. Ia tetap percaya pada pemerintah. Seorang pemimpin kepala daerah yang terpilih dalam pemilu hasil pilihan rakyat, akan memberikan perubahan besar jika tidak masuk dalam perang politik uang.

Tetapi jika tidak dan tetap memilih terlibat dalam perang pragmatisme-transaksional, perubahan itu akan pupus. Rakyatlah yang akan menelan kepahitan itu. Katanya, mereka yang berkuasa seperti itu hanya mementingkan kelompoknya saja, sementara kesejahteraan rakyat miskin tidak akan pernah dihiraukan.

Saya membayangkan betapa sulitnya kehidupan mereka. Ia kemudian menuturkan bahwa sebenarnya ia tidak ingin selamanya bergantung dengan pemerintah. Namun dibalik ketidakinginan itu, ia berharap dapat mendapatkan hak  dan keadilan sebagai masyarakat miskin.

La Aco Yang Sedang Istrahat
Katanya, saya melihat sendiri, pemerintah kita jika ada bantuan justru pilih kasih. Mengapa justru mereka yang mampu mendapatkan bantuan itu, sedangkan kami tidak. Ia curiga adanya nepotisme karena setiap bantuan ada seperti kapal penangkap ikan dan listrik yang mendapatkannya justru kebanyakan dari keluarga yang dianggap mampu. Ini tidak adil, tuturnya.

***
Saya bertemu seorang nelayan itu di Purirano, sebuah kampung kecil di pinggiran kota Kendari. Setelah ia hendak menyandarkan perahunya dipinggir laut, ia menerima ajakan saya untuk bercerita banyak hal. Ia masuk kedalam rumahnya untuk membersihkan diri dan mengganti pakayannya, setelah itu ia berbagi informasi. Ia menuturkan bahwa di setiap pemilu ia selalu pergi ke bilik suara untuk memilih calon pilihannya. Ia memaknai pemilu sebagai momentum untuk memilih pemimpin yang baik. 

Dengan itu, ia tidak pernah berhalangan untuk memilih. Entah pilihannya itu menang atau kalah. Yang terpenting baginya tidak melakukan golput. Ia memilih sesuai dengan hati nuraninya, tidak dengan diberi imbalan apapun seperti sembako atau uang. Baginya, politik kian buruk jika disusupi dengan uang atau yang lainnya lalu memilihnya. Politisi seperti itu akan mencari cara bagaimana uangnya kembali jika ia akan terpilih dan ujung-ujungnya ia akan korupsi, katanya.

Nama lelaki itu adalah La Aco. Ia berumur sekitar 56 tahun. Sehari-hari ia bekerja sebagai nelayan. Dengan perahunya yang kelihatan rapuh, ia bergerak menantang hidup dengan mengarungi gelombang lautan dan hembusan angin. Ia memaknai hidupnya seperti perahu, harus bergerak, melaju meskipun betapa derasnya ombak menghantam dan angin menerjang. Ia mempunyai tanggungjawab untuk memberi makan keluarganya. 

Bukan saja anak dan istrinya tetapi kedua orang tuanya yang suda tua. Dengan pertimbangan itu, ia tak pernah takut dengan derasnya ombak dan kerasnya badai. Lagian kami tidak akan jadi apa-apa. Kami juga tidak akan mendapatkan apa-apa kalau kami tidak berusaha dengan sendiri, katanya.

Setelah itu, ia juga menceritakan, bagaimana para politisi berlagak sok perhatian saat dekat-dekat dengan pemilu. Saat politisi berkepentingan untuk mendulang suara, kampungnya yang kecil itu didatangi, menyapa dan berjabat tangan dengan masyarakat. Terkadang juga politisi memberi sembako dan uang agar masyarakat dapat memilihnya. Politisi seperti ini saat mereka terpilih, tentunya mencari berbagai macam cara untuk mengembalikan uang yang mereka keluarkan dan meraup keuntungan. Politik kemudian diturunkan martabatnya dan dijadikan sebagai pasar dengan pertukaran minus ideologi. Politik hanya dijadikan sebagai kehendak untuk mendapatkan kuasa. 

Makna politik kian kosong dan tak berarah, jika politik hanya dimaknai sebagai kekuasaan semata. Politik yang merupakan ciri peradaban untuk mempertinggi peradaban manusia, akan menemui momentum kehilangan arah. Entah ia akan disapuh badai atau digulung ombak dilautan lepas. Namun, hilangnya tujuan politik yang sebenarnya karena sikap pragmatis politisi kita. Politisi yang pragmatis, jauh dari kata manusia politik yang kemudian bertindak dan bertanggungjawab terhadap masaalah publik. 

Politisi seperti ini merupakan manusia pedagang politik yang berlogika-kan untung-rugi. Ia berusaha masuk dalam politik hanya untuk mencari kerja bukan sebaliknya memperjuangkan kemaslahatan umat.

***
Menghadapi momentum pemilihan walikota, ia bercerita bagaimana kemudian para calon yang terpilih tergerak hatinya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di akar rumput. Meskipun ia hanya sebagai nelayan, ia tetap mengikuti perkembangan politik di daerah Kendari. Ia banyak mendengarkan perkembangan politik di Kendari bersama masyarakat setempat. Bersama para nelayan, kadang ia menjadi pendengar yang baik lalu menyimpulkan sendiri cerita-cerita itu setelah pulang ke rumahnya yang reyot. 

Ia berkisah kepada saya, bagaimana partai politik seharusnya tidak hanya memberikan dukungan asal-asalan saja pada calon walikota. Selain itu, partai politik juga tidak hanya punya nafsu untuk menang-menangan saja lalu berkuasa. Harusnya ada pertimbangan, seleksi yang seketat-ketatnya.
Jangan karena terkenal lewat baliho-balihonya yang besar, lalu diberi dukungan. Intinya supaya daerah kita menghasilkan kepala daerah yang punya pikiran, yang memikirkan kebaikan masyarakat banyak terutama masyarakat petani dan nelayan, katanya.

Pada intinya tujuan  politik yang sebenarnya adalah tentang kemaslahatan umat. Politik juga adalah tentang pemikiran, gagasan, argumentasi dan kebijakan. Nelayan dan para petani tidak dapat dibiarkan bergerak atau berusaha sendiri dalam mengarungi hidup. 

Dengan demikian, perlu ada campur tangan politik untuk kemudian menggerakan gairah hidup mereka. Campur tangan disini adalah yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan yang memihak untuk kesejahteraan para nelayan dan petani. Dan yang mempunyai peranan paling penting untuk mewujudkan itu adalah partai politik beserta politisinya.

Disinilah partai politik seharusnya dijadikan sebagai mercusuar perubahan ditengah-tengah kehidupan masyarakat yang serba sulit. Partai politik yang merupakan pilar demokrasi tidak memiliki tugas yang sederhana. Perubahan kehidupan bangsa ada dipundak partai politik beserta politisi-politisinya. Tugas inilah yang seharusnya diemban, mengawal kehidupan bangsa menuju masyarakat makmur yang berkeadilan.
Salah satu Masyarakat Purirano

Namun beberapa tahun terakhir ini kita selalu disugukan dengan berita-berita tak sedap. Kader-kader partai politik banyak yang berurusan dengan anti rasua, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kepala daerah seperti Gubernur, walikota, Bupati serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat/Daerah yang berasal dari partai politik, banyak yang ditangkap karena menerima suap dan menilap uang negara. 

Ideologi partai dikesampingkan dan mengedepankan kepentingan pragmatis mereka. Pada akhirnya partai politik kehilangan kepercayaan di mata rakyat. Partai politik bukan lagi pilar demokrasi tetapi salah satu pilar korupsi, begitu kira-kira anggapan rakyat selama ini. 

Disamping itu, cerita La Aco memang benar bahwa partai politik seharusnya tidak asal usung-mengusung saja atau dukung-mendukung saja. Perlu ada evaluasi serta didikan dari setiap kader-kader partai politik sebelum diterjunkan dalam arena pertarungan. Bisa kita tebak bahwa korupsi yang terjadi pada partai politik karena kurangnya perhatian dalam mendidik, mengawal dan mengevaluasi kader-kadernya. 

Untuk itu, dalam hal memberi dukungan atau mengusung, seharusnya ada penyeleksian yang ketat, apakah ia punya gagasan atau tidak. Bukan diukur dari segi popularitasnya saja karena calon yang populer belum tentu punya gagasan dalam memimpin daerah.

Politik sejatinya seperti itu selalu mengedepankan pemikiran, argument, gagasan, rasionalitas dan bukan pendangkalan pemikiran. Jika tidak mengedepankan hal tersebut, maka seperti yang di catat Rocky, sama sekali tidak akan menghasilkan politik. Memang politik jika dimaknai seperti La Aco akan menghasilkan suatu kemaslahatan bersama, bukan kelompok, golongan, keluarga atau partai. Tetapi jika politik hanya dimaknai sebagai perjuangan untuk memperoleh kekuasaan semata, bisa-bisa hanya akan menjadi seperti yang di ucapkan oleh Peter Merkl, a selfish grab of power, glory and riches.

Bersama nelayan ini, saya lalu berpikir bahwa di negeri ini, ada sosok-sosok yang luar biasa yang selalu mengharapkan perbaikan dengan kondisi sosial-ekonomi-politik yang ada. La Aco memang orang biasa yang hanya memberi tanggapan, kritik dan melihat perkembangan politik dari luar.

Namun dibalik orang-orang biasa itu, seharusnya suara mereka justru harus didengarkan untuk dijadikan sebagai pembelajaran dan kebijakan. Ia berharap bahwa partai politik dan kader-kadernya dapat memberikan yang terbaik untuk bangsa. Memberikan suatu pemikiran, gagasan untuk memutus mata rantai kemiskinan seperti yang mereka alami selama ini. Semoga harapan itu bisa di dengar.


                                                                                      La Ode Halaidin

Tulisan ini diikut sertakan dalam lomba esai politik di Qureta.com

06 Oktober 2016

Mahasiswa, Seks dan Kenikmatan

Pernakah anda berkumpul dan bercerita dengan para mahasiswa yang seringkali menceramaimu tentang banyaknya pacar dan hubungan seks mereka. Dengan semangat yang tinggi serta dengan keterbata-batahannya, mereka akan medudukanmu berjam-jam hanya sekedar mendengarkannya tentang cerita hubungan seks. Mereka akan mengatakan, saya sering berhubungan seks dengan pacar, para pekerja seks komersial, baik ibu-ibu maupun yang masih gadis. Pada saat seperti itu kadang saya hanya mengatakan, owh…luar biasa itu, keren, jantan. Dengan pujian itu, mereka kemudian menyingir seperti orang hebat yang berhasil menaklukan hati gadis-gadis.

Kadang saya tak pernah menduga, bisa bertemu dengan teman-teman seperti itu. Dibalik status mahasiswa mereka, saya menemukan sekeping pelajaran bahwa mahasiswa sekarang sudah tak tertarik dengan dialog-dialog ke-intelektualan. Mereka mencampakan akan isu-isu sosail masyarakat yang seringkali menjerit akan keangkuhan penguasa. Mereka dengan bangga menceritakan cerita-cerita seks yang murahan itu, meskipun kuping saya tak menghendaki. Pengalaman mereka hanya sebatas sampai disitu, tak lebih. Tiap hari ia akan mengulanginya dan mengulanginya lagi. Mereka tak menemukan mutiara dan tak melihat pelajaran apa, dibalik perempuan-perempuan yang menjual dirinya itu.

Saya bertemu mereka beberapa minggu yang lalu, saat ada beberapa urusan yang hendak saya selesaikan. Saat itu saya hendak bergabung dan mendengarkan cerita-cerita mereka. Saya menyimak beberapa bahasa yang mereka ucapkan dan ternyata ceritanya tentang main perempuan dan minum-minuman keras. Pikirku, menantang juga ini bertemu mahasiswa-mahasiswa seperti ini. Saat saya tanya, apakah anda tau perempuan itu apa? Dan mengapa mereka melakukan itu? Dengan pertanyaan ini mereka terdiam dan tak tau hendak bicara apa.

Yang mereka tau memang hanya kesenangan, kenikmatan sesaat saat berhubungan badan dengan pacar mereka atau para perempuan malam. Tanpa mereka tau bahwa perempuan itu adalah lautan kehidupan, seperti yang dikatakan oleh Pramoedya Ananta Toer. Tak akan ada peradaban tanpa perempuan. Kita terlahir karena perempuan yang dengan susah paya mengeluarkan kita di alam kehidupan ini. Kita ada karena atas perjuangan seorang perempuan, ibu kita yang dengan susah paya melahirkan kita untuk melihat kehidupan ini. Seharusnya pacar-pacar mereka harus dimuliakan. Adapun yang perempuan malam, mereka juga harus dihargai.
Saya pernah bertemu dengan para perempuan malam. Saat saya bercerita dengan mereka ada banyak pelajaran yang bisa dipetik dibalik pekerjaan hina mereka. Kata perempuan malam itu, saya lakukan ini untuk menghidupi anakku yang masih kecil. Saya butuh pekerjaan, butuh uang, tapi di Kendari tak ada pekerjaan yang bisa menerimaku, saya hanya bisa lakukan ini, katanya.

Perempuan malam melakukan itu karena persoalan ekonomi. Ada beban dan tanggungjawab yang diembannya. Ia perlu menghidupi anak gadisnya yang masih kecil. Dibalik pekerjaannya yang dianggap hina itu, ia lebih mulia daripada para mahasiswa itu. Perempuan malam itu, tau akan tanggungjawabnya sedangkan mahasiswa itu sama sekali tidak. Tak tau akan tanggungjawabnya sebagai mahasiswa.

Kita seharusnya harus berbesar hati, bersimpul dibawa kolom langit ini dengan kerendahan hati. Kehidupan adalah seusatu yang indah, menawan dengan bingkaian secercah harapan akan sesuatu peradaban yang mulia. Yang kita lakukan adalah mencoba memberikan suatu perubahan secuil demi secuil pada kehidupan ini. Secuil itu kemudian akan menjadi sebuah pohon yang besar dan akar yang kuat jika kita menyiraminya dengan kemuliaan dan kerendahan hati.

Mungkin benar yang dikatakan oleh Sujiwo Tedjo dalam acara Mata Nadjwa, katanya pendidikan tinggi (untuk mahasiswa) itu penting kalau untuk memperbanyak mantan. Namun sebenarnya ungkapan ini mempunyai makna, untuk kemudian mengingatkan mahasiswa sekarang ini agar mengawal perjalanan bangsa ini kedepan. Dengan apa itu? Yaitu dengan belajar, membaca buku-buku dan berorganisasi. Jika hanya sekedar pacaran dan tidak belajar dan membaca berbagai macam buku atau berorganisasi berarti pendidikan tinggi itu sama sekali tidak penting. Anda ambil ijazah dan selanjutnya selesai. Sudah.

Namun bukan itu makna sebagai mahasiswa. Ia ujung tombak dalam mengawal generasi bangsa ini kedepan. Generasi muda yang seharusnya mencerahkan peradaban, bukan sebaliknya menodainya dengan cerita-cerita murahan yang tak bermutu itu.

Inilah yang saya lihat mahasiswa hari ini, khususnya di Kendari. Cerita dibawah bayang-bayang akan kehidupan seks dan kenikmatan. Ini hanya persoalan paradigma yang tidak menonjolkan pemikiran mereka pada isu-isu social. Dan pada akhirnya kehidupan intelektual mereka sama sekali mati, tak bangkit.

 
                                                                                                                    La Ode Halaidin
                                                                                                                    Kendari, 7 Oktober 2016