Kisah Seorang Nelayan di Purirano

Ini adalah cerita saat saya bertemu dengan nelayan di purirano. Keadaan mereka penuh dengan ketidakadilan.

Kenangan di Puncak Terindah Buton Selatan

Ini adalah bentuk penghayatan, akan indahnya alam. Olehnya itu, alam harus dijaga dengan baik agar kita hidup dalam penuh damai dan tentram.

Menggeluti Ilmu di Perguruan Tinggi

Bersama dengan ilmu pengetahuan kita dapat maju, bergerak dan bersaing dengan pihak-pihak lain. Mari, kita dahulukan pendidikan kita.

Sebuah Perjalanan di Muna Barat

Kami mencari keadilan atas masyarakat yang selama ini teralienasi. Lahan-lahan mereka dipermainkan oleh elit-elit desa, mengeruk keuntungan dengan membodohi masyarakat. Kami menolak dan melawan.

Mencari Keindahan di Danau Maleura

Di danau ini, ada panorama keindahan, yang membuat pengunjung sangat menikmati suasana. Hawa dingin dan air yang jernih dan terdapat banyaknya gua-gua. Ini keren kan. Adanya hanya di Muna.

20 Desember 2022

Membongkar Para Beking Tambang Ilegal

 

Ilustrasi Mafia (Sumber Foto: Pixabay)


Belum hilang ingatan kita, tentang keterlibatan seorang anggota polisi yang mengelola sebuah tambang emas ilegal di Bulungan, Kalimantan Utara. Namanya Briptu Hasbudi, polisi berpangkat bintara yang bertugas di Polairud, Polda, Kalimantan Utara.

Ia adalah pemilik atau bos sekaligus koordinator tambang emas ilegal itu. Selama dua tahun melakukan aktivitas penambangan emas secara ilegal, Hasbudi berhasil mengumpulkan pundi-pundi uang hingga membuatnya kaya.

Bisnisnya menggurita. Asal kekayaanya bukan saja dari tambang emas ilegal, tapi berupa usaha pengiriman pakayan bekas dan bisnis daging yang ilegal pula. Bahkan polisi saat melakukan penggeledahan menemukan, didalam pengiriman pakayan bekas diselipkan narkoba. Hasil dari kegiatan ilegal itu diduga mengalir kesejumlah pihak.

Tentu ini bukan sebuah kejadian luar biasa, yang membuat saya tercengang. Kasus Hasbudi sebenarnya hendak mengkonfirmasi jika aparat penegak hukum memang rentan bermain tambang ilegal. Ada yang terendus dan ada pula yang belum terendus.

Kasus Hasbudi, hanya segelintir kasus yang terendus, kena sial, dan harus ditangkap ketika berada di bandara saat hendak melarikan diri.

Apakah benar dia menikmati sendiri? Saya sangat ragu dengan itu. Sudah menjadi rahasia umum jika ada saja polisi mencari “pelarian” untuk menghasilkan pendapatan tambahan. Ada yang bermain-main dengan bisnis narkoba. Atau bisnis lain, seperti desas desus bermain dengan judi online.

Apakah hanya itu? Tentu saja tidak. Ada dugaan yang muncul bahwa senior-senior mereka telah lama keasyikan bermain di sektor tambang. Mereka biasanya dengan membentuk geng atau kelompok yang kemudian menjadi bekingan para mafia. Gerakan mereka senyap. Gerakan itu sangat terkoordinasi dengan baik, bermain di sudut-sudut pusaran mafia pertambangan ilegal.

Yang terbaru adalah pengakuan Ismail Bolong, seorang perwira polisi berpangkat Aiptu, yang bertugas di Polresta Samarinda, Kalimantan Timur. Video pengakuannya menggemparkan jagad maya dan membuat geger di Trunojoyo.

Ia adalah seorang pengepul tambang batu bara ilegal di Santan Ulu, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Ia mengajukan pensiun dini dari kepolisan setelah kegiatan ilegalnya terendus oleh Divisi Propam Polri, yang kala itu masih dipimpin Ferdy Sambo.

Pengakuan Ismail Bolong, meski kemudian ia telah meralatnya, semakin menegasikan bahwa aparat kepolisian telah lama “bermain” dan “membekingi” kegiatan konsorsium pertambangan ilegal.

Dokumen yang didapatkan oleh tim detikX, yang merupakan hasil penyelidikan Biro Paminal Divisi Propam Polri pimpinan Ferdy Sambo, ditemukan betapa terkoordinasinya keterlibatan polisi dari tingkat Polsek, Polres, Polda Kaltim, dan Bareskrim Polri dalam pusaran mafia tambang ilegal (detik.com/14/11/22).

Nah, yang menggegerkan pengakuan Ismail Bolong itu sebenarnya ketika ia menyebut nama Kabareskrim Polri, Komjen Pol Agus Andrianto. Kepada petinggi Polri itu, Ismail mengaku sudah tiga kali memberikan uang koordinasi pada akhir 2021 dengan nilai 6 miliar. Namun, Komjen Agus Andrianto membantah telah menerima uang suap dari tambang ilegal itu.

Yang menarik bagi saya adalah tentang uang koordinasi. Uang koordinasi ini adalah permainan suap dalam ruang senyap dan sangat sulit untuk dideteksi. Mereka saling mengunci. Paling, hanya terdengar sayup-sayup dan bisikan dari telinga ke telinga. Ya, itu saja.

Tapi terlepas dari itu, uang itu sangat penting, biasanya disebut uang pelicin, agar konsorsium tambang ilegal berjalan lancar tanpa hambatan.

Praktik koordinasi itu kira-kira begini. Pemodal dan penambang membuka tambang di lahan tanpa izin lalu memberikan fee kepada pemilik lahan. Agar tidak mendapat tindakan proses hukum, polisi mendapat bagian dari pemodal dan penambang. Ada pangkat bawahan sebagai pelaksana di lapangan.

Supaya aman, si pelaksana lapangan ini harus berkoordinasi dengan Polsek dan Polres. Setelah memastikan semua terkendali, ada tingkat Polda yang mesti harus mendapatkan bagian atau jatah. Maka fee tersebut harus mengalir pada perwira tinggi di Polda. Apakah semua sudah aman? Tentu belum. Di atas Polda, ada Bareskrim.

Jadi, agar konsorsium tambang ilegal tetap berjalan tanpa gangguan, maka diperlukan koordinasi yang terstruktur. Ismail Bolong sangat paham dengan permainan ini.

Ia tak ubahnya mafia tambang kelas kakap yang mengetahui semua jalan kendali permainan. Ia mesti mengamankan semua katup, sebagai upaya agar kegiatan pengepulan batu bara tak mendapat tindakan hukum.

Katup pengaman yang paling penting, yang mesti ia pegang kendalinya adalah Bareskrim. Nah, di Bareskrim itu, Ismail Bolong bertemu Brigjen Pipit Rismanto di ruangannya untuk meminta izin berbisnis tambang namun diusir (detik.com/14/11/2022).

Dari kegiatan pengepulan batu bara ilegalnya, dari sejak Juli 2020 hingga November 2021, Ismail Bolong mengaku mendapat keuntungan 5-10 miliar setiap bulannya.

Selama setahun lebih mengeruk emas hitam ilegal, ia menyebut, selain Komjen Pol Agus Andrianto, uang koordinasi juga ia serahkan kepada AKP Asriadi dengan nilai 200 juta. Uang tersebut diduga disajikan tak lain untuk mengamankan kegiatannya agar tak terusik oleh aparat di daerah dan tentu saja untuk mendapat perlindungan dari para petinggi.

Pada kenyataannya memang, kegiatan bisnis ilegal Ismail tak pernah terusik, meski ia disebut beberapa kali yang diduga menjadi bekingan sekaligus koordinator penambangan batu bara ilegal. Bahkan penyidik yang menangani kasus keterlibatannya, menghentikan penanganan kasus itu karena beberapa anggota dihubungi oleh perwira tinggi Polri (detik.com/14/11/2022).

Ismail kemudian menjadi polisi yang sangat disegani, baik di masyarakat, sesama polisi maupun pada petugas Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Santan Ulu. Bukan saja karena koneksinya dengan para petinggi Polri, namun karena pundi-pundi kekayaannya dari hasil mengeruk emas hitam ilegal. Kekayaannya itu tidak hanya dideklarasikan dengan rumah mewah, tapi 5 mobil yang harganya ratusan juta hingga miliaran.

Pertanyaan kita sekarang, apakah Kapolri akan serius menindak polisi yang “bermain” tambang?

Beberapa bulan terakhir, citra Polri benar-benar rontok. Ada kasus Ferdy Sambo, yang merekayasa kasus pembunuhan Brigadir Joshua. Ada peristiwa Kanjuruhan, polisi menembakan gas air mata kepada suporter Aremania yang menyebabkan ratusan orang meninggal. Ada kasus Tedy Minahasa yang terlibat dalam kasus narkoba. Sekarang yang tak kalah mengejutkan adalah kasus Ismail Bolong.

Jika tiga kasus itu, Kapolri bisa menangani dengan tegas tanpa pilih kasih, harusnya mafia sektor pertambangan yang melibatkan kepolisian juga bisa ditangani dengan lebih tegas.

Hasbudi dan Ismail Bolong adalah bukti nyata yang seharusnya mempertegas langkah Kapolri untuk memberantas mafia pertambangan. Tentu saja tidak hanya fokus di daerah Kalimantan Timur atau Kalimantan Utara saja.

Di daerah-daerah pertambangan lain, seperti Sulawesi Tenggara, Kapolri sudah saatnya memberikan perhatian khusus.

Butuh Ketegasan Kapolri

Menjamurnya konsorsium tambang ilegal karena praktek ini langgeng dan tak diberantas dengan serius. Kementerian ESDM mencatat, ada 2.741 kasus penambangan ilegal yang tersebar di Indonesia. Dari jumlah itu, 2. 645 lokasi merupakan pertambangan mineral, sementara 96 lokasi adalah pertambangan batu bara. Dalam kegiatan pertambangan ilegal itu, jumlah pekerja yang terlibat diperkirakan sekitar 3,7 juta orang.

Bayangkan, ada 2.000 lebih kasus pertambangan ilegal di Indonesia. Tentu saja ini bukan jumlah yang tidak sedikit dan bukan pula masalah yang remeh-temeh. Ini persoalan besar karena menyangkut kerugian negara yang tak mendapatkan pemasukan pajak. Pertanyaannya, mengapa kasus ini begitu banyak, seolah menjamur, dan dibiarkan begitu saja? Ada apa sebenarnya?

Banyak yang menyakini bahwa menjamurnya pertambangan ilegal setiap daerah, ada dugaan aparat kepolisian yang terlibat. Entah itu menjadi bekingan, pelaku lapangan atau mereka yang diduga sebagai pemodal.

Di Sulawesi Tenggara, dugaan keterlibatan polisi dalam pertambangan ilegal sebenarnya terdengar agak nyaring di masyarakat. Namun, sejauh penindakan yang dilakukan oleh Polda Sultra, belum ditemukan adanya oknum aparat kepolisian yang terlibat. Terbaru, Polda Sultra melakukan penindakan terhadap masyarakat kecil atau perorangan yang didanai oleh pemodal.

Saya lalu bertanya-tanya, siapakah pemodal ini? Begitu beraninya si pemodal ini melakukan penambangan di lahan tanpa izin. Logikanya tak masuk akal, jika ia melakukan aktivitas pencurian tambang ilegal tanpa mendapatkan perlindungan.

Begini. Pemodal ini bisa jadi elit lokal yang berkuasa atau punya koneksi terhadap penguasa. Mereka punya banyak uang untuk memodali masyarakat dalam melakukan penambangan ilegal. Si pemodal inilah yang menyiapkan semua peralatan, berupa alat berat yang digunakan untuk mengeruk di area penambangan.

Lalu, mereka tinggal mempekerjakan masyarakat kecil sebagai penambang di lapangan. Karena pertambangan ilegal, tentu saja si pemodal butuh bekingan agar kegiatan penambangan dan penjualan hasil tambang tak mendapat tindakan hukum. Dari hasil penjualan itulah, oknum kepolisian yang terlibat kecipratan bagian.

Dalam penjualan hasil tambang ilegal itu, para mafia tambang harus menghitung berapa persen untuk dibagikan kepada aparat. Kalau menjual 10 ton misalnya, maka mereka harus menyisipkan berapa persen untuk aparat A dan berapa persen untuk aparat B. Intinya setiap penjualan, aparat A dan B ini harus disisipkan sekian persen untuk menjadi bagiannya.

Praktik-praktik seperti ini sebenarnya lumrah kita dengar di masyarakat. Para mafia tambang seringkali menyeret aparat kepolisian dalam menjalankan bisnisnya.

Bukan saja sebagai pelaku lapangan, tapi para mafia tambang terkadang menggerakan polisi untuk melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat yang menolak pertambangan. Muaranya satu, karena semua berkaitan dengan finansial yang besar. Mereka tak kuasa menolak uang.

Sebelum kasus Hasbudi dan Ismail Bolong, di Sulawesi Tenggara terus menyeruak bahwa ada dugaan keterlibatan polisi yang membekingi penambangan secara ilegal. Organisasi seperti Barisan Mahasiswa Pemerhati Pertambangan (BMPP) misalnya, sudah menyuarakan itu sejak 2018. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kendari, juga menyuarakan hal yang sama pada tahun 2021.

Yang terbaru, November 2022, datang dari Konsorsium Mahasiswa Nusantara (KMN). Mereka menduga bahwa maraknya aktivitas pertambangan ilegal di Bumi Anoa karena adanya keterlibatan aparat penegak hukum. Namun sampai hari ini, mereka tak tersentuh sama sekali. Petinggi terkesan melindungi yang bawahan.

Oleh karena itu, langkah tegas Kapolri untuk membereskan seluruh carut marut dalam bisnis pertambangan ilegal ini tentu sangat dinanti. Mafia tambang butuh perlindungan. Sementara polisi menjadi bekingan karena ada bayaran.

Mereka berkoordinasi dalam senyap dan tak terlihat. Begitu cara kerja mafia, menyuap polisi-polisi di daerah yang jauh dengan pusat.

Yang seringkali terdengar hanya sayup-sayup, bisikan-bisikan, dan itu sulit untuk menjadi viral. Tapi Hasbudi dan Ismail Bolong sebenarnya hendak membuka kotak pandora itu.

Dari bekingan mafia, pelaku lapangan, mereka yang diduga sebagai pemodal hingga kekayaan sejumlah anggota polisi yang tidak sesuai dengan gaji. Ini merupakan tambahan pekerjaan rumah untuk Kapolri, agar memperbaiki citra kepolisian di mata publik.

Berikutnya, tinggal menunggu ketegasan Kapolri untuk membongkar pihak-pihak yang terlibat dalam mafia pertambangan. Ya, lebih baik mendahului guncangan daripada menunggu untuk terguncang.