Kisah Seorang Nelayan di Purirano

Ini adalah cerita saat saya bertemu dengan nelayan di purirano. Keadaan mereka penuh dengan ketidakadilan.

Kenangan di Puncak Terindah Buton Selatan

Ini adalah bentuk penghayatan, akan indahnya alam. Olehnya itu, alam harus dijaga dengan baik agar kita hidup dalam penuh damai dan tentram.

Menggeluti Ilmu di Perguruan Tinggi

Bersama dengan ilmu pengetahuan kita dapat maju, bergerak dan bersaing dengan pihak-pihak lain. Mari, kita dahulukan pendidikan kita.

Sebuah Perjalanan di Muna Barat

Kami mencari keadilan atas masyarakat yang selama ini teralienasi. Lahan-lahan mereka dipermainkan oleh elit-elit desa, mengeruk keuntungan dengan membodohi masyarakat. Kami menolak dan melawan.

Mencari Keindahan di Danau Maleura

Di danau ini, ada panorama keindahan, yang membuat pengunjung sangat menikmati suasana. Hawa dingin dan air yang jernih dan terdapat banyaknya gua-gua. Ini keren kan. Adanya hanya di Muna.

30 Oktober 2022

Buku Bajakan Sebagai Pelarian

 


Kawan saya langsung berkomentar ketika buku yang dipesannya secara online tiba, “Saya tidak mampu beli buku yang original. Harganya terlalu mahal, katanya, sambil membuka bungkus kirimannya yang berisi buku. Saya begitu paham dengan kondisi ekonominya. Sebagai mahasiswa yang berasal dari kampung, membeli buku dengan harga lebih dari ratusan ribu sudah pasti banyak pertimbangan. Saya pernah mengalami itu waktu masih mahasiswa. Tapi, saya mencoba menghindari untuk tidak membeli buku bajakan.

Dengan kiriman yang seadanya, tentu saja jika memaksakan diri membeli buku original, maka harus siap mengurangi jatah makan atau pada akhir bulan mengencangkan tali pinggang. Supaya perut tetap terisi dengan teratur dan tentu saja punya buku bacaan, ia tidak punya pilihan lain dengan mengakalinya membeli buku bajakan. Buku bajakan dijadikan semacam ‘pelarian’.

Buku yang ia pesan secara daring itu berjumlah 5 buah. Saya tidak asing dengan buku-buku itu. Di gramedia tersedia bahkan sebagian buku-buku itu pernah saya baca sekilas. Harganya berbeda cukup jauh. Satu buah buku ia beli dengan harga puluhan ribu, sementara di gramedia, harganya mencapai ratusan. Lima buah buku, kawan saya itu hanya mengeluarkan uang dua ratus ribu rupiah dengan ongkos kirimannya.

Apakah kawan saya itu dengan membeli buku bajakan salah? Tentu saja, saya tak menyalahkannya. Yang saya soroti adalah maraknya industri pembajakan dan mahalnya harga buku. Di tengah minat baca yang minim, indusri pembajakan buku semakin besar. Sebuah kontradiksi yang membuat saya geleng-geleng kepala. Kawan itu kaget, saat saya menjelaskan bahwa pembajak itu melanggar Hak Kekayaan Intelektual (HKI). “Jadi ini tidak boleh, katanya, sambil memeriksa lembar-lembar bukunya yang sebagian huruf kalimatnya sangat buram.

Beberapa tahun yang lalu, saya pernah mengikuti diskusi tentang minimnya literasi dan pembajakan buku. Salah satu pemateri, kurang lebih mengatakan begini: “Jika kita lebih memilih membeli buku bajakan daripada buku original, itu artinya kita hendak melanggengkan industri pembajakan buku.” Ya, mungkin ada benarnya. Tapi disisi yang lain, seharusnya tak bisa kesalahan dilimpahkan kepada konsumen buku-buku bajakan.

Faktor daya beli dan mahalnya harga buku menjadi penyebab, mengapa mahasiswa dan sebagian masyarakat memilih buku bajakan. Apa yang dialami kawan saya adalah sebuah fakta bahwa ia benar-benar tak bisa menjangkau harga buku original. Perpustakaan juga tak memiliki peran yang optimal agar setiap orang bisa mengakses buku-buku.

Jadi, buku seolah jadi komoditas yang hanya bisa dijangkau oleh mereka yang memiliki finansial yang cukup. Harusnya tak begitu. Buku harusnya tersebar luas, bisa dijangkau oleh kalangan bawah, masyarakat kota pinggiran maupun pedesaan.

Keterlibatan pemerintah memang sangat dibutuhkan. Untuk penerbit, pemerintah harus memberikan insentif ekonomi agar buku lebih gampang diakses dan dibeli oleh masyarakat luas. Ini juga bagian dari upaya untuk memutus rantai industri pembajakan buku. Harus didukung dengan regulasi, tentu saja.

23 Oktober 2022

Misbehaving

 


Dasar-dasar ekonomi politik, dan semua ilmu sosial secara umum, rupanya adalah psikologi. Boleh jadi akan ada suatu hari ketika kita akan bisa menyimpulkan hukum-hukum ilmu sosial berdasarkan kaidah-kadiah psikologi.

---Vilfredo Pareto, 1906


Akhir-akhir ini, rutinitasku sedang menuntaskan membaca terjemahan buku Misbehaving yang ditulis oleh Richard H. Thaler. Buku ini membuat saya tertarik dan penasaran, karena membahas tentang terbentuknya ekonomi prilaku. Ada pertanyaan di kepala saat melihat judul buku ini terpajang di gramedia. Apa itu ekonomi perilaku? Karena sebelumnya, ekonomi perilaku tak pernah saya dapatkan di bangku kuliah. Sebab didorong oleh rasa keingintahuan itu, maka buku ini sekarang berada ditanganku.

Pertengkaran para ahli ekonomi tentang model teori ekonomi, kiranya sudah banyak terjadi. Perdebatan para ekonom tradisional versus ekonom modern memang berlangsung sengit. Ada banyak pertentangan, namun itu biasa. Justru dengan itu, reputasi ilmu ekonomi sebagai ilmu sosial secara intelektual semakin kuat.

Sebelum saya bahas buku Richard H. Thaler, saya teringat dengan peraih nobel ekonomi bernama James Buchanan. Buchanan adalah ekonom yang mempelopori lahirnya perspektif teori Public Choice. Publik choice adalah sebuah teori yang penerapannya menggunakan metode-metode ekonom terhadap bidang politik. Buchanan mencoba menerangkan konsep publik choice bukan sebagai teori yang sempit, namun dipandang sebagai sebuah perspektif.

Bahwa sebenarnya tidak ada garis pemisah antara substansi ekonomi dan politik, antara pasar dan pemerintah (market and government), atau antara pribadi dan publik. Bagi Buchanan, ekonom harusnya memaksimalkan kekayaan paradigmanya sehingga defenisi disiplin ilmu tidak hanya berada dalam kerangka atau terminologi hambatan kelangkaan sumber-sumber ekonomi.

Buchanan menggunakan teori public choice untuk merambah atau mencoba menelaah apa yang menjadi obyek dalam ilmu politik. Ia mencoba mempertemukan kembali bidang ekonomi dan politik dalam satu wilayah analisis. Dan yang terjadi bukan berarti tanpa pertengkaran. Teorinya menjadi bahan perdebatan dan mendapat banyak kritik, bukan saja di kalangan ekonom, tapi juga di kalangan ahli ilmu politik.

Sebagaimana Buchanan, Thaler, salah satu yang menciptakan bidang ekonomi perilaku—sebuah konsep ekonomi yang didalamnya terdapat suntikan kuat ilmu psikologi dan ilmu-ilmu sosial lain— juga menemui banyak kritik dan perdebatan. Terutama mereka yang masih setia dengan ekonomi tradisionalnya menganggap, penerapan ekonomi perilaku masih sangat terbatas.

*

Buku ini adalah cerita awal perjalanan karier Thaler bagaimana ia memulai mengembangkan konsep bidang ekonomi perilaku. Isinya tak melulu soal riset, perdebatan para ekonom, tapi anekdot, dan bahkan candaan. Salah satu pembimbing disertasinya, Danny Kahneman menganggap bahwa yang paling hebat dari Thaler dan membuat dia istimewa adalah karena kemalasannya.

Ya, buku ini ditulis oleh seseorang yang memang diakui kemalasannya. Sherwin Rosen, pembimbing tesisnya beranggapan, Thaler tak punya masa depan yang cerah dalam bidang ilmu ekonomi modern. Namun berkat pembimbingnya, Danny Kahneman, kemalasan Thaler berubah menjadi sebuah aset.

Richard H. Thaler mulai mempertanyakan teori ekonomi sewaktu menjadi mahasiswa pascasarjana di departemen ekonomi University of Rochester. Ia punya banyak keraguan mengenai bahan yang diajarkan di kelas, tapi tak yakin apakah masalahnya di teori atau karena pemahamannya yang kurang memadai.

Selama empat dasawarsa, sejak kuliah pascasarjana, ia telah disibukan dengan berbagai kisah mengenai cara manusia menyimpang dari mahluk fiktif yang biasa ada di model ekonomi. Ia bukan hendak menyalahkan manusianya. Namun masalahnya, ada pada model yang digunakan ahli ekonomi, menggantikan Homo sapiens dengan mahluk fiktif bernama Homo economicus atau biasa yang ia singkat Ekon. Jika dibandingkan dengan mahluk fiktif Ekon, manusia banyak melakukan prilaku keliru, dan itu berarti model ekonomi membuat banyak prediksi yang buruk.

Dengan tegas Thaler hendak mengatakan, kita sedang tak hidup di dunia Ekon. Kita hidup di dunia manusia dan sebagian besar ahli ekonomi tahu itu. Dan karena itulah, riset ekonomi perlu melakukan pendekatan yang lebih bernas, yang mengakui keberadaan dan relevansi manusia. Alasannya menambahkan Manusia ke teori ekonomi adalah untuk menaikan akurasi prediksi.

Memang benar, buku ini sebuah terawangan nakal dan mencerahkan bahwa manusia punya banyak kekurangan. Dalam mengambil sebuah keputusan, kita pasti pernah mengalami bias dan kadang menyimpang dari standar rasionalitas yang dipakai ahli ekonomi. Itu artinya kita berprilaku keliru (misbehaving). Dari itu, Thaler mencoba memadukan ekonomi dan psikologi manusia, bagaimana membuat keputusan lebih cermat di tengah dunia yang makin disrupsi.

Namun tentu saja ini tak mudah. Selama bertahun-tahun, banyak ahli ekonomi yang menolak keras seruan mendasarkan model di atas penjabaran perilaku manusia yang lebih akurat. Kahneman menyebut mereka sedang terjangkit penyakit apa yang disebut buta karena teori. Ini hampir melanda semua ahli ekonomi. Mereka menerima wawasan luas mengenai perilaku Ekon, tapi dengan tega mengorbankan intuisi mengenai hakikat manusia dan interaksi sosialnya. Para ekonom tradisonal tak lagi menyadari, mereka hidup di dunia berisi manusia.

**

Bab 17 misalnya dengan judul “Debat Bermula”, itu memperlihatkan bagaimana Merton Miller menyerang makalah keuangan perilaku oleh Hersh Shefrin dan Meir Statman di konferensi University of Chicago. Dengan terang Merton Miller mengatakan bahwa pendekatan perilaku boleh jadi diterapkan ke Bibi Minnie dan beberapa orang lain, tapi hanya sebatas itu.

Sama dengan Miller, di konferensi itu Allan Kleidon juga menyerang makalah Robert Shiller. Metode dan kesimpulan makalah Shiller yang berjudul “Do Stock Prices Too Much to Be Justified by Subsequent Changes in Dividends?” diserang bahkan para pengkritiknya menulis makalah dengan mengolok-olok sebagai “Shiller Killer.”

Setelah konferensi Oktober 1985 di Chicago itu, Thaler memikirkan kaitan antara gagasan Thomas Kuhn dengan apa yang ia kerjakan. Ia membaca buku terobosan Thomas Kuhn The Structure of Scientific Revolutions dan secara diam-diam melamunkan sesuatu apakah pergeseran paradigma dapat terjadi dalam ilmu ekonomi. Ia terus mencari, melakukan kerja-kerja riset yang kemudian mendorongnya untuk melakukan lompatan dari jalur normal suatu bidang dan bergerak ke arah baru. Untuk itu, ia membutuhkan serangkaian anomali.

Bersama sahabatnya ahli ekonom terkenal, Hal Varian, Thaler mendapat gagasan untuk menulis artikel anomali yang akan dipublikasikan di jurnal of Economic Perspektives. Jurnal itu dibuat oleh American Ekonomic Association, yang di editori Joseph Stiglitz. Empat kali setahun ia menulis mengenai anomali. Tulisannya berupa dokumentasi faktor-faktor yang seharusnya tak relevan tapi sangat penting, atau kumpulan fakta lain yang tak konsisten dengan cara standar ilmu ekonomi.

Tulisan-tulisannya di jurnal itu, ia hendak menunjukan kepada para ahli ekonomi bahwa ada banyak fakta yang tidak sejalan dengan model-model ekonomi tradisional. Ia mencoba membantu menegakkan gagasan bahwa model ekonomi dapat dilakukan dengan cara baru berdasarkan Manusia, bukan mahluk fiktif bernama Ekon. Untuk mengembangkan gagasannya, ia kemudian membangun tim bersama George Loewenstein, Robert Shiller, Colin Camerer, dan Eric Wanner. Dan kerjasama itu dianggap gagal.

Namun ia tak berhenti disitu. Di kesempatan lain, ia bergabung dengan tim baru, Amos dan Kahneman juga terlibat. Ia cukup antusias, sebab banyak ekonom muda yang tertarik, melakukan riset mengenai ekonomi perilaku. Riset yang mereka hasilkan, mengubah ekonomi perilaku menjadi bagian aktif ilmu ekonomi arus utama. Dan itu semua tak terlepas dari keterlibatan Eric Wanner yang memulai pendanaan riset.

***

Sudah empat puluh tahun lebih, model ekonomi perilaku tak lagi berada di pinggiran. Menulis makalah ekonomi yang menganggap orang berperilaku seperti manusia tak lagi dianggap perilaku keliru. Semua telah banyak yang berubah. Namun, Thaler menganggap membangun versi ilmu ekonomi yang lebih kaya, dengan Manusia sebagai pusat masih belum selesai.

Sebelumnya tak pernah ada yang mengira pendekatan perilaku dalam ekonomi berdampak besar terhadap keuangan. Model itu kemudian dianggap serius. Di banyak isu, perdebatan antara kubu rasional dan perilaku telah mendominasi kepustakaan ekonomi finansial selama dua dasawarsa. Untuk itu, pengembangan teori keuangan ekonomi berbasis bukti masih akan terus berlangsung.

Ada bidang ilmu ekonomi yang ia ingin kembangkan menggunakan pendekatan perilaku yaitu makroekonomi. Ia menganggap isu besar kebijakan moneter dan fiskal sangat penting bagi kesejahteran negara. Dan pemahaman akan Manusia sangat penting memilih kebijakan yang bijak.

Ekonomi perilaku, menurutnya kini telah menjadi ilmu ekonomi yang tumbuh dan bisa ditemukan di sebagian besar universitas terbaik di dunia. Bahkan para ahlinya menjadi kalangan pengarah kebijakan publik. Pembangunan ekonomi perilaku mencakup banyak upaya, termasuk membangun rasa optimis mengenai masa depan ilmu ekonomi.

Ketika semua ahli ekonomi sama-sama berpikiran terbuka, maka pertengkaran akan membuat bidang ilmu ekonomi makin kuat.