Kisah Seorang Nelayan di Purirano

Ini adalah cerita saat saya bertemu dengan nelayan di purirano. Keadaan mereka penuh dengan ketidakadilan.

Kenangan di Puncak Terindah Buton Selatan

Ini adalah bentuk penghayatan, akan indahnya alam. Olehnya itu, alam harus dijaga dengan baik agar kita hidup dalam penuh damai dan tentram.

Menggeluti Ilmu di Perguruan Tinggi

Bersama dengan ilmu pengetahuan kita dapat maju, bergerak dan bersaing dengan pihak-pihak lain. Mari, kita dahulukan pendidikan kita.

Sebuah Perjalanan di Muna Barat

Kami mencari keadilan atas masyarakat yang selama ini teralienasi. Lahan-lahan mereka dipermainkan oleh elit-elit desa, mengeruk keuntungan dengan membodohi masyarakat. Kami menolak dan melawan.

Mencari Keindahan di Danau Maleura

Di danau ini, ada panorama keindahan, yang membuat pengunjung sangat menikmati suasana. Hawa dingin dan air yang jernih dan terdapat banyaknya gua-gua. Ini keren kan. Adanya hanya di Muna.

20 Desember 2022

Membongkar Para Beking Tambang Ilegal

 

Ilustrasi Mafia (Sumber Foto: Pixabay)


Belum hilang ingatan kita, tentang keterlibatan seorang anggota polisi yang mengelola sebuah tambang emas ilegal di Bulungan, Kalimantan Utara. Namanya Briptu Hasbudi, polisi berpangkat bintara yang bertugas di Polairud, Polda, Kalimantan Utara.

Ia adalah pemilik atau bos sekaligus koordinator tambang emas ilegal itu. Selama dua tahun melakukan aktivitas penambangan emas secara ilegal, Hasbudi berhasil mengumpulkan pundi-pundi uang hingga membuatnya kaya.

Bisnisnya menggurita. Asal kekayaanya bukan saja dari tambang emas ilegal, tapi berupa usaha pengiriman pakayan bekas dan bisnis daging yang ilegal pula. Bahkan polisi saat melakukan penggeledahan menemukan, didalam pengiriman pakayan bekas diselipkan narkoba. Hasil dari kegiatan ilegal itu diduga mengalir kesejumlah pihak.

Tentu ini bukan sebuah kejadian luar biasa, yang membuat saya tercengang. Kasus Hasbudi sebenarnya hendak mengkonfirmasi jika aparat penegak hukum memang rentan bermain tambang ilegal. Ada yang terendus dan ada pula yang belum terendus.

Kasus Hasbudi, hanya segelintir kasus yang terendus, kena sial, dan harus ditangkap ketika berada di bandara saat hendak melarikan diri.

Apakah benar dia menikmati sendiri? Saya sangat ragu dengan itu. Sudah menjadi rahasia umum jika ada saja polisi mencari “pelarian” untuk menghasilkan pendapatan tambahan. Ada yang bermain-main dengan bisnis narkoba. Atau bisnis lain, seperti desas desus bermain dengan judi online.

Apakah hanya itu? Tentu saja tidak. Ada dugaan yang muncul bahwa senior-senior mereka telah lama keasyikan bermain di sektor tambang. Mereka biasanya dengan membentuk geng atau kelompok yang kemudian menjadi bekingan para mafia. Gerakan mereka senyap. Gerakan itu sangat terkoordinasi dengan baik, bermain di sudut-sudut pusaran mafia pertambangan ilegal.

Yang terbaru adalah pengakuan Ismail Bolong, seorang perwira polisi berpangkat Aiptu, yang bertugas di Polresta Samarinda, Kalimantan Timur. Video pengakuannya menggemparkan jagad maya dan membuat geger di Trunojoyo.

Ia adalah seorang pengepul tambang batu bara ilegal di Santan Ulu, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Ia mengajukan pensiun dini dari kepolisan setelah kegiatan ilegalnya terendus oleh Divisi Propam Polri, yang kala itu masih dipimpin Ferdy Sambo.

Pengakuan Ismail Bolong, meski kemudian ia telah meralatnya, semakin menegasikan bahwa aparat kepolisian telah lama “bermain” dan “membekingi” kegiatan konsorsium pertambangan ilegal.

Dokumen yang didapatkan oleh tim detikX, yang merupakan hasil penyelidikan Biro Paminal Divisi Propam Polri pimpinan Ferdy Sambo, ditemukan betapa terkoordinasinya keterlibatan polisi dari tingkat Polsek, Polres, Polda Kaltim, dan Bareskrim Polri dalam pusaran mafia tambang ilegal (detik.com/14/11/22).

Nah, yang menggegerkan pengakuan Ismail Bolong itu sebenarnya ketika ia menyebut nama Kabareskrim Polri, Komjen Pol Agus Andrianto. Kepada petinggi Polri itu, Ismail mengaku sudah tiga kali memberikan uang koordinasi pada akhir 2021 dengan nilai 6 miliar. Namun, Komjen Agus Andrianto membantah telah menerima uang suap dari tambang ilegal itu.

Yang menarik bagi saya adalah tentang uang koordinasi. Uang koordinasi ini adalah permainan suap dalam ruang senyap dan sangat sulit untuk dideteksi. Mereka saling mengunci. Paling, hanya terdengar sayup-sayup dan bisikan dari telinga ke telinga. Ya, itu saja.

Tapi terlepas dari itu, uang itu sangat penting, biasanya disebut uang pelicin, agar konsorsium tambang ilegal berjalan lancar tanpa hambatan.

Praktik koordinasi itu kira-kira begini. Pemodal dan penambang membuka tambang di lahan tanpa izin lalu memberikan fee kepada pemilik lahan. Agar tidak mendapat tindakan proses hukum, polisi mendapat bagian dari pemodal dan penambang. Ada pangkat bawahan sebagai pelaksana di lapangan.

Supaya aman, si pelaksana lapangan ini harus berkoordinasi dengan Polsek dan Polres. Setelah memastikan semua terkendali, ada tingkat Polda yang mesti harus mendapatkan bagian atau jatah. Maka fee tersebut harus mengalir pada perwira tinggi di Polda. Apakah semua sudah aman? Tentu belum. Di atas Polda, ada Bareskrim.

Jadi, agar konsorsium tambang ilegal tetap berjalan tanpa gangguan, maka diperlukan koordinasi yang terstruktur. Ismail Bolong sangat paham dengan permainan ini.

Ia tak ubahnya mafia tambang kelas kakap yang mengetahui semua jalan kendali permainan. Ia mesti mengamankan semua katup, sebagai upaya agar kegiatan pengepulan batu bara tak mendapat tindakan hukum.

Katup pengaman yang paling penting, yang mesti ia pegang kendalinya adalah Bareskrim. Nah, di Bareskrim itu, Ismail Bolong bertemu Brigjen Pipit Rismanto di ruangannya untuk meminta izin berbisnis tambang namun diusir (detik.com/14/11/2022).

Dari kegiatan pengepulan batu bara ilegalnya, dari sejak Juli 2020 hingga November 2021, Ismail Bolong mengaku mendapat keuntungan 5-10 miliar setiap bulannya.

Selama setahun lebih mengeruk emas hitam ilegal, ia menyebut, selain Komjen Pol Agus Andrianto, uang koordinasi juga ia serahkan kepada AKP Asriadi dengan nilai 200 juta. Uang tersebut diduga disajikan tak lain untuk mengamankan kegiatannya agar tak terusik oleh aparat di daerah dan tentu saja untuk mendapat perlindungan dari para petinggi.

Pada kenyataannya memang, kegiatan bisnis ilegal Ismail tak pernah terusik, meski ia disebut beberapa kali yang diduga menjadi bekingan sekaligus koordinator penambangan batu bara ilegal. Bahkan penyidik yang menangani kasus keterlibatannya, menghentikan penanganan kasus itu karena beberapa anggota dihubungi oleh perwira tinggi Polri (detik.com/14/11/2022).

Ismail kemudian menjadi polisi yang sangat disegani, baik di masyarakat, sesama polisi maupun pada petugas Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Santan Ulu. Bukan saja karena koneksinya dengan para petinggi Polri, namun karena pundi-pundi kekayaannya dari hasil mengeruk emas hitam ilegal. Kekayaannya itu tidak hanya dideklarasikan dengan rumah mewah, tapi 5 mobil yang harganya ratusan juta hingga miliaran.

Pertanyaan kita sekarang, apakah Kapolri akan serius menindak polisi yang “bermain” tambang?

Beberapa bulan terakhir, citra Polri benar-benar rontok. Ada kasus Ferdy Sambo, yang merekayasa kasus pembunuhan Brigadir Joshua. Ada peristiwa Kanjuruhan, polisi menembakan gas air mata kepada suporter Aremania yang menyebabkan ratusan orang meninggal. Ada kasus Tedy Minahasa yang terlibat dalam kasus narkoba. Sekarang yang tak kalah mengejutkan adalah kasus Ismail Bolong.

Jika tiga kasus itu, Kapolri bisa menangani dengan tegas tanpa pilih kasih, harusnya mafia sektor pertambangan yang melibatkan kepolisian juga bisa ditangani dengan lebih tegas.

Hasbudi dan Ismail Bolong adalah bukti nyata yang seharusnya mempertegas langkah Kapolri untuk memberantas mafia pertambangan. Tentu saja tidak hanya fokus di daerah Kalimantan Timur atau Kalimantan Utara saja.

Di daerah-daerah pertambangan lain, seperti Sulawesi Tenggara, Kapolri sudah saatnya memberikan perhatian khusus.

Butuh Ketegasan Kapolri

Menjamurnya konsorsium tambang ilegal karena praktek ini langgeng dan tak diberantas dengan serius. Kementerian ESDM mencatat, ada 2.741 kasus penambangan ilegal yang tersebar di Indonesia. Dari jumlah itu, 2. 645 lokasi merupakan pertambangan mineral, sementara 96 lokasi adalah pertambangan batu bara. Dalam kegiatan pertambangan ilegal itu, jumlah pekerja yang terlibat diperkirakan sekitar 3,7 juta orang.

Bayangkan, ada 2.000 lebih kasus pertambangan ilegal di Indonesia. Tentu saja ini bukan jumlah yang tidak sedikit dan bukan pula masalah yang remeh-temeh. Ini persoalan besar karena menyangkut kerugian negara yang tak mendapatkan pemasukan pajak. Pertanyaannya, mengapa kasus ini begitu banyak, seolah menjamur, dan dibiarkan begitu saja? Ada apa sebenarnya?

Banyak yang menyakini bahwa menjamurnya pertambangan ilegal setiap daerah, ada dugaan aparat kepolisian yang terlibat. Entah itu menjadi bekingan, pelaku lapangan atau mereka yang diduga sebagai pemodal.

Di Sulawesi Tenggara, dugaan keterlibatan polisi dalam pertambangan ilegal sebenarnya terdengar agak nyaring di masyarakat. Namun, sejauh penindakan yang dilakukan oleh Polda Sultra, belum ditemukan adanya oknum aparat kepolisian yang terlibat. Terbaru, Polda Sultra melakukan penindakan terhadap masyarakat kecil atau perorangan yang didanai oleh pemodal.

Saya lalu bertanya-tanya, siapakah pemodal ini? Begitu beraninya si pemodal ini melakukan penambangan di lahan tanpa izin. Logikanya tak masuk akal, jika ia melakukan aktivitas pencurian tambang ilegal tanpa mendapatkan perlindungan.

Begini. Pemodal ini bisa jadi elit lokal yang berkuasa atau punya koneksi terhadap penguasa. Mereka punya banyak uang untuk memodali masyarakat dalam melakukan penambangan ilegal. Si pemodal inilah yang menyiapkan semua peralatan, berupa alat berat yang digunakan untuk mengeruk di area penambangan.

Lalu, mereka tinggal mempekerjakan masyarakat kecil sebagai penambang di lapangan. Karena pertambangan ilegal, tentu saja si pemodal butuh bekingan agar kegiatan penambangan dan penjualan hasil tambang tak mendapat tindakan hukum. Dari hasil penjualan itulah, oknum kepolisian yang terlibat kecipratan bagian.

Dalam penjualan hasil tambang ilegal itu, para mafia tambang harus menghitung berapa persen untuk dibagikan kepada aparat. Kalau menjual 10 ton misalnya, maka mereka harus menyisipkan berapa persen untuk aparat A dan berapa persen untuk aparat B. Intinya setiap penjualan, aparat A dan B ini harus disisipkan sekian persen untuk menjadi bagiannya.

Praktik-praktik seperti ini sebenarnya lumrah kita dengar di masyarakat. Para mafia tambang seringkali menyeret aparat kepolisian dalam menjalankan bisnisnya.

Bukan saja sebagai pelaku lapangan, tapi para mafia tambang terkadang menggerakan polisi untuk melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat yang menolak pertambangan. Muaranya satu, karena semua berkaitan dengan finansial yang besar. Mereka tak kuasa menolak uang.

Sebelum kasus Hasbudi dan Ismail Bolong, di Sulawesi Tenggara terus menyeruak bahwa ada dugaan keterlibatan polisi yang membekingi penambangan secara ilegal. Organisasi seperti Barisan Mahasiswa Pemerhati Pertambangan (BMPP) misalnya, sudah menyuarakan itu sejak 2018. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kendari, juga menyuarakan hal yang sama pada tahun 2021.

Yang terbaru, November 2022, datang dari Konsorsium Mahasiswa Nusantara (KMN). Mereka menduga bahwa maraknya aktivitas pertambangan ilegal di Bumi Anoa karena adanya keterlibatan aparat penegak hukum. Namun sampai hari ini, mereka tak tersentuh sama sekali. Petinggi terkesan melindungi yang bawahan.

Oleh karena itu, langkah tegas Kapolri untuk membereskan seluruh carut marut dalam bisnis pertambangan ilegal ini tentu sangat dinanti. Mafia tambang butuh perlindungan. Sementara polisi menjadi bekingan karena ada bayaran.

Mereka berkoordinasi dalam senyap dan tak terlihat. Begitu cara kerja mafia, menyuap polisi-polisi di daerah yang jauh dengan pusat.

Yang seringkali terdengar hanya sayup-sayup, bisikan-bisikan, dan itu sulit untuk menjadi viral. Tapi Hasbudi dan Ismail Bolong sebenarnya hendak membuka kotak pandora itu.

Dari bekingan mafia, pelaku lapangan, mereka yang diduga sebagai pemodal hingga kekayaan sejumlah anggota polisi yang tidak sesuai dengan gaji. Ini merupakan tambahan pekerjaan rumah untuk Kapolri, agar memperbaiki citra kepolisian di mata publik.

Berikutnya, tinggal menunggu ketegasan Kapolri untuk membongkar pihak-pihak yang terlibat dalam mafia pertambangan. Ya, lebih baik mendahului guncangan daripada menunggu untuk terguncang.

30 Oktober 2022

Buku Bajakan Sebagai Pelarian

 


Kawan saya langsung berkomentar ketika buku yang dipesannya secara online tiba, “Saya tidak mampu beli buku yang original. Harganya terlalu mahal, katanya, sambil membuka bungkus kirimannya yang berisi buku. Saya begitu paham dengan kondisi ekonominya. Sebagai mahasiswa yang berasal dari kampung, membeli buku dengan harga lebih dari ratusan ribu sudah pasti banyak pertimbangan. Saya pernah mengalami itu waktu masih mahasiswa. Tapi, saya mencoba menghindari untuk tidak membeli buku bajakan.

Dengan kiriman yang seadanya, tentu saja jika memaksakan diri membeli buku original, maka harus siap mengurangi jatah makan atau pada akhir bulan mengencangkan tali pinggang. Supaya perut tetap terisi dengan teratur dan tentu saja punya buku bacaan, ia tidak punya pilihan lain dengan mengakalinya membeli buku bajakan. Buku bajakan dijadikan semacam ‘pelarian’.

Buku yang ia pesan secara daring itu berjumlah 5 buah. Saya tidak asing dengan buku-buku itu. Di gramedia tersedia bahkan sebagian buku-buku itu pernah saya baca sekilas. Harganya berbeda cukup jauh. Satu buah buku ia beli dengan harga puluhan ribu, sementara di gramedia, harganya mencapai ratusan. Lima buah buku, kawan saya itu hanya mengeluarkan uang dua ratus ribu rupiah dengan ongkos kirimannya.

Apakah kawan saya itu dengan membeli buku bajakan salah? Tentu saja, saya tak menyalahkannya. Yang saya soroti adalah maraknya industri pembajakan dan mahalnya harga buku. Di tengah minat baca yang minim, indusri pembajakan buku semakin besar. Sebuah kontradiksi yang membuat saya geleng-geleng kepala. Kawan itu kaget, saat saya menjelaskan bahwa pembajak itu melanggar Hak Kekayaan Intelektual (HKI). “Jadi ini tidak boleh, katanya, sambil memeriksa lembar-lembar bukunya yang sebagian huruf kalimatnya sangat buram.

Beberapa tahun yang lalu, saya pernah mengikuti diskusi tentang minimnya literasi dan pembajakan buku. Salah satu pemateri, kurang lebih mengatakan begini: “Jika kita lebih memilih membeli buku bajakan daripada buku original, itu artinya kita hendak melanggengkan industri pembajakan buku.” Ya, mungkin ada benarnya. Tapi disisi yang lain, seharusnya tak bisa kesalahan dilimpahkan kepada konsumen buku-buku bajakan.

Faktor daya beli dan mahalnya harga buku menjadi penyebab, mengapa mahasiswa dan sebagian masyarakat memilih buku bajakan. Apa yang dialami kawan saya adalah sebuah fakta bahwa ia benar-benar tak bisa menjangkau harga buku original. Perpustakaan juga tak memiliki peran yang optimal agar setiap orang bisa mengakses buku-buku.

Jadi, buku seolah jadi komoditas yang hanya bisa dijangkau oleh mereka yang memiliki finansial yang cukup. Harusnya tak begitu. Buku harusnya tersebar luas, bisa dijangkau oleh kalangan bawah, masyarakat kota pinggiran maupun pedesaan.

Keterlibatan pemerintah memang sangat dibutuhkan. Untuk penerbit, pemerintah harus memberikan insentif ekonomi agar buku lebih gampang diakses dan dibeli oleh masyarakat luas. Ini juga bagian dari upaya untuk memutus rantai industri pembajakan buku. Harus didukung dengan regulasi, tentu saja.

23 Oktober 2022

Misbehaving

 


Dasar-dasar ekonomi politik, dan semua ilmu sosial secara umum, rupanya adalah psikologi. Boleh jadi akan ada suatu hari ketika kita akan bisa menyimpulkan hukum-hukum ilmu sosial berdasarkan kaidah-kadiah psikologi.

---Vilfredo Pareto, 1906


Akhir-akhir ini, rutinitasku sedang menuntaskan membaca terjemahan buku Misbehaving yang ditulis oleh Richard H. Thaler. Buku ini membuat saya tertarik dan penasaran, karena membahas tentang terbentuknya ekonomi prilaku. Ada pertanyaan di kepala saat melihat judul buku ini terpajang di gramedia. Apa itu ekonomi perilaku? Karena sebelumnya, ekonomi perilaku tak pernah saya dapatkan di bangku kuliah. Sebab didorong oleh rasa keingintahuan itu, maka buku ini sekarang berada ditanganku.

Pertengkaran para ahli ekonomi tentang model teori ekonomi, kiranya sudah banyak terjadi. Perdebatan para ekonom tradisional versus ekonom modern memang berlangsung sengit. Ada banyak pertentangan, namun itu biasa. Justru dengan itu, reputasi ilmu ekonomi sebagai ilmu sosial secara intelektual semakin kuat.

Sebelum saya bahas buku Richard H. Thaler, saya teringat dengan peraih nobel ekonomi bernama James Buchanan. Buchanan adalah ekonom yang mempelopori lahirnya perspektif teori Public Choice. Publik choice adalah sebuah teori yang penerapannya menggunakan metode-metode ekonom terhadap bidang politik. Buchanan mencoba menerangkan konsep publik choice bukan sebagai teori yang sempit, namun dipandang sebagai sebuah perspektif.

Bahwa sebenarnya tidak ada garis pemisah antara substansi ekonomi dan politik, antara pasar dan pemerintah (market and government), atau antara pribadi dan publik. Bagi Buchanan, ekonom harusnya memaksimalkan kekayaan paradigmanya sehingga defenisi disiplin ilmu tidak hanya berada dalam kerangka atau terminologi hambatan kelangkaan sumber-sumber ekonomi.

Buchanan menggunakan teori public choice untuk merambah atau mencoba menelaah apa yang menjadi obyek dalam ilmu politik. Ia mencoba mempertemukan kembali bidang ekonomi dan politik dalam satu wilayah analisis. Dan yang terjadi bukan berarti tanpa pertengkaran. Teorinya menjadi bahan perdebatan dan mendapat banyak kritik, bukan saja di kalangan ekonom, tapi juga di kalangan ahli ilmu politik.

Sebagaimana Buchanan, Thaler, salah satu yang menciptakan bidang ekonomi perilaku—sebuah konsep ekonomi yang didalamnya terdapat suntikan kuat ilmu psikologi dan ilmu-ilmu sosial lain— juga menemui banyak kritik dan perdebatan. Terutama mereka yang masih setia dengan ekonomi tradisionalnya menganggap, penerapan ekonomi perilaku masih sangat terbatas.

*

Buku ini adalah cerita awal perjalanan karier Thaler bagaimana ia memulai mengembangkan konsep bidang ekonomi perilaku. Isinya tak melulu soal riset, perdebatan para ekonom, tapi anekdot, dan bahkan candaan. Salah satu pembimbing disertasinya, Danny Kahneman menganggap bahwa yang paling hebat dari Thaler dan membuat dia istimewa adalah karena kemalasannya.

Ya, buku ini ditulis oleh seseorang yang memang diakui kemalasannya. Sherwin Rosen, pembimbing tesisnya beranggapan, Thaler tak punya masa depan yang cerah dalam bidang ilmu ekonomi modern. Namun berkat pembimbingnya, Danny Kahneman, kemalasan Thaler berubah menjadi sebuah aset.

Richard H. Thaler mulai mempertanyakan teori ekonomi sewaktu menjadi mahasiswa pascasarjana di departemen ekonomi University of Rochester. Ia punya banyak keraguan mengenai bahan yang diajarkan di kelas, tapi tak yakin apakah masalahnya di teori atau karena pemahamannya yang kurang memadai.

Selama empat dasawarsa, sejak kuliah pascasarjana, ia telah disibukan dengan berbagai kisah mengenai cara manusia menyimpang dari mahluk fiktif yang biasa ada di model ekonomi. Ia bukan hendak menyalahkan manusianya. Namun masalahnya, ada pada model yang digunakan ahli ekonomi, menggantikan Homo sapiens dengan mahluk fiktif bernama Homo economicus atau biasa yang ia singkat Ekon. Jika dibandingkan dengan mahluk fiktif Ekon, manusia banyak melakukan prilaku keliru, dan itu berarti model ekonomi membuat banyak prediksi yang buruk.

Dengan tegas Thaler hendak mengatakan, kita sedang tak hidup di dunia Ekon. Kita hidup di dunia manusia dan sebagian besar ahli ekonomi tahu itu. Dan karena itulah, riset ekonomi perlu melakukan pendekatan yang lebih bernas, yang mengakui keberadaan dan relevansi manusia. Alasannya menambahkan Manusia ke teori ekonomi adalah untuk menaikan akurasi prediksi.

Memang benar, buku ini sebuah terawangan nakal dan mencerahkan bahwa manusia punya banyak kekurangan. Dalam mengambil sebuah keputusan, kita pasti pernah mengalami bias dan kadang menyimpang dari standar rasionalitas yang dipakai ahli ekonomi. Itu artinya kita berprilaku keliru (misbehaving). Dari itu, Thaler mencoba memadukan ekonomi dan psikologi manusia, bagaimana membuat keputusan lebih cermat di tengah dunia yang makin disrupsi.

Namun tentu saja ini tak mudah. Selama bertahun-tahun, banyak ahli ekonomi yang menolak keras seruan mendasarkan model di atas penjabaran perilaku manusia yang lebih akurat. Kahneman menyebut mereka sedang terjangkit penyakit apa yang disebut buta karena teori. Ini hampir melanda semua ahli ekonomi. Mereka menerima wawasan luas mengenai perilaku Ekon, tapi dengan tega mengorbankan intuisi mengenai hakikat manusia dan interaksi sosialnya. Para ekonom tradisonal tak lagi menyadari, mereka hidup di dunia berisi manusia.

**

Bab 17 misalnya dengan judul “Debat Bermula”, itu memperlihatkan bagaimana Merton Miller menyerang makalah keuangan perilaku oleh Hersh Shefrin dan Meir Statman di konferensi University of Chicago. Dengan terang Merton Miller mengatakan bahwa pendekatan perilaku boleh jadi diterapkan ke Bibi Minnie dan beberapa orang lain, tapi hanya sebatas itu.

Sama dengan Miller, di konferensi itu Allan Kleidon juga menyerang makalah Robert Shiller. Metode dan kesimpulan makalah Shiller yang berjudul “Do Stock Prices Too Much to Be Justified by Subsequent Changes in Dividends?” diserang bahkan para pengkritiknya menulis makalah dengan mengolok-olok sebagai “Shiller Killer.”

Setelah konferensi Oktober 1985 di Chicago itu, Thaler memikirkan kaitan antara gagasan Thomas Kuhn dengan apa yang ia kerjakan. Ia membaca buku terobosan Thomas Kuhn The Structure of Scientific Revolutions dan secara diam-diam melamunkan sesuatu apakah pergeseran paradigma dapat terjadi dalam ilmu ekonomi. Ia terus mencari, melakukan kerja-kerja riset yang kemudian mendorongnya untuk melakukan lompatan dari jalur normal suatu bidang dan bergerak ke arah baru. Untuk itu, ia membutuhkan serangkaian anomali.

Bersama sahabatnya ahli ekonom terkenal, Hal Varian, Thaler mendapat gagasan untuk menulis artikel anomali yang akan dipublikasikan di jurnal of Economic Perspektives. Jurnal itu dibuat oleh American Ekonomic Association, yang di editori Joseph Stiglitz. Empat kali setahun ia menulis mengenai anomali. Tulisannya berupa dokumentasi faktor-faktor yang seharusnya tak relevan tapi sangat penting, atau kumpulan fakta lain yang tak konsisten dengan cara standar ilmu ekonomi.

Tulisan-tulisannya di jurnal itu, ia hendak menunjukan kepada para ahli ekonomi bahwa ada banyak fakta yang tidak sejalan dengan model-model ekonomi tradisional. Ia mencoba membantu menegakkan gagasan bahwa model ekonomi dapat dilakukan dengan cara baru berdasarkan Manusia, bukan mahluk fiktif bernama Ekon. Untuk mengembangkan gagasannya, ia kemudian membangun tim bersama George Loewenstein, Robert Shiller, Colin Camerer, dan Eric Wanner. Dan kerjasama itu dianggap gagal.

Namun ia tak berhenti disitu. Di kesempatan lain, ia bergabung dengan tim baru, Amos dan Kahneman juga terlibat. Ia cukup antusias, sebab banyak ekonom muda yang tertarik, melakukan riset mengenai ekonomi perilaku. Riset yang mereka hasilkan, mengubah ekonomi perilaku menjadi bagian aktif ilmu ekonomi arus utama. Dan itu semua tak terlepas dari keterlibatan Eric Wanner yang memulai pendanaan riset.

***

Sudah empat puluh tahun lebih, model ekonomi perilaku tak lagi berada di pinggiran. Menulis makalah ekonomi yang menganggap orang berperilaku seperti manusia tak lagi dianggap perilaku keliru. Semua telah banyak yang berubah. Namun, Thaler menganggap membangun versi ilmu ekonomi yang lebih kaya, dengan Manusia sebagai pusat masih belum selesai.

Sebelumnya tak pernah ada yang mengira pendekatan perilaku dalam ekonomi berdampak besar terhadap keuangan. Model itu kemudian dianggap serius. Di banyak isu, perdebatan antara kubu rasional dan perilaku telah mendominasi kepustakaan ekonomi finansial selama dua dasawarsa. Untuk itu, pengembangan teori keuangan ekonomi berbasis bukti masih akan terus berlangsung.

Ada bidang ilmu ekonomi yang ia ingin kembangkan menggunakan pendekatan perilaku yaitu makroekonomi. Ia menganggap isu besar kebijakan moneter dan fiskal sangat penting bagi kesejahteran negara. Dan pemahaman akan Manusia sangat penting memilih kebijakan yang bijak.

Ekonomi perilaku, menurutnya kini telah menjadi ilmu ekonomi yang tumbuh dan bisa ditemukan di sebagian besar universitas terbaik di dunia. Bahkan para ahlinya menjadi kalangan pengarah kebijakan publik. Pembangunan ekonomi perilaku mencakup banyak upaya, termasuk membangun rasa optimis mengenai masa depan ilmu ekonomi.

Ketika semua ahli ekonomi sama-sama berpikiran terbuka, maka pertengkaran akan membuat bidang ilmu ekonomi makin kuat.


27 Agustus 2022

KISAH INSPIRATIF DARI SEORANG MANTAN NAPI

Gusti Made Dwiadya

Di pinggiran Kota Kendari, Kelurahan Wua-Wua, Sulawesi Tenggara, terdapat kisah menarik dan menakjubkan dari seorang mantan narapidana. Tadinya, ia tak mempunyai keterampilan apa-apa. Namun, berkat Lapas Kendari mengadakan pelatihan cara bertani hidroponik dengan salah satu SMA di Kendari, nasibnya kian berubah. Setelah keluar dari jeruji besi, ia mengembangkan keterampilannya dengan bertani modern, membangun mitra bisnis, dan mendirikan sebuah CV.

Baginya, penjara adalah tempat untuk kotemplasi, yang lalu menempa dirinya menjadi pribadi yang sabar dan ikhlas. Penjara bukan akhir dari perjalanan hidupnya. Ia menganggap, penjara sebagai tempat untuk transformasi diri. Selama dipenjara ia tetap memelihara impiannya, menjalani sebuah kehidupan yang lebih baik setelah mendapatkan kebebasannya. Dari keteguhannya itu, setelah bebas ia perlahan-lahan menata ulang keping demi keping masa depan. Hari-harinya lalu berubah, hidupnya lebih bermakna, dan bisa menginspirasi banyak orang.

***

Sore itu ia tersenyum dengan semringah. Lewat asistennya, ia sudah mengetahui tujuan kedatanganku. Sambutannya sangat bersahabat. Ia sedang sibuk dengan ketikan layar handphonenya ketika saya temui. Tak lama berselang, ia juga mengangkat telepon dari seseorang.

Ia mengatakan, tengah melayani konsumen untuk pengiriman sayuran di daerah pertambangan Morowali. “Lagi ada permintaan sayuran untuk pengiriman besok di daerah pertambangan Morowali sebanyak ¼ ton,” katanya. Setelah itu, ia mulai memberikan informasi dan berkisah banyak hal tentang dirinya dan usaha pertanian yang ia tengah kembangkan.

Lelaki itu bernama Gusti Made Dwiadya. Usianya berkisar 36-an tahun. Dengan senyum yang mengembang, ia mempersilahkan saya untuk menanyakan beberapa hal. Ia kemudian merenung sejenak ketika saya memintanya untuk bercerita tentang dirinya. Ia mencoba mengais-ngais ingatan. Ia mengenang masa lalu yang begitu pelik. Saat memasuki Rutan Kendari, ia menganggap hidupnya telah selesai. Ia tak pernah membayangkan bagaimana masa depan keluarganya setelah bebas. Skillnya tak ada sama sekali. Ia seperti telah kehilangan harapan.

Namun dibalik keterpurukan di dalam penjara, ia lalu menemukan keajaiban. Ia belajar bertani hidroponik dari suatu sekolah SMA yang mengadakan pelatihan di dalam rutan Kendari. Selama dua tahun di penjara, ia terus menerus membaca dan mempelajari cara-cara bertani hidroponik secara detail. Tiap hari, sebelum belajar ia merenungi nasibnya.

Gusti Made beranggapan, ketakutan terbesar setelah bebas adalah ketika ia tidak bisa diterima dimasyarakat. Stigma negatif sebagai mantan napi sangat melekat pada dirinya. Maka jalan satu-satunya agar bisa menafkahi istri dan anaknya, dengan membangun usaha pertanian hidroponik.

Bertani Di halaman Rumah

Gusti Made matanya berkaca-kaca ketika ia menceritkan titik tanjak kisah hidupnya. Tak ada yang bisa dikerjakan selain bertani. Melamar pekerjaan pun akan sulit diterima. Dengan bekal keahlian yang dipelajari di dalam rutan Kendari, ia mencoba bertani hidroponik di halaman rumahnya. Dengan luas lahan yang seadanya, ia mulai merancang instalasi hidroponik dengan modal sepuluh juta rupiah. Ia memulai dengan mencoba menanam sayur pakcoy dan selada.

Di tengah jalan, pertanian hidroponik yang ia kembangkan ternyata tak berjalan mulus. Ada banyak tantangan yang ia hadapi. Mulai dari kekurangan modal, sayurnya yang gagal panen, hama dan penyakit yang tidak diketahui, ukuran tanaman yang tidak maksimal, pasar yang sulit dan tidak ada yang mau menerima hingga cuaca yang buruk.

Dalam situasi itu, Made tak pernah patah arang. Ia mesti mempelajari segala hal yang menderahnya. Ia tak ingin berdiam cukup lama. Ia harus menemukan solusi atas apa yang dihadapinya.

Berkat internet ia kemudian menemukan jawaban-jawabannya. Ia bercerita, kebiasaannya dengan mencari informasi melalui internet karena tidak ingin ketinggalan informasi. Ia juga percaya, di era digital petani tak lagi tertinggal. Semburan informasi di internet bisa memberi kemudahan bagi petani. Di youtube katanya, ia belajar banyak hal, termasuk menemukan inspirasi dari petani-petani hidroponik yang sukses.

Dari situ ia lalu mulai bangkit. Perlahan-lahan ia mencoba mengembangkan pertanian hidroponiknya. Dari segi pemasaran, ia tak lagi menemui kesulitan. Pemasaran produk sayurannya kini berada dalam ekosistem digital, melalui media sosial seperti instagram, youtube, dan facebook.  Usahanya kini hampir menguasai seluruh pasar yang ada di Sulawesi Tenggara, terutama pasar restoran dan rumah makan. “Jadi pasar kami itu bukan saja di Kendari, tetapi di daerah-daerah pertambangan seperti Morosi dan Morowali. Kami juga pernah mengirim sayuran di Muna dan Buton,” katanya.

Berkat kegigihannya dalam mengembangkan pertanian hidroponik, Made lalu mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak. Ia juga banyak mendapat undangan untuk memberikan sosialisasi pertanian hidroponik. Di Lapas Kendari, ia turut memberikan pelatihan kepada para narapidana. Ia kerap memberikan pelatihan wirausaha produktif yang bekerjsama dengan UPTD Balai Peningkatan Produktivitas (BPP) dan Rumah Tahanan Kelas IIA Kendari. Di pertaniannya atau biasa ia sebut sebagai Rumah Bali Hidroponik, sering dijadikan sebagai tempat magang dari beberapa kampus. Ia juga melatih beberapa peserta dari Balai Pelatihan Kerja (BLK) Kendari.

Tak hanya sampai disitu, Made hebatnya adalah ketika ia berhasil menginspirasi anak-anak muda untuk bertani hidroponik. Ia berbagi pengalaman dan dengan senang hati selalu mengedukasi anak-anak muda. Dan kini anak-anak muda itu punya lahan pertanian hidroponik sendiri. Mereka hanya menanam dan merawat, sementara pemasarannya ditangani oleh Made.

Kata Made, “Dulu awalnya saya hanya perlu modal sepuluh juta, kini punya aset dua miliar”. Ini pembuktian, bahwa seorang mantan narapidana pun bisa sukses.

Di pinggiran kota Kendari, saya merasa beruntung bertemu dengan lelaki yang penuh semangat dan inspirasi ini. Bahwa di jeruji besi adalah tempat awal untuk membangun keping demi keping masa depan yang bahagia.