Ilustrasi Mafia (Sumber Foto: Pixabay) |
Belum hilang ingatan kita, tentang keterlibatan seorang
anggota polisi yang mengelola sebuah tambang emas ilegal di Bulungan,
Kalimantan Utara. Namanya Briptu Hasbudi, polisi berpangkat bintara yang
bertugas di Polairud, Polda, Kalimantan Utara.
Ia adalah pemilik atau bos sekaligus koordinator tambang
emas ilegal itu. Selama dua tahun melakukan aktivitas penambangan emas secara
ilegal, Hasbudi berhasil mengumpulkan pundi-pundi uang hingga membuatnya kaya.
Bisnisnya menggurita. Asal kekayaanya bukan saja dari
tambang emas ilegal, tapi berupa usaha pengiriman pakayan bekas dan bisnis
daging yang ilegal pula. Bahkan polisi saat melakukan penggeledahan menemukan,
didalam pengiriman pakayan bekas diselipkan narkoba. Hasil dari kegiatan ilegal
itu diduga mengalir kesejumlah pihak.
Tentu ini bukan sebuah kejadian luar biasa, yang membuat
saya tercengang. Kasus Hasbudi sebenarnya hendak mengkonfirmasi jika aparat
penegak hukum memang rentan bermain tambang ilegal. Ada yang terendus dan ada pula
yang belum terendus.
Kasus Hasbudi, hanya segelintir kasus yang terendus, kena
sial, dan harus ditangkap ketika berada di bandara saat hendak melarikan diri.
Apakah benar dia menikmati sendiri? Saya sangat ragu dengan
itu. Sudah menjadi rahasia umum jika ada saja polisi mencari “pelarian” untuk menghasilkan
pendapatan tambahan. Ada yang bermain-main dengan bisnis narkoba. Atau bisnis
lain, seperti desas desus bermain dengan judi online.
Apakah hanya itu? Tentu saja tidak. Ada dugaan yang muncul
bahwa senior-senior mereka telah lama keasyikan bermain di sektor tambang.
Mereka biasanya dengan membentuk geng atau kelompok yang kemudian menjadi
bekingan para mafia. Gerakan mereka senyap. Gerakan itu sangat terkoordinasi
dengan baik, bermain di sudut-sudut pusaran mafia pertambangan ilegal.
Yang terbaru adalah pengakuan Ismail Bolong, seorang perwira
polisi berpangkat Aiptu, yang bertugas di Polresta Samarinda, Kalimantan Timur.
Video pengakuannya menggemparkan jagad maya dan membuat geger di Trunojoyo.
Ia adalah seorang pengepul tambang batu bara ilegal di
Santan Ulu, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Ia mengajukan pensiun dini
dari kepolisan setelah kegiatan ilegalnya terendus oleh Divisi Propam Polri,
yang kala itu masih dipimpin Ferdy Sambo.
Pengakuan Ismail Bolong, meski kemudian ia telah meralatnya,
semakin menegasikan bahwa aparat kepolisian telah lama “bermain” dan
“membekingi” kegiatan konsorsium pertambangan ilegal.
Dokumen yang didapatkan oleh tim detikX, yang merupakan
hasil penyelidikan Biro Paminal Divisi Propam Polri pimpinan Ferdy Sambo,
ditemukan betapa terkoordinasinya keterlibatan polisi dari tingkat Polsek,
Polres, Polda Kaltim, dan Bareskrim Polri dalam pusaran mafia tambang ilegal
(detik.com/14/11/22).
Nah, yang menggegerkan pengakuan Ismail Bolong itu
sebenarnya ketika ia menyebut nama Kabareskrim Polri, Komjen Pol Agus
Andrianto. Kepada petinggi Polri itu, Ismail mengaku sudah tiga kali memberikan
uang koordinasi pada akhir 2021 dengan nilai 6 miliar. Namun, Komjen Agus
Andrianto membantah telah menerima uang suap dari tambang ilegal itu.
Yang menarik bagi saya adalah tentang uang koordinasi. Uang
koordinasi ini adalah permainan suap dalam ruang senyap dan sangat sulit untuk
dideteksi. Mereka saling mengunci. Paling, hanya terdengar sayup-sayup dan
bisikan dari telinga ke telinga. Ya, itu saja.
Tapi terlepas dari itu, uang itu sangat penting, biasanya
disebut uang pelicin, agar konsorsium tambang ilegal berjalan lancar tanpa
hambatan.
Praktik koordinasi itu kira-kira begini. Pemodal dan
penambang membuka tambang di lahan tanpa izin lalu memberikan fee kepada
pemilik lahan. Agar tidak mendapat tindakan proses hukum, polisi mendapat
bagian dari pemodal dan penambang. Ada pangkat bawahan sebagai pelaksana di
lapangan.
Supaya aman, si pelaksana lapangan ini harus berkoordinasi
dengan Polsek dan Polres. Setelah memastikan semua terkendali, ada tingkat
Polda yang mesti harus mendapatkan bagian atau jatah. Maka fee tersebut
harus mengalir pada perwira tinggi di Polda. Apakah semua sudah aman? Tentu
belum. Di atas Polda, ada Bareskrim.
Jadi, agar konsorsium tambang ilegal tetap berjalan tanpa
gangguan, maka diperlukan koordinasi yang terstruktur. Ismail Bolong sangat
paham dengan permainan ini.
Ia tak ubahnya mafia tambang kelas kakap yang mengetahui
semua jalan kendali permainan. Ia mesti mengamankan semua katup, sebagai upaya
agar kegiatan pengepulan batu bara tak mendapat tindakan hukum.
Katup pengaman yang paling penting, yang mesti ia pegang
kendalinya adalah Bareskrim. Nah, di Bareskrim itu, Ismail Bolong bertemu
Brigjen Pipit Rismanto di ruangannya untuk meminta izin berbisnis tambang namun
diusir (detik.com/14/11/2022).
Dari kegiatan pengepulan batu bara ilegalnya, dari sejak
Juli 2020 hingga November 2021, Ismail Bolong mengaku mendapat keuntungan 5-10
miliar setiap bulannya.
Selama setahun lebih mengeruk emas hitam ilegal, ia
menyebut, selain Komjen Pol Agus Andrianto, uang koordinasi juga ia serahkan
kepada AKP Asriadi dengan nilai 200 juta. Uang tersebut diduga disajikan tak
lain untuk mengamankan kegiatannya agar tak terusik oleh aparat di daerah dan
tentu saja untuk mendapat perlindungan dari para petinggi.
Pada kenyataannya memang, kegiatan bisnis ilegal Ismail tak
pernah terusik, meski ia disebut beberapa kali yang diduga menjadi bekingan
sekaligus koordinator penambangan batu bara ilegal. Bahkan penyidik yang
menangani kasus keterlibatannya, menghentikan penanganan kasus itu karena
beberapa anggota dihubungi oleh perwira tinggi Polri (detik.com/14/11/2022).
Ismail kemudian menjadi polisi yang sangat disegani, baik di
masyarakat, sesama polisi maupun pada petugas Kesatuan Pengelolaan Hutan
Produksi (KPHP) Santan Ulu. Bukan saja karena koneksinya dengan para petinggi
Polri, namun karena pundi-pundi kekayaannya dari hasil mengeruk emas hitam
ilegal. Kekayaannya itu tidak hanya dideklarasikan dengan rumah mewah, tapi 5
mobil yang harganya ratusan juta hingga miliaran.
Pertanyaan kita sekarang, apakah Kapolri akan serius
menindak polisi yang “bermain” tambang?
Beberapa bulan terakhir, citra Polri benar-benar rontok. Ada
kasus Ferdy Sambo, yang merekayasa kasus pembunuhan Brigadir Joshua. Ada
peristiwa Kanjuruhan, polisi menembakan gas air mata kepada suporter Aremania
yang menyebabkan ratusan orang meninggal. Ada kasus Tedy Minahasa yang terlibat
dalam kasus narkoba. Sekarang yang tak kalah mengejutkan adalah kasus Ismail
Bolong.
Jika tiga kasus itu, Kapolri bisa menangani dengan tegas
tanpa pilih kasih, harusnya mafia sektor pertambangan yang melibatkan kepolisian
juga bisa ditangani dengan lebih tegas.
Hasbudi dan Ismail Bolong adalah bukti nyata yang seharusnya
mempertegas langkah Kapolri untuk memberantas mafia pertambangan. Tentu saja
tidak hanya fokus di daerah Kalimantan Timur atau Kalimantan Utara saja.
Di daerah-daerah pertambangan lain, seperti Sulawesi
Tenggara, Kapolri sudah saatnya memberikan perhatian khusus.
Butuh Ketegasan Kapolri
Menjamurnya konsorsium tambang ilegal karena praktek ini
langgeng dan tak diberantas dengan serius. Kementerian ESDM mencatat, ada 2.741
kasus penambangan ilegal yang tersebar di Indonesia. Dari jumlah itu, 2. 645
lokasi merupakan pertambangan mineral, sementara 96 lokasi adalah pertambangan
batu bara. Dalam kegiatan pertambangan ilegal itu, jumlah pekerja yang terlibat
diperkirakan sekitar 3,7 juta orang.
Bayangkan, ada 2.000 lebih kasus pertambangan ilegal di Indonesia.
Tentu saja ini bukan jumlah yang tidak sedikit dan bukan pula masalah yang
remeh-temeh. Ini persoalan besar karena menyangkut kerugian negara yang tak
mendapatkan pemasukan pajak. Pertanyaannya, mengapa kasus ini begitu banyak,
seolah menjamur, dan dibiarkan begitu saja? Ada apa sebenarnya?
Banyak yang menyakini bahwa menjamurnya pertambangan ilegal
setiap daerah, ada dugaan aparat kepolisian yang terlibat. Entah itu menjadi
bekingan, pelaku lapangan atau mereka yang diduga sebagai pemodal.
Di Sulawesi Tenggara, dugaan keterlibatan polisi dalam
pertambangan ilegal sebenarnya terdengar agak nyaring di masyarakat. Namun,
sejauh penindakan yang dilakukan oleh Polda Sultra, belum ditemukan adanya
oknum aparat kepolisian yang terlibat. Terbaru, Polda Sultra melakukan
penindakan terhadap masyarakat kecil atau perorangan yang didanai oleh pemodal.
Saya lalu bertanya-tanya, siapakah pemodal ini? Begitu
beraninya si pemodal ini melakukan penambangan di lahan tanpa izin. Logikanya
tak masuk akal, jika ia melakukan aktivitas pencurian tambang ilegal tanpa
mendapatkan perlindungan.
Begini. Pemodal ini bisa jadi elit lokal yang berkuasa atau
punya koneksi terhadap penguasa. Mereka punya banyak uang untuk memodali
masyarakat dalam melakukan penambangan ilegal. Si pemodal inilah yang
menyiapkan semua peralatan, berupa alat berat yang digunakan untuk mengeruk di area
penambangan.
Lalu, mereka tinggal mempekerjakan masyarakat kecil sebagai
penambang di lapangan. Karena pertambangan ilegal, tentu saja si pemodal butuh
bekingan agar kegiatan penambangan dan penjualan hasil tambang tak mendapat
tindakan hukum. Dari hasil penjualan itulah, oknum kepolisian yang terlibat
kecipratan bagian.
Dalam penjualan hasil tambang ilegal itu, para mafia tambang
harus menghitung berapa persen untuk dibagikan kepada aparat. Kalau menjual 10
ton misalnya, maka mereka harus menyisipkan berapa persen untuk aparat A dan
berapa persen untuk aparat B. Intinya setiap penjualan, aparat A dan B ini
harus disisipkan sekian persen untuk menjadi bagiannya.
Praktik-praktik seperti ini sebenarnya lumrah kita dengar di
masyarakat. Para mafia tambang seringkali menyeret aparat kepolisian dalam
menjalankan bisnisnya.
Bukan saja sebagai pelaku lapangan, tapi para mafia tambang
terkadang menggerakan polisi untuk melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat
yang menolak pertambangan. Muaranya satu, karena semua berkaitan dengan
finansial yang besar. Mereka tak kuasa menolak uang.
Sebelum kasus Hasbudi dan Ismail Bolong, di Sulawesi
Tenggara terus menyeruak bahwa ada dugaan keterlibatan polisi yang membekingi
penambangan secara ilegal. Organisasi seperti Barisan Mahasiswa Pemerhati
Pertambangan (BMPP) misalnya, sudah menyuarakan itu sejak 2018. Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) Kendari, juga menyuarakan hal yang sama pada tahun 2021.
Yang terbaru, November 2022, datang dari Konsorsium
Mahasiswa Nusantara (KMN). Mereka menduga bahwa maraknya aktivitas pertambangan
ilegal di Bumi Anoa karena adanya keterlibatan aparat penegak hukum. Namun
sampai hari ini, mereka tak tersentuh sama sekali. Petinggi terkesan melindungi
yang bawahan.
Oleh karena itu, langkah tegas Kapolri untuk membereskan
seluruh carut marut dalam bisnis pertambangan ilegal ini tentu sangat dinanti.
Mafia tambang butuh perlindungan. Sementara polisi menjadi bekingan karena ada
bayaran.
Mereka berkoordinasi dalam senyap dan tak terlihat. Begitu
cara kerja mafia, menyuap polisi-polisi di daerah yang jauh dengan pusat.
Yang seringkali terdengar hanya sayup-sayup,
bisikan-bisikan, dan itu sulit untuk menjadi viral. Tapi Hasbudi dan Ismail
Bolong sebenarnya hendak membuka kotak pandora itu.
Dari bekingan mafia, pelaku lapangan, mereka yang diduga
sebagai pemodal hingga kekayaan sejumlah anggota polisi yang tidak sesuai
dengan gaji. Ini merupakan tambahan pekerjaan rumah untuk Kapolri, agar
memperbaiki citra kepolisian di mata publik.
Berikutnya, tinggal menunggu ketegasan Kapolri untuk membongkar pihak-pihak yang terlibat dalam mafia pertambangan. Ya, lebih baik mendahului guncangan daripada menunggu untuk terguncang.