Ilustrasi Foto: (Edi Wahyono/Deticom) |
Informasinya
menyebar sangat cepat. Seorang kawan, jurnalis lokal di Kendari mengabarkan, kepala
daerah perempuan pertama yang menjabat sebagai Bupati di Sultra itu terjerat
kasus korupsi. Jabatannya tergolong singkat. Dia hanya menjabat selama tiga
bulan setelah menggantikan Bupati sebelumnya Samsul Bahri karena meninggal
dunia. Bupati Koltim itu, ikut terlibat dalam korupsi dana hibah BNPB berupa
dana rehabilitasi dan rekonstruksi (RR) serta dana siap pakai (DSP).
Dia adalah
Andi Merya Nur, seorang politisi yang mempunyai karir cukup cemerlang. Di usia
25 tahun, dia sudah menjadi anggota DPRD saat terpilih pada pemilu 2009 lalu. Pada
Pemilu 2014, dia terpilih kembali sebagai anggota DPRD. Setahun menjabat, dia mengundurkan
diri karena ikut mendampingi Toni Herbiansah sebagai Wakil Bupati. Andi Merya berhasil
memenangi kontestasi Pilkada di Kolaka Timur itu.
Dari legislatif
daerah terpilih dua kali, dia beralih dengan mulus ke eksekutif. Andi Merya, dua
kali terpilih sebagai Wakil Bupati dengan pasangan yang berbeda. Pada pemilihan
Bupati tahun 2020, dia mendampingi Samsul Bahri dan berhasil menyabet kursi
Wakil Bupati. Belum sebulan dilantik, pasangannya, Samsul Bahri meninggal
dunia.
Pada 14
Juni 2021 dengan usia yang masih 37 tahun, Andi Merya melanggeng sebagai Bupati.
Kewenangannya tentu makin luas. Dia adalah pengambil kebijakan tertinggi di
daerahnya. Dia juga harus mengusulkan dan mengontrol proyek-proyek di wilayahnya.
Pada posisi itu, dia terjerumus dan tersandung masalah yang harus berhadapan
dengan lembaga anti rasuah. Barang bukti yang hanya 25 juta rupiah, membuatnya
terjungkal. Karirnya yang cukup cemerlang itu, kini runtuh dengan seketika.
Kasus-kasus
korupsi di Sultra yang melibatkan kepala daerah sebelum Andi Merya, tentu sudah
banyak terjadi. Ada nama mantan Gubernur Nur Alam dan Bupati Buton, Samsu Umar
Abdul Samiun. Namun kasus korupsi yang menghebohkan publik adalah tertangkapnya
Wali Kota Kendari, Adriatma Dwi Putra bersama ayahnya, Asrun, pada tahun 2018. Mereka
dicokok KPK karena keterlibatannya dalam korupsi fee proyek
infrastruktur di Kota Kendari.
Adriatma
Dwi Putra merupakan produk dinasti politik dari ayahnya, Asrun yang menjabat
Wali Kota Kendari selama dua periode. Dia adalah putra mahkota yang
digadang-gadang akan meneruskan kekuasaan ayahnya. Pada saat itu, setelah Asrun
meninggalkan tampuk kekuasaannya sebagai Wali Kota, dia berusaha melebarkan
kekuasaan untuk berebut kursi empuk Gubernur. Sementara untuk Wali Kota, dia
mencalonkan anaknya dan terpilih.
Yang menarik,
anaknya Adriatma Dwi Putra merupakan Wali Kota termuda yang menjabat sangat
singkat, selama lima bulan. Dia menjabat sejak 9 Oktober 2017 sampai dengan 28
Februari 2018. Kasus korupsi yang menimpahnya berupa fee proyek
infrastruktur ditengarai akan digunakan sebagai uang kampanye ayahnya, yang pada
saat itu sedang mencalonkan diri sebagai Gubernur. Meski ayahnya sudah tersangka,
langkahnya tidak terhenti. Asrun tetap berkompetisi dengan Cagub lain, meski
kalah karena kasus korupsi yang melibatkannya.
Hanya
berselang beberapa bulan, Bupati Buton Selatan, Agus Feisal Hidayat juga
dicokok KPK. Dia terlibat kasus penerimaan hadiah dan janji dalam pengerjaan
proyek di Buton Selatan. Dalam kasus ini, KPK menyita barang bukti uang senilai
409 juta rupiah.
Sama dengan
Adriatma, jalan politik Agus Feisal Hidayat juga bersinggungan dengan
kekuasaan. Ayahnya, Sjafei Kahar, pernah menjabat sebagai Bupati Buton selama
dua periode. Selama ayahnya menjabat, Agus Feisal sangat melekat dengan
kekuasaan. Karirnya berjalan mulus. Posisinya saat itu dimulai dari kepala
seksi hingga menjadi staf ahli Bupati Buton.
Perjalanan
Agus Feisal untuk merengkuh kekuasaan memang sangat panjang. Agus Feisal, dua kali
gagal sebagai Wakil Wali Kota Baubau, pada tahun 2008 dan 2012. Setahun sebelumnya,
2011, dia juga gagal dalam memperebutkan kursi kekuasaan dalam Pilkada Buton. Meski
awalnya keluar sebagai pemenang, wangi kemenangan itu hanya dihirup sesaat
saja. Kemenangannya dianulir oleh Mahkama Konstitusi. Dari sinilah awal
terjungkalnya Umar Samiun dari kursinya sebagai Bupati Buton pada tahun 2017. Umar
Samiun ditahan KPK terkait kasus suap pada ketua MK, Akil Mochtar yang
menangani Pilkada Buton di tahun 2011.
Ungkapan,
kegagalan adalah kemenangan yang tertunda ternyata sangat berlaku untuk Agus
Feisal. Dengan bekal pengalamannya, dia kemudian mengikuti kontestasi Pilkada
Buton Selatan pada tahun 2017. Tiga kali menelan pil pahit dalam panggung
politik, dia kemudian mendapatkan momentum kemenangannya. Mahkota itu berhasil dia
rebut. Perjuangannya berbuah dengan kemenangan manis.
Namun siapa
sangka mahkota itu hanya sekadar singgah dan berubah pil pahit kemudian. Hanya setahun
menjabat, dia terjerembab dalam godaan kekuasaan. Kursi empuk yang hendak
didudukinya selama lima tahun, berubah menjadi ruang pengap dan gelap dalam sel
tahanan.
**
Riwayat
panggung politik kita memang pada kenyataannya, banyak para elit yang berkuasa selalu
menempatkan atau mendorong keluarganya pada posisi penting. Pertalian itu bukan
tak mungkin berbahaya. Ketika penguasa wilayah hanya datang pada segelintir
keluarga, maka kekuasaan itu menjadi tak terkontrol atau kekuasaannya tak
memiliki batasan. Muaranya adalah korupsi. Ia mesti melayani kepentingan banyak
pihak.
Di Muna,
juga dihadapkan dengan dinasti politik Ridwan Bae yang saat ini tercatat sebagai
anggota DPR RI. Sebelumnya, dia pernah menjabat sebagai Bupati Muna dua periode.
Anaknya Iksan Taufik, meski kalah pada Pilkada Muna Barat, digadang-gadang akan
meneruskan tahta politik ayahnya. Putrinya, Wa ode Rabia Al Adawia telah
berhasil merebut kursi DPD. Ponakannya, Rusman Emba, tengah menikmati jabatan
sebagai Bupati Muna di periode keduanya.
Sementara
di Konawe, ada nama Kery Saiful Konggoasa. Dia sedang menjabat sebagai Bupati
Konawe untuk periode kedua. Dari beberapa informasi yang beredar, dia tengah
menyiapkan diri untuk berebut kursi Gubernur. Anaknya, Fachri Konggoasa sedang
menjabat sebagai anggota DPR RI.
Lalu, akankah
korupsi di Sultra dapat berakhir, mengingat bayang-bayang para elit tengah
membentuk dinasti politik!? Di tengah nikmatnya kekuasaan, godaan datang silih
berganti dan menggiurkan. Ibarat dinding, ada yang cepat keropos lalu runtuh,
ada juga yang lama bertahan dan tetap tegak berdiri. Semuanya hanya menunggu
waktu.
Godaan
Dalam Kekuasaan
Pepatah
yang mengatakan, semakin tinggi pohon, semakin kencang angin yang menerpanya
agaknya sangat berlaku untuk para penguasa. Pada hakikatnya kekuasaan adalah
godaan. Saat seseorang mendapat kekuasaan, maka godaan yang datang mengerubunginya
akan sangat besar. Ibarat gula, kekuasaan dapat mengundang banyak semut. Pada posisi
itu, penguasa diberi ujian, apakah bisa menjadi pemimpin sejati atau hanya
sekadar imitasi.
Kutipan
salah satu presiden legendaris Amerika Serikat, Abraham Lincoln, mungkin sangat
tepat dikemukakan disini bahwa “semua orang bisa tahan dengan kesengsaraan,
tapi bila ingin mengetahui karakter seseorang, berilah dia kekuasaan.”
Kenikmatan
dalam kekuasaan memang mendatangkan banyak efek. Ia bisa berakhir baik, tapi
bisa juga berakhir buruk. Ia dapat berbuah manis tapi kadangkala bisa juga berbuah
pahit. Berakhir baik, ketika kekuasaan dijalankan sebagai tanggungjawab sosial.
Ia lebih mementingkan kepentingan publik dari pada kepentingan kelompok. Ia lebih
memahami dirinya, bahwa ia adalah pelayan rakyat bukan golongan. Dan pada titik
ini, muaranya dapat berbuah manis. Penguasa bisa menjadi seseorang yang
berkarisma, dielu-elukan hingga dipuji oleh banyak orang.
Namun,
kekuasaan bisa membuat seseorang terlena, dan ingin berkuasa lebih lama. Ada godaan
fasilitas dan berbagai kemudahan yang didapat. Dengan kekuasaan, mereka tergoda
untuk terus melanggengkan kekuasaannya. Untuk menjaga eksistensi kekuasaan itu,
biasanya mereka menempatkan atau mendorong keluarga baik istri, anak, paman,
dan ponakan untuk masuk dalam suatu jabatan politik. Tujuannya, untuk
mempertahankan supremasi keluarga dalam lingkaran kekuasaan.
Praktik-praktik
ini yang diterapkan di Sultra, dengan membentuk dinasti politik pada kenyataannya
memang berakhir buruk. Kekuasaan dinasti politik dihadapkan dengan banyaknya godaan
konflik kepentingan. Muaranya mengarah pada penyelewengan kekuasaan itu sendiri.
Moralitas kekuasaan yang tidak terlepas dengan tanggungjawab sosial dengan
cepat disingkirkan. Di kepala mereka, kekuasaan bukan lagi bagaimana
meningkatkan kebijakan publik, menjadi pelayan dengan mensejahterakan rakyat,
tetapi mengamankan kepentingan sembari membuka karpet merah untuk melayani
kelompoknya.
Dengan begitu,
nalar publik seolah dijauhi. Kekuasaan bekerja serupa obat bius. Kepekaan terhadap
kondisi sosial dimasyarakat tenggelam karena lebih mementingkan kepentingan
pribadi. Ketika kekuasaan membuat penguasa rabun jauh dan lebih memilih bermain
atau menyerempet dengan yang lebih dekat, maka rompi oranye menyambut.
Kata Lord Acton “Kekuasaan cenderung merusak, dan kekuasaan mutlak merusak secara mutlak.”