Kamis sore
yang lalu, saya memberanikan diri untuk keluar menyusuri kota Kendari, setelah
selama 14 hari mengisolasi diri. Sepanjang jalan, saya memperhatikan jejeran para
pedagang kaki lima, Toko dan Pasar Sentral Tradisional. Beberapa tetap aktif
dengan berjualan, tapi tak sedikit juga memilih untuk tutup. Tak Cuma itu,
sepanjang jalan para driver ojek online berkurang, tak banyak yang lalu-lalang.
Saya tidak
terkejut dengan pemandangan ini. Sejak pemerintah pusat mengumumkan dua pasien
positif Covid-19, lalu lintas perdagangan kota Kendari masih berjalan normal. Pedagang
kaki lima masih memenuhi lapaknya. Toko-toko dan mall masih buka. Masyarakat
masih beraktivitas seperti biasa. Kekhawatiran yang kemudian memunculkan
keresahan di tengah masyarakat, saat 49 TKA asal Tiongkok memasuki Bandara Halu
Oleo Kendari. Empat hari setelah itu, tanggal 19 Maret, juru bicara gugus tugas
Covid-19 Sultra mengumumkan sebanyak tiga orang positif Covid-19.
Masuknya
TKA asal Tiongkok dan pengumuman tiga positif Covid-19, membuat ketegangan
masyarakat Sultra terutama kota Kendari dan Konawe. Tentu masyarakat di daerah
kepulauan seperti Muna dan Buton, juga mengalami kepanikan. Banyak warga Muna
dan Buton baik yang bekerja maupun kuliah di dua daerah tersebut. Tanggapan
netizen di media sosial dan grup-grup whatsapp lebih tegang lagi, penuh
kemarahan dan menyayangkan pemerintah menerima serta memberi izin atas masuknya
para TKA. Ditambah lagi kasus-kasus ODP, PDP yang terus bermunculan. Situasi
itu kemudian mencekam berubah menjadi sebuah ketakutan.
Saya
cukup memahami mengapa terjadi segenting itu. Dugaan saya, karena ancaman wabah
sudah benar-benar tampak di depan mata. Semua merasakan ancaman bahaya. Ketika
informasi di hari pertama meledak, warga di penuhi dengan kecemasan. Belum lagi,
tidak adanya peta penyebaran wabah Covid-19. Kesimpangsiuran informasi penyebaran
wabah, membuat warga dilingkupi dengan rasa takut yang luar biasa. Sebagian pemilik warung, pedagang kaki lima dan toko pun memilih untuk tutup. Begitu juga dengan para driver ojek online memilih untuk tidak aktif.
Rasa
takut ini tentu sangat wajar, ketika manusia dihadapkan dengan ancaman bahaya. Rasa
takut adalah salah satu emosi dasar manusia. Ia adalah insting alamia manusia
yang timbul pada diri seseorang karena kecenderungan untuk membela atau
mempertahankan diri. Dalam bahasa Tony Whitehad, rasa takut adalah sesuatu yang
sangat kompleks, didalamnya terdapat suatu perasaan emosional dan sejumlah
perasaan jasmaniah. Maka, ketika wabah Covid-19 meledak, manusia dihadapkan
dengan perasaan emosional, antara menghindarkan diri tetap berdiam dirumah atau
memilih bertahan hidup dan tetap bekerja di luar.
Dalam
menghadapi kenyataan itu, manusia tentu saja berusaha menelaah apa yang menjadi
masalah pada lingkungan dan dirinya sendiri. Tetap bekerja untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga atau membiarkan rasa takut dengan berdiam dirumah
sembari menyaksikan keluarga menahan lapar. Atas dua tekanan itu, manusia
mencoba beradaptasi untuk mencari menyelesaikan masalah dalam dirinya dan juga lingkungannya.
Seperti
halnya ketika saya mencoba bercerita dengan beberapa pekerja informal di Kota
Kendari. Para pedagang dihantui dengan ketakutan. Juga sama dengan driver ojek
online dan tukang becak. Ada rasa was-was terhadap wabah Covid-19. Mereka tidak
berjualan, menarik becak dan mengambil penumpang. Mereka memilih berdiam
dirumah, mengikuti himbauan pemerintah sembari mengikuti perkembangan informasi
tentang persebaran wabah.
Namun,
mereka tak bisa terus-menerus hidup dalam ketakutan. Setelah selama sepekan
berdiam dirumah, aktivitas mereka kembali normal seperti biasanya. Salah satu
pedagang mengatakan bahwa dia tak bisa lama-lama berdiam dirumah. Dia
ketakutan, tapi juga sedih melihat kondisi keluarganya. Ada kebutuhan rumah
tanggah yang harus dipenuhi. Meskipun dengan resiko sepi pembeli, pedagang itu
tetap memilih berjualan.
“Saya
takut dengan wabah ini. Tapi, sampai kapan kita hidup dalam ketakutan,
sementara anak-anak butuh makan dirumah. Di luar saya takut Corona, dirumah
anak-anak saya harus makan. Jadi, saya beranikan diri mencari rezeki, meskipun
memang calon pembelinya sangat berkurang” katanya kepada saya.
Seorang
pedagang pakayan juga mengatakan hal yang sama. Dia khawatir dengan wabah ini, takut,
namun tak punya pilihan lain. Jika menutup semua tokonya, dengan memilih tidak
berjualan, maka sasarannya delapan karyawannya akan ikut di PHK. Dia sedih
karena yang dipikirkan bukan saja ekonomi keluarganya, namun nasib beberapa
karyawan tokonya.
“Kalau
takut, tentu kami takut,” katanya. Ketidakpastian penanganan wabah ikut
mempengaruhi kondisi kegiatan usahanya. Berkurangnya calon pembeli membuat
omsetnya turun sangat drastis. Sebelum wabah Covid-19, transaksinya bisa
melebihi sebanyak tiga puluh kali transaksi. Namun saat ini, lima kali transaksi
saja menurutnya sudah terasa banyak. Dengan kondisi seperti itu, pilihannya hanya
memberhentikan lima karyawannya.
“Ketidakjelasan penanganan wabah ini yang
membuat saya khawatir. Sampai kapan? Pembeli dan penjual sama-sama takut.
Pembeli datang hanya untuk belanja kebutuhan pokok. Omset saya sudah mulai turun
drastis. Sedih, iya. Dengan keadaan terpaksa, saya tidak lagi mempekerjakan lima
karyawanku. Saya sudah tidak mampu lagi memberi gaji buat mereka.” katanya kepada
saya.
Ketakutan
akan bahaya memang bisa dialami oleh siapa pun. Manusia normal pasti merasakan
rasa takut. Ada berbagai macam ketakutan yang menghantui dalam diri kita
sendiri. Takut gagal, takut kecelakaan, takut kehilangan dan berbagai macam
ketakutan lainnya. Namun lambat laun, kita selalu bisa beradaptasi dengan
ketakutan itu.
Seorang
driver ojek online takut keluar rumah mengambil penumpang karena tidak ingin
terinfeksi wabah Covid-19. Jika dia terinfeski dan sakit atau bahkan dengan
resiko meninggal, lalu siapa yang membiayai kehidupan mereka. Di sisi yang
lain, ada keluarga, anak dan istri yang harus dihidupinya. Dalam keadaan
tertekan, ketakutan dan juga kesedihan, dia harus memilih satu diantara dua pilihan;
takut Corona atau tetap jalan demi sesuap nasi. Karena ada naluri untuk terus
melanjutkan kehidupan, maka dia memilih untuk tetap jalan.
Setahun
yang lalu saya juga merasakan takut, saat orang tua menderita sakit yang dialaminya.
Takut jangan sampai Bapak pergi lebih cepat meninggalkan kami. Yang kami
lakukan saat itu, berusaha mengobati penyakit Bapak dengan membawanya di berbagai
Rumah sakit. Saat sang pemilik kehidupan berkehandak lain dengan memanggilnya,
kami sangat terpukul. Sangat sedih. Kehilangan dalam hal apapun adalah hal yang
paling meyakitkan. Namun, kami mencoba beradaptasi dengan kesedihan itu,
mengikhlaskan kepergian Bapak pada sang Illahi. Mungkin, itulah yang terbaik
buat Bapak.
Setiap manusia
selalu beradaptasi untuk melawan rasa takut dan kesedihan. Saya, pedagang dan driver
ojek online sama-sama mengalami ketakutan dan kesedihan. Tapi, larut dalam
kesedihan dan mempertahankan ketakutan dalam diri sangat tidak baik. Hidup saya
akan berefek buruk, jika saya terus larut dalam kesedihan. Saya mencoba
melupakan semuanya, dengan mengikhlaskannya. Pedagang dan driver ojek online
akan berdampak buruk pada ekonomi keluarganya, jika melarutkan diri dalam
ketakutan. Maka pilihannya, tetap mencari uang demi bertahan hidup.
Demikianlah,
hidup manusia selalu diperhadapkan dengan masalah yang sangat kompleks. Corona memang
menakutkan. Per Selasa 7 April, jumlah terinfeksi virus Corona di seluruh dunia
sebanyak 1,34 juta kasus. Yang meninggal pun sudah cukup banyak sekitar 74.565
orang.
Tapi, bagi
para pekerja informal seperti driver Ojol dan pedagang kaki lima jika berdiam
lama dirumah, itu lebih mengerikan lagi. Kelaparan menghantui mereka. Tak ada
pilihan lain, kematian karena virus Corona atau mati karena kelaparan. Demi alasan
bertahan hidup, mereka memilih tetap jalan dan berjualan.