Kisah Seorang Nelayan di Purirano

Ini adalah cerita saat saya bertemu dengan nelayan di purirano. Keadaan mereka penuh dengan ketidakadilan.

Kenangan di Puncak Terindah Buton Selatan

Ini adalah bentuk penghayatan, akan indahnya alam. Olehnya itu, alam harus dijaga dengan baik agar kita hidup dalam penuh damai dan tentram.

Menggeluti Ilmu di Perguruan Tinggi

Bersama dengan ilmu pengetahuan kita dapat maju, bergerak dan bersaing dengan pihak-pihak lain. Mari, kita dahulukan pendidikan kita.

Sebuah Perjalanan di Muna Barat

Kami mencari keadilan atas masyarakat yang selama ini teralienasi. Lahan-lahan mereka dipermainkan oleh elit-elit desa, mengeruk keuntungan dengan membodohi masyarakat. Kami menolak dan melawan.

Mencari Keindahan di Danau Maleura

Di danau ini, ada panorama keindahan, yang membuat pengunjung sangat menikmati suasana. Hawa dingin dan air yang jernih dan terdapat banyaknya gua-gua. Ini keren kan. Adanya hanya di Muna.

23 November 2019

30 Menit Berada Di Pulau Wawonii


PERJALANAN yang singkat, pikirku. Setelah saya dan Ila menyetor amplop yang berisikan berkas-berkas persyaratan CPNS di kantor Pos Langara, Konawe Kepulauan, kami berbalik arah menuju Kendari. Kami menghabiskan waktu perjalanan sekira 6 jam pulang-pergi dari Kendari-Konkep dan Konkep-Kendari.
.
Jadwal keberangkatan kapal Very pada pukul 11.00 Wita. Kami berdua tiba tepat pada pukul 11.00. Saat saya memasuki pelabuhan, terlihat di lobi pengambilan tiket mengantri begitu panjang. Anehnya, di lobi pengambilan tiket sangat berantakan, tidak teratur. Para pengantri tiket kemudian saling dorong hingga terjadi keributan. Ini penyakit masyarakat kita. Tak pernah membudayakan mengantri. Saling serobot, semua ingin lebih awal dan terdepan. Pada hal, mengantri hanya bermodalkan kesabaran.
Setelah saya mengantri tiket yang melelahkan itu, kami kemudian menuju kapal Very. Tak terbayangkan bagaimana padatnya Very yang kami tumpangi. Para pejuang NIP itu berdesak-desakan, hingga ada yang melantai. Semua penuh. Kami berdua pun ikut melantai.
Teman saya Ila mengatakan perjalanan seperti memang punya seni. Teman-teman saya yang kini jadi PNS, mereka merasakan hal yang sama, katanya Ila sambil tertawa. Dari situ, mereka termotivasi agar kesusahan dan kesulitan itu terbayarkan. Mereka belajar dengan tekun untuk kemudian bisa lolos jadi PNS.
“Saya tau, ini pengalaman pertamamu tes CPNS kan”, kata Ila sambil terkekeh.
Kami sangat menikmati perjalanan itu. Semua terbayarkan setelah kami tiba di pelabuhan Wawonii. Saya begitu terkesan dengan keramahan warganya. Pemandangannya juga begitu indah. Meskipun panas, saya dengan Ila tak ingin melewatkan momen itu. Kami berdua lalu selfie-selfie di pantai, dekat pelabuhan Wawonii.


.
Konawe Kepulauan (Pulau Wawonii) di kenal dengan sebutan Pulau Kelapa ini memang punya banyak tempat sumber wisata untuk di kunjungi. Ada permandian Air Panas yang berada di Desa Wungkolo. Pantai Kampa yang memiliki keindahan bawah laut, yang dipadukan dengan pemandangan pasir putih, deburan ombak, pohon-pohon kelapa serta keindahan hutan yang begitu memanjakan mata. Dan masih banyak lagi. Sayang, saya tak bisa mengunjungi tempat-tempat wisata tersebut. Kepentingan saya, hanya membawa berkas-berkas itu, lalu putar balik untuk kemudian menuju Kendari.
Hanya 30 menit berada di Konkep, saya meraskan telah jatuh cinta dengan julukan Pulau Kelapa ini. Dari beberapa artikel yang saya baca tentang Konkep, saya juga bisa tau bahwa pulau ini ternyata tidak hanya punya julukan Pulau Kelapa tapi juga Pulau Hati atau Pulau Cinta. Di sebut Pulau Cinta karena Pulau Wawonii berbentuk hati atau love. Menarik bukan.

Ah, mungkin itulah alasan, mengapa orang yang pertama berkunjung di Pulau Wawonii bisa langsung jatuh cinta. Ada banyak hal yang menarik disana. Kedepan, ada harapan agar saya bisa punya waktu untuk leluasa mengunjungi Pulau Wawonii.
Semoga.

                                    Laode Halaidin

02 November 2019

Deasy Tirayoh

Deasy Tirayoh.
Sumber foto: beritaklick.com
Penyair M Aan Mansyur ikut berkomentar di twitternya terkait 5 nama-nama penulis Indonesia yang menjadi favorit netizen. Menanggapi itu, M Aan Mansyur justru menyebut beberapa penulis dari Indonesia Timur. Dari deretan nama-nama yang saya baca, ada satu nama yang menarik perhatian saya yaitu nama Deasy Tirayoh penulis dari Sulawesi Tenggara.
Sebagai orang Sultra, nama itu begitu asing ditelinga saya. Saya kemudian tertarik dan menelusuri hasil karya-karyanya untuk ku baca.
Deasy Tirayoh adalah salah satu penulis berbakat. Dari perjalanan kepenulisannya, Deasy sudah menghasilkan beberapa sajak seperti Kaghati Kolope, yang menjadi puisi terbaik pada lomba cipta cerpen dan puisi yang diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara. Dia juga sudah menghasilkan beberapa karya cerpen seperti Mas In B Minor, Purnama di Atap Rumah, Udumbara, Dari Timur (2017), Kulminasi (2017), Sadasa (2018), Cerpen Tani (2018) serta buku ontologi cerita mini bertajuk Tanda Seruh di Tubuh.
Dari bakat kepenulisannya, pada tahun 2015 Deasy Tirayoh lolos dalam penulisan bergengsi Makassar Internasional Writers Festival (MIWF). Dia lalu mewakili Indonesia dalam ajang Internasional, Ubud Writers and Readers Festival pada tahun 2016. Tak berhenti disitu, pada tahun 2018 Deasy juga mewakili Indonesia di Majelis Sastra Asia Tenggara.
Di Kendari, nama Deasy dan karyanya kurang diperbincangkan. Pada hal dia adalah salah satu penulis asal Indonesia Timur yang karya-karyanya sangat diapresiasi. Jika melihat sepak terjangnya, bagi saya ini bukan hal biasa tapi sangat luar biasa. Dia telah melewati lika-liku dan mengasah keterampilan kepenulisannya diberbagai ajang. Yang paling terakhir, Deasy terlibat dan tampil bersama dengan para penulis muda perwakilan Maestera se-Asia Tenggara yakni Indonesia, Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura dan Thailand.
Yang membuat saya kagum dan pantas diidolakan, Deasy berhasil menulis beberapa skenario yang telah diproduksi jadi film seperti Pelangi Menjuntai di Langit Muna, Larumbalangi, Sahabat Merah Putih dan lain-lain. Untuk skenario film “Pelangi Menjuntai di Langit Muna” saya telah menoton filmnya dan baru tahu ternyata penulis skenarionya adalah Deasy Tirayoh. Hiksss....
Semoga saja di Sultra semakin banyak melahirkan penulis-penulis berbakat seperti Deasy Tirayoh juga seperti penulis tampan Yusran Darmawan. Kedepan, harusnya penulis-penulis berbakat seperti diatas harus sering diberikan panggung untuk kemudian membincangkan hasil karya-karyanya. Juga cara kita untuk menghargai penulis-penulis lokal.
            Kendari, 2 November 2019