21 April 2019

Tentang Sebuah Ambisi

Foto: Laode Halaidin
“Perubahan bisa datang dari mana saja. Dari diri sendiri, belajar dari pengalaman juga dari orang lain”.
Secara konsisten, saya masih bersetia dengan pekerjaanku saat ini sebagai surveyor. Sudah dua tahun lebih saya menjalaninya, bergabung dengan teman-teman di salah satu kampus di Kendari. Sebagai orang yang suka turun lapangan, banyak suka duka yang saya alami. Tapi saya terus memilih menikmatinya.
Dulu, setelah keluar dari kampus, saya tak pernah membayangkan dapat bekerja dengan dosen-dosen kampus. Pikiran saya saat itu, ya, ingin cari peluang di luar dengan jejaring pertemanan yang ada. Tapi akhirnya nihil juga. Tak ada sama sekali. Saya membayangkan, harapan-harapan yang sempat terputus itu. Entah ingin kemana dan bagaimana. Hampir satu tahun luapan pikiranku menggebuh, terus menganggu. Di dalam hati, harus bagaimana ini? Sampai akhirnya ditawarkan untuk bekerja dengan bekas dosenku sebagai surveyor.
Tidak gampang memang mencari sebuah pekerjaan. File-file lamaran pekerjaan di leptopku kian banyak. Saya mencoba mengirim dari perusahaan ke perusahaan BUMN tapi hasilnya nol, tak ada panggilan. Kadang terpikir, kehidupan terkadang kejam. Kekecewaan menyelimuti bagai kabut. Putus cinta memang sakit, membuat kecewa, tapi tak seberat saat anda kesusahan mencari pekerjaan. Mental mengalami drop, pikiran terkurung dalam bayang-bayang.
Makanya, saat ditawarkan sebagai surveyor saya tidak menolak. Honor kecil tak menjadi persoalan bagiku. Saya harus memulai dan menata langkah kecil yang sempat terputus. Ada ambisi yang lebih besar dari sekadar honor kecil itu. Banyak kawan-kawan memilih bekerja hanya sebagai mencari nafkah, ketimbang sebagai sebuah misi, ambisi dan impian untuk merawat langkah panjang. Saya memilih strategi ini meski harus terseok-seok menjalaninya. Inilah pilihan yang lebih berwarnah dari sekadar mengais nafkah.
Selama dua tahun lebih saya bekerja, bukan tanpa tantangan. Sangat banyak. Bahkan orang tua suka menjejali pertanyaan, yang suka mengusik pikiran. “Cobalah cari pekerjaan yang lebi bagus, dengan upah yang lebih layak dari itu,” kata Ibu dan Bapak (almarhum). Kadang dengan nada suara lembut, mereka juga bilang, ”Jika pekerjaanmu itu terus, kapan bisa mengumpul uang untuk menikah. Ingat umurmu, sudah seharusnya kamu menikah.”
Tanpa sadar, selama ini saya memang terlalu nyaman hidup dalam duniaku. Dunia, dimana seorang anak muda mencari jati diri, terus bebas tanpa terbebani oleh ikatan apapun. Saya menentukan pilihan-pilihan hidupku adalah yang terbaik. Bahwa saya bisa menyelesaikan segala permasalahanku dengan baik.
Gesekan-gesekan juga terjadi dengan kakak-kakak saya. Mereka mengira, saya telah menjadi manusia yang paling ego, karena tidak lagi mendengarkan nasehat orang tua. Jalan hidupku mereka anggap akan sia-sia. Impianku untuk melanjutkan pendidikan S2 tidak akan pernah tercapai, sebab saya keterbatasan finansial. Namun, saya memilih terus berpacu dengan kerumitan. Jika gagal, itulah jalan hidupku, bahwa saya pernah berusaha agar lebih baik. Namun sebagaimana orang-orang yang optimis, saya harus terus berusaha merawat ke-optimisan itu agar berbuah keberhasilan.
Tapi jangan salah, bahwa saya tak mencintai mereka. Kedua orang tua saya, membesarkan kami 7 bersaudara dengan sempurna. Lima saudara saya juga mencintai saya dengan sempurna. Saya juga mencintai ibu, bapak (almarhum) dan saudara-saudara saya dengan sempruna. Perbedaan pandangan dan pilihan-pilihan hidup adalah hal lumrah yang terjadi. Saya tau, mereka menginginkanku agar lebih baik di hari-hari depan. Saya pun memakluminya.
Ada ambisi yang mereka tak pernah tahu, mengapa saya masih bertahan dengan pekerjaanku saat ini. Jika hanya soal mencari nafkah, tak perlu jadi seorang sarjana. Banyak sahabat-sahabat saya bukan sarjana tapi hidupnya sukses, punya banyak uang. Tapi bagi saya, uang itu bukan tujuan utama dalam hidup, tapi hanya jembatan. Uang bisa menjadi solusi dan masalah di saat yang bersamaan.
Ambisi saya adalah sebuah pengabdian pada masyarakat. Memang banyak jalur untuk menjadi pengabdi pada masyarakat dan saya memilih untuk menjadi pengajar yakni dosen. Sebuah profesi yang tidak mudah untuk saya capai, butuh uang dan jejaring yang ada. Begitulah, saya ingin melanjutkan sekolah paska sarjana di luar Sulawesi.
Di sini, saya hanya perlu menginvestasikan waktu, bekerja secara profesional dengan membangun kepercayaan bahwa saya punya kompeten. Inilah yang perlu saya rawat. Bekerja bak pedang bermata dua. Di satu sisi, saya harus menghasilkan performa yang baik dalam bekerja, di sisi yang lain, saya harus menerima segala kemungkinan jika peluang itu hilang. Begitulah memilih jalan hidup, punya resiko-resiko tersendiri.

                                                                                                              Kendari, 21 April 2019

0 komentar:

Posting Komentar