Foto: Laode Halaidin |
Secara
konsisten, saya masih bersetia dengan pekerjaanku saat ini sebagai surveyor.
Sudah dua tahun lebih saya menjalaninya, bergabung dengan teman-teman di salah
satu kampus di Kendari. Sebagai orang yang suka turun lapangan, banyak suka
duka yang saya alami. Tapi saya terus memilih menikmatinya.
Dulu,
setelah keluar dari kampus, saya tak pernah membayangkan dapat bekerja dengan
dosen-dosen kampus. Pikiran saya saat itu, ya, ingin cari peluang di luar dengan
jejaring pertemanan yang ada. Tapi akhirnya nihil juga. Tak ada sama sekali. Saya
membayangkan, harapan-harapan yang sempat terputus itu. Entah ingin kemana dan
bagaimana. Hampir satu tahun luapan pikiranku menggebuh, terus menganggu. Di
dalam hati, harus bagaimana ini? Sampai akhirnya ditawarkan untuk bekerja dengan
bekas dosenku sebagai surveyor.
Tidak
gampang memang mencari sebuah pekerjaan. File-file lamaran pekerjaan di leptopku
kian banyak. Saya mencoba mengirim dari perusahaan ke perusahaan BUMN tapi
hasilnya nol, tak ada panggilan. Kadang terpikir, kehidupan terkadang kejam. Kekecewaan
menyelimuti bagai kabut. Putus cinta memang sakit, membuat kecewa, tapi tak
seberat saat anda kesusahan mencari pekerjaan. Mental mengalami drop, pikiran
terkurung dalam bayang-bayang.
Makanya,
saat ditawarkan sebagai surveyor saya tidak menolak. Honor kecil tak menjadi
persoalan bagiku. Saya harus memulai dan menata langkah kecil yang sempat
terputus. Ada ambisi yang lebih besar dari sekadar honor kecil itu. Banyak kawan-kawan
memilih bekerja hanya sebagai mencari nafkah, ketimbang sebagai sebuah misi,
ambisi dan impian untuk merawat langkah panjang. Saya memilih strategi ini
meski harus terseok-seok menjalaninya. Inilah pilihan yang lebih berwarnah dari
sekadar mengais nafkah.
Selama dua
tahun lebih saya bekerja, bukan tanpa tantangan. Sangat banyak. Bahkan orang tua
suka menjejali pertanyaan, yang suka mengusik pikiran. “Cobalah cari pekerjaan
yang lebi bagus, dengan upah yang lebih layak dari itu,” kata Ibu dan Bapak
(almarhum). Kadang dengan nada suara lembut, mereka juga bilang, ”Jika pekerjaanmu
itu terus, kapan bisa mengumpul uang untuk menikah. Ingat umurmu, sudah
seharusnya kamu menikah.”
Tanpa sadar,
selama ini saya memang terlalu nyaman hidup dalam duniaku. Dunia, dimana
seorang anak muda mencari jati diri, terus bebas tanpa terbebani oleh ikatan
apapun. Saya menentukan pilihan-pilihan hidupku adalah yang terbaik. Bahwa saya
bisa menyelesaikan segala permasalahanku dengan baik.
Gesekan-gesekan
juga terjadi dengan kakak-kakak saya. Mereka mengira, saya telah menjadi manusia
yang paling ego, karena tidak lagi mendengarkan nasehat orang tua. Jalan
hidupku mereka anggap akan sia-sia. Impianku untuk melanjutkan pendidikan S2 tidak
akan pernah tercapai, sebab saya keterbatasan finansial. Namun, saya memilih
terus berpacu dengan kerumitan. Jika gagal, itulah jalan hidupku, bahwa saya
pernah berusaha agar lebih baik. Namun sebagaimana orang-orang yang optimis, saya
harus terus berusaha merawat ke-optimisan itu agar berbuah keberhasilan.
Tapi jangan
salah, bahwa saya tak mencintai mereka. Kedua orang tua saya, membesarkan kami
7 bersaudara dengan sempurna. Lima saudara saya juga mencintai saya dengan
sempurna. Saya juga mencintai ibu, bapak (almarhum) dan saudara-saudara saya
dengan sempruna. Perbedaan pandangan dan pilihan-pilihan hidup adalah hal
lumrah yang terjadi. Saya tau, mereka menginginkanku agar lebih baik di
hari-hari depan. Saya pun memakluminya.
Ada ambisi
yang mereka tak pernah tahu, mengapa saya masih bertahan dengan pekerjaanku
saat ini. Jika hanya soal mencari nafkah, tak perlu jadi seorang sarjana. Banyak
sahabat-sahabat saya bukan sarjana tapi hidupnya sukses, punya banyak uang. Tapi
bagi saya, uang itu bukan tujuan utama dalam hidup, tapi hanya jembatan. Uang bisa
menjadi solusi dan masalah di saat yang bersamaan.
Ambisi saya
adalah sebuah pengabdian pada masyarakat. Memang banyak jalur untuk menjadi
pengabdi pada masyarakat dan saya memilih untuk menjadi pengajar yakni dosen. Sebuah
profesi yang tidak mudah untuk saya capai, butuh uang dan jejaring yang ada. Begitulah,
saya ingin melanjutkan sekolah paska sarjana di luar Sulawesi.
Di sini,
saya hanya perlu menginvestasikan waktu, bekerja secara profesional dengan membangun
kepercayaan bahwa saya punya kompeten. Inilah yang perlu saya rawat. Bekerja bak
pedang bermata dua. Di satu sisi, saya harus menghasilkan performa yang baik
dalam bekerja, di sisi yang lain, saya harus menerima segala kemungkinan jika
peluang itu hilang. Begitulah memilih jalan hidup, punya resiko-resiko tersendiri.
0 komentar:
Posting Komentar