Gusti Made Dwiadya |
Di
pinggiran Kota Kendari, Kelurahan Wua-Wua, Sulawesi Tenggara, terdapat kisah
menarik dan menakjubkan dari seorang mantan narapidana. Tadinya, ia tak mempunyai
keterampilan apa-apa. Namun, berkat Lapas Kendari mengadakan pelatihan cara
bertani hidroponik dengan salah satu SMA di Kendari, nasibnya kian berubah.
Setelah keluar dari jeruji besi, ia mengembangkan keterampilannya dengan bertani
modern, membangun mitra bisnis, dan mendirikan sebuah CV.
Baginya,
penjara adalah tempat untuk kotemplasi, yang lalu menempa dirinya menjadi
pribadi yang sabar dan ikhlas. Penjara bukan akhir dari perjalanan hidupnya. Ia
menganggap, penjara sebagai tempat untuk transformasi diri. Selama dipenjara ia
tetap memelihara impiannya, menjalani sebuah kehidupan yang lebih baik setelah
mendapatkan kebebasannya. Dari keteguhannya itu, setelah bebas ia
perlahan-lahan menata ulang keping demi keping masa depan. Hari-harinya lalu berubah,
hidupnya lebih bermakna, dan bisa menginspirasi banyak orang.
***
Sore
itu ia tersenyum dengan semringah. Lewat asistennya, ia sudah mengetahui tujuan
kedatanganku. Sambutannya sangat bersahabat. Ia sedang sibuk dengan ketikan layar
handphonenya ketika saya temui. Tak lama berselang, ia juga mengangkat telepon
dari seseorang.
Ia
mengatakan, tengah melayani konsumen untuk pengiriman sayuran di daerah
pertambangan Morowali. “Lagi ada permintaan sayuran untuk pengiriman besok di
daerah pertambangan Morowali sebanyak ¼ ton,” katanya. Setelah itu, ia mulai
memberikan informasi dan berkisah banyak hal tentang dirinya dan usaha pertanian
yang ia tengah kembangkan.
Lelaki
itu bernama Gusti Made Dwiadya. Usianya berkisar 36-an tahun. Dengan senyum
yang mengembang, ia mempersilahkan saya untuk menanyakan beberapa hal. Ia kemudian
merenung sejenak ketika saya memintanya untuk bercerita tentang dirinya. Ia
mencoba mengais-ngais ingatan. Ia mengenang masa lalu yang begitu pelik. Saat
memasuki Rutan Kendari, ia menganggap hidupnya telah selesai. Ia tak pernah
membayangkan bagaimana masa depan keluarganya setelah bebas. Skillnya tak ada
sama sekali. Ia seperti telah kehilangan harapan.
Namun
dibalik keterpurukan di dalam penjara, ia lalu menemukan keajaiban. Ia belajar
bertani hidroponik dari suatu sekolah SMA yang mengadakan pelatihan di dalam
rutan Kendari. Selama dua tahun di penjara, ia terus menerus membaca dan
mempelajari cara-cara bertani hidroponik secara detail. Tiap hari, sebelum
belajar ia merenungi nasibnya.
Gusti
Made beranggapan, ketakutan terbesar setelah bebas adalah ketika ia tidak bisa
diterima dimasyarakat. Stigma negatif sebagai mantan napi sangat melekat pada
dirinya. Maka jalan satu-satunya agar bisa menafkahi istri dan anaknya, dengan membangun
usaha pertanian hidroponik.
Bertani Di halaman Rumah
Gusti
Made matanya berkaca-kaca ketika ia menceritkan titik tanjak kisah hidupnya. Tak
ada yang bisa dikerjakan selain bertani. Melamar pekerjaan pun akan sulit
diterima. Dengan bekal keahlian yang dipelajari di dalam rutan Kendari, ia
mencoba bertani hidroponik di halaman rumahnya. Dengan luas lahan yang
seadanya, ia mulai merancang instalasi hidroponik dengan modal sepuluh juta
rupiah. Ia memulai dengan mencoba menanam sayur pakcoy dan selada.
Di
tengah jalan, pertanian hidroponik yang ia kembangkan ternyata tak berjalan
mulus. Ada banyak tantangan yang ia hadapi. Mulai dari kekurangan modal,
sayurnya yang gagal panen, hama dan penyakit yang tidak diketahui, ukuran
tanaman yang tidak maksimal, pasar yang sulit dan tidak ada yang mau menerima
hingga cuaca yang buruk.
Dalam
situasi itu, Made tak pernah patah arang. Ia mesti mempelajari segala hal yang
menderahnya. Ia tak ingin berdiam cukup lama. Ia harus menemukan solusi atas apa
yang dihadapinya.
Berkat
internet ia kemudian menemukan jawaban-jawabannya. Ia bercerita, kebiasaannya
dengan mencari informasi melalui internet karena tidak ingin ketinggalan
informasi. Ia juga percaya, di era digital petani tak lagi tertinggal. Semburan
informasi di internet bisa memberi kemudahan bagi petani. Di youtube katanya,
ia belajar banyak hal, termasuk menemukan inspirasi dari petani-petani
hidroponik yang sukses.
Dari
situ ia lalu mulai bangkit. Perlahan-lahan ia mencoba mengembangkan pertanian
hidroponiknya. Dari segi pemasaran, ia tak lagi menemui kesulitan. Pemasaran
produk sayurannya kini berada dalam ekosistem digital, melalui media sosial
seperti instagram, youtube, dan facebook.
Usahanya kini hampir menguasai seluruh pasar yang ada di Sulawesi
Tenggara, terutama pasar restoran dan rumah makan. “Jadi pasar kami itu bukan
saja di Kendari, tetapi di daerah-daerah pertambangan seperti Morosi dan
Morowali. Kami juga pernah mengirim sayuran di Muna dan Buton,” katanya.
Berkat
kegigihannya dalam mengembangkan pertanian hidroponik, Made lalu mendapatkan
apresiasi dari berbagai pihak. Ia juga banyak mendapat undangan untuk memberikan
sosialisasi pertanian hidroponik. Di Lapas Kendari, ia turut memberikan
pelatihan kepada para narapidana. Ia kerap memberikan pelatihan wirausaha
produktif yang bekerjsama dengan UPTD Balai Peningkatan Produktivitas (BPP) dan
Rumah Tahanan Kelas IIA Kendari. Di pertaniannya atau biasa ia sebut sebagai
Rumah Bali Hidroponik, sering dijadikan sebagai tempat magang dari beberapa kampus.
Ia juga melatih beberapa peserta dari Balai Pelatihan Kerja (BLK) Kendari.
Tak
hanya sampai disitu, Made hebatnya adalah ketika ia berhasil menginspirasi
anak-anak muda untuk bertani hidroponik. Ia berbagi pengalaman dan dengan
senang hati selalu mengedukasi anak-anak muda. Dan kini anak-anak muda itu punya
lahan pertanian hidroponik sendiri. Mereka hanya menanam dan merawat, sementara
pemasarannya ditangani oleh Made.
Kata
Made, “Dulu awalnya saya hanya perlu modal sepuluh juta, kini punya aset dua
miliar”. Ini pembuktian, bahwa seorang mantan narapidana pun bisa sukses.
Di pinggiran kota Kendari, saya merasa beruntung bertemu dengan lelaki yang penuh semangat dan inspirasi ini. Bahwa di jeruji besi adalah tempat awal untuk membangun keping demi keping masa depan yang bahagia.