Kisah Seorang Nelayan di Purirano

Ini adalah cerita saat saya bertemu dengan nelayan di purirano. Keadaan mereka penuh dengan ketidakadilan.

Kenangan di Puncak Terindah Buton Selatan

Ini adalah bentuk penghayatan, akan indahnya alam. Olehnya itu, alam harus dijaga dengan baik agar kita hidup dalam penuh damai dan tentram.

Menggeluti Ilmu di Perguruan Tinggi

Bersama dengan ilmu pengetahuan kita dapat maju, bergerak dan bersaing dengan pihak-pihak lain. Mari, kita dahulukan pendidikan kita.

Sebuah Perjalanan di Muna Barat

Kami mencari keadilan atas masyarakat yang selama ini teralienasi. Lahan-lahan mereka dipermainkan oleh elit-elit desa, mengeruk keuntungan dengan membodohi masyarakat. Kami menolak dan melawan.

Mencari Keindahan di Danau Maleura

Di danau ini, ada panorama keindahan, yang membuat pengunjung sangat menikmati suasana. Hawa dingin dan air yang jernih dan terdapat banyaknya gua-gua. Ini keren kan. Adanya hanya di Muna.

17 Februari 2018

Pilgub Sultra: Kepulauan versus Daratan

Sumber: kabarsuluh.com
MELIHAT peta pertarungan politik Pilgub di Sulawesi Tenggara hari ini memang sangat menarik. Bagaimana tidak, setelah kepulauan Muna kehilangan figur untuk tampil dalam arena pertarungan politik, kini tinggal menyisahkan dua kelompok yang saling bersaing yakni kepulauan Buton dan daratan Sulawesi Tenggara.
Hal itu bisa terlihat dari masing-masing pasangan calon Gubernur dan wakil Gubernur. Asrun berpasangan dengan Hugua atau gabungan daratan-kepulauan (etnik Tolaki-Buton), Ali Mazi dan Lukman Abunawas, kepulauan-daratan (etnik Buton-Tolaki), serta Rusda Mahmud dan Laode Sjafei Kahar, daratan-kepulauan (etnik Bugis-Buton).
Jika dibandingkan dengan Pilgub tahun lalu, etnik dari kepulauan Buton terlihat lebih mendominasi yakni terdapat tiga etnik Buton, dua Tolaki dan satu Bugis. Pilgub kali ini mengindikasikan adanya pertarungan identitas etnik dalam arena politik lokal di Sulawesi Tenggara akan sengit.
Dalam buku disertasi Sofyan Sjaf menguraikan bahwa dalam arena pertarungan ekonomi politik lokal di Sulawesi Tenggara, masing-masing aktor seringkali memproduksi doxa pemisahan kelompok etnik dengan istilah daratan versus kepulauan. Doxa itu kemudian direproduksi dengan menyertakan kesejarahan kerajaan tradisional dari masing-masing etnisitas.
Etnik Tolaki misalnya mencerminkan simbol kekuasaan Kerajaan Konawe dan Mekongga yang berkuasa di daratan Sulawesi Tenggara. Etnik Buton mencerminkan simbol kekuasaan Kerajaan Buton yang menguasai kepulauan Buton dan Wakatobi. Sementara etnik Muna mencerminkan simbol kekuasaan Kerajaan Muna yang menguasai kepulauan Muna itu sendiri.
Berbeda dengan daerah-daerah lain, dalam aras Sulawesi Tenggara, perebutan kekuasaan politik yang dikedepankan aktor adalah politik identitas etnik. Masing-masing aktor selalu berusaha memproduksi dan memanfaatkan kedekatan etnisitas untuk mengakumulasi kuasa atas ekonomi dan politik. Hal itu mengindikasikan bahwa politik identitas etnik di Sulawesi Tenggara sudah menjadi instrumen untuk merebut kekuasaan politik. Etnik yang dominan selalu dianggap menjadi pemenang dalam setiap arena perebutan kursi nomor satu di Sultra.
Koalisi Dua Etnik Yang Berbeda
Meskipun demikian, etnik mayoritas di daratan Sulawesi Tenggara dalam setiap Pilgub tidak pernah berkoalisi sesama etnik. Kemenangan mantan gubernur Nur Alam dua periode yang saat ini tengah berkasus ditopang oleh wakilnya yang berasal dari kepulauan Muna yakni Saleh Lasata. Meskipun saat itu terdapat Mahmud Hamundu yang berasal dari kepulauan Muna, Nur Alam berhasil merebut basis suara terbanyak di Muna. Sama halnya dalam pertarungan periode keduanya. Nur Alam berhasil merebut suara terbanyak di Muna yang mendominasi kandidat lain seperti Ridwan Bae yang berasal kepulauan Muna itu sendiri.
Namun untuk laga Pilgub tahun ini, Muna sepertinya terlangkahi. Kekalahan figur Muna dalam pemilihan wali kota Kendari menjadi alasan mengapa aktor politik Muna tidak diperhitungkan dalam Pilgub kali ini. Pemilih etnik Muna terlihat pragmatis dan muda dipengaruhi dengan iming-iming sejumlah uang. Ini menjadi ‘catatan hitam’ bagi kepulauan Muna ketika setiap figur maju menjadi kandidat dalam setiap pertarungan politik. Di sisi yang lain, suara pemilih etnik Muna terlihat seksi, karena diperebutkan oleh tiga kandidat calon yang saat ini sedang bersaing.
Jika Melihat pertarungan elektoral di Sulawesi Tenggara, ada kesan bahwa pertarungan Pilgub kali ini antara kepulauan lagi-lagi menantang daratan. Hal itu terlihat saat Ali Mazi maju kembali untuk ketiga kalinya pada tahun ini. Setelah dua kali mengalami kekalahan 2007 dan 2012, kini Ali Mazi mencalonkan diri kembali dengan menggandeng Lukman Abunawas dari etnik Tolaki atau daratan. Tahun 2007 dan 2012, Ali Mazi menggandeng etnik yang sama dengan saat ini.
Sudah tentu tidak ada yang salah dengan hal itu. Apalagi Lukman Abunawas sangat populer dikalangan masyarakat Konawe. Di Konawe, Lukman Abunawas berhasil menjadi Bupati selama dua periode. Setelah itu, Lukman juga menjadi Sekda Provinsi Sulawesi Tenggara.
Dari segi popularitas dan basis pendukung tentu Lukman menjadi pilihan yang rasional, sebab Sultra kental dengan politik identitas etnik. Memang ini sudah menjadi fakta atau kenyataan, bahwa selama pemilihan langsung terutama pilgub dan pilwakot tidak pernah ada yang berani berkoalisi sesama etnik. Hanya saja sejauh mana koalisi dua etnik ini akan memberikan insentif perluasan basis masih menjadi pertanyaan besar. Persoalannya, Lukman menghadapi lawan yang juga popularitas sesama etniknya sangat tinggi yakni Asrun, mantan wali kota Kendari selama dua periode.
Sama halnya dengan Ali Mazi, yang tengah menghadapi lawan yang sangat populer dilihat dari sesama etniknya yakni Hugua. Hugua adalah ikon Wakatobi. Ia sangat populer dikalangan masyarakat Buton terutama Wakatobi karena berhasil memimpin daerah itu selama dua periode. Selama menjadi Bupati Wakatobi, Hugua cukup terkenal karena keberhasilannya memperkenalkan laut Wakatobi yang memiliki keindahan laut dan terumbu karang terbesar dunia. Hugua yang menjadi calon wakil Gubernur dari Asrun diprediksi akan menjadi pesaing terberat Ali Mazi di kepulauan Buton.
Sementara koalisi  Rusda Mahmud dan Laode Sjafei Kahar kemungkinan besar mempunyai basis suara di Kabupaten Kolaka, Kolaka Utara, Buton dan Buton Selatan. Rusda Mahmud pernah memimpin Kolaka Utara selama dua periode, sementara Laode Sjafei Kahar pernah menjadi bupati Buton.
Suatu Kenyataan
Bagi Sofyan Sjaf, meski identitas etnik sebagai instrumen kekuasaan  sudah sejak lama berlangsung, kebangkitannya mulai tampak ketika rezim Orde Baru tumbang dan pemilihan kepala daerah langsung dijadikan sebagai instrumen untuk memilih pemimpin daerah. Dalam aras Sulawesi Tenggara, identitas etnik adalah suatu fakta yang kemudian memberikan dampak terhadap dominannya etnik tertentu terhadap etnik yang lainnya. Bagi pihak-pihak tertentu, mereproduksi identitas etnik dalam setiap arena perebutan kekuasaan ekonomi-politik adalah suatu kewajaran.
Namun ada dampak-dampak yang cukup serius saat identitas etnik direproduksi dengan cara-cara yang berlebihan. Suara-suara perpecahan, pemekaran wilayah dan konflik kekerasan merupakan bayang-bayang yang akan menghantui. Lebih jauh lagi, praktek politik identitas etnik menimbulkan ketidakadilan bagi etnik minoritas.
Dalam proses pilkada, politik identitas etnik melahirkan proses jual-beli suara yang kemudian menyebabkan kepala daerah yang terpilih rentan melakukan praktek korupsi. Hal lainnya, terjadinya kesenjangan pembangunan antara daratan dan daerah kepulauan. Misalnya saja seperti yang terjadi di kepulauan Muna. Selama Nur Alam menjadi Gubernur dua periode, jalan Provinsi di Kepulauan Muna hampir tidak diperhatikan sama sekali hingga rusak para. Berbeda dengan jalan Provinsi yang terdapat di daratan Sulawesi Tenggara. Jalan Provinsinya diperhatikan, diperlebar dan diperbaiki secara terus menerus.
Dengan demikian, identitas etnik tentu harus dilihat bukan sebagai sumber akar masalah. Identitas etnik harus dilihat sebagai kenyataan kemajemukan atas banyak suku yang eksis di Sulawesi Tenggara. Etnik adalah bangunan yang harus dijaga, agar kemajemukan tetap berada ditengah-tengah masyarakat.
Yang salah, memanfaatkan politik identitas etnik untuk kepentingan politik praktis, pribadi dan kekuasaan kelompok aktor tertentu. Ini harus dihindari. Sebab jika tidak, Sulawesi Tenggara tidak bisa berkembang pesat atau menjadi daerah yang makmur dan penuh dengan ketidakadilan. Pilkada hanya akan menjadi pertarungan elit lima tahunan, dimana harapan-harapan masyarakat terus digantung hingga Pilkada berikutnya.

                                                                                       Kendari, 17 Februari 2018
                                                                                       Laode Halaidin