|
Sumber: kabarsuluh.com |
MELIHAT peta pertarungan politik Pilgub di
Sulawesi Tenggara hari ini memang sangat menarik. Bagaimana tidak, setelah kepulauan
Muna kehilangan figur untuk tampil dalam arena pertarungan politik, kini tinggal menyisahkan dua kelompok yang saling bersaing
yakni kepulauan Buton dan daratan Sulawesi Tenggara.
Hal itu bisa terlihat dari masing-masing pasangan calon Gubernur dan wakil
Gubernur. Asrun berpasangan dengan Hugua atau gabungan daratan-kepulauan (etnik Tolaki-Buton), Ali Mazi dan Lukman
Abunawas, kepulauan-daratan (etnik Buton-Tolaki), serta Rusda Mahmud dan Laode
Sjafei Kahar, daratan-kepulauan (etnik Bugis-Buton).
Jika dibandingkan dengan Pilgub tahun lalu, etnik
dari kepulauan Buton terlihat lebih mendominasi yakni terdapat tiga etnik
Buton, dua Tolaki dan satu Bugis. Pilgub kali ini
mengindikasikan adanya pertarungan identitas etnik dalam arena politik lokal di
Sulawesi Tenggara akan sengit.
Dalam buku disertasi Sofyan Sjaf
menguraikan bahwa dalam arena pertarungan ekonomi politik lokal di Sulawesi
Tenggara, masing-masing aktor seringkali memproduksi doxa pemisahan kelompok etnik dengan istilah daratan versus kepulauan. Doxa itu kemudian direproduksi dengan
menyertakan kesejarahan kerajaan tradisional dari masing-masing etnisitas.
Etnik Tolaki misalnya mencerminkan
simbol kekuasaan Kerajaan Konawe dan Mekongga yang berkuasa di daratan Sulawesi
Tenggara. Etnik Buton mencerminkan simbol kekuasaan Kerajaan Buton yang
menguasai kepulauan Buton dan Wakatobi. Sementara etnik Muna mencerminkan simbol
kekuasaan Kerajaan Muna yang menguasai kepulauan Muna itu sendiri.
Berbeda dengan daerah-daerah lain, dalam
aras Sulawesi Tenggara, perebutan kekuasaan politik yang dikedepankan aktor
adalah politik identitas etnik. Masing-masing aktor selalu berusaha memproduksi
dan memanfaatkan kedekatan etnisitas untuk mengakumulasi kuasa atas ekonomi dan
politik. Hal itu mengindikasikan bahwa politik identitas etnik di Sulawesi
Tenggara sudah menjadi instrumen untuk merebut kekuasaan politik. Etnik yang
dominan selalu dianggap menjadi pemenang dalam setiap arena perebutan kursi
nomor satu di Sultra.
Koalisi Dua Etnik Yang Berbeda
Meskipun demikian, etnik mayoritas di
daratan Sulawesi Tenggara dalam setiap Pilgub tidak pernah berkoalisi sesama
etnik. Kemenangan mantan gubernur Nur Alam dua periode yang saat ini tengah
berkasus ditopang oleh wakilnya yang berasal dari kepulauan Muna yakni Saleh
Lasata. Meskipun saat itu terdapat Mahmud Hamundu yang berasal dari kepulauan
Muna, Nur Alam berhasil merebut basis suara terbanyak di Muna. Sama halnya dalam
pertarungan periode keduanya. Nur Alam berhasil merebut suara terbanyak di Muna
yang mendominasi kandidat lain seperti Ridwan Bae yang berasal kepulauan Muna
itu sendiri.
Namun untuk laga Pilgub tahun ini, Muna
sepertinya terlangkahi. Kekalahan figur Muna dalam pemilihan wali kota
Kendari menjadi alasan mengapa aktor politik Muna tidak diperhitungkan dalam Pilgub
kali ini. Pemilih etnik Muna terlihat pragmatis dan muda dipengaruhi dengan
iming-iming sejumlah uang. Ini menjadi ‘catatan hitam’ bagi kepulauan Muna
ketika setiap figur maju menjadi kandidat dalam setiap pertarungan politik. Di
sisi yang lain, suara pemilih etnik Muna terlihat seksi, karena diperebutkan
oleh tiga kandidat calon yang saat ini sedang bersaing.
Jika Melihat pertarungan elektoral di
Sulawesi Tenggara, ada kesan bahwa pertarungan Pilgub kali ini antara kepulauan lagi-lagi menantang daratan. Hal itu terlihat
saat Ali Mazi maju kembali untuk ketiga kalinya pada tahun ini. Setelah dua
kali mengalami kekalahan 2007 dan 2012, kini Ali Mazi mencalonkan diri kembali
dengan menggandeng Lukman Abunawas dari etnik Tolaki atau daratan. Tahun 2007 dan 2012, Ali Mazi menggandeng etnik yang sama dengan saat ini.
Sudah tentu tidak ada yang salah dengan
hal itu. Apalagi Lukman Abunawas sangat populer dikalangan masyarakat Konawe.
Di Konawe, Lukman Abunawas berhasil menjadi Bupati selama dua periode. Setelah itu,
Lukman juga menjadi Sekda Provinsi Sulawesi Tenggara.
Dari segi popularitas dan basis pendukung
tentu Lukman menjadi pilihan yang rasional, sebab Sultra kental dengan politik
identitas etnik. Memang ini sudah menjadi fakta atau kenyataan, bahwa selama
pemilihan langsung terutama pilgub dan pilwakot tidak pernah ada yang berani berkoalisi
sesama etnik. Hanya saja sejauh mana koalisi dua etnik ini akan memberikan insentif
perluasan basis masih menjadi pertanyaan besar. Persoalannya, Lukman menghadapi
lawan yang juga popularitas sesama etniknya sangat tinggi yakni Asrun, mantan
wali kota Kendari selama dua periode.
Sama halnya dengan Ali Mazi, yang
tengah menghadapi lawan yang sangat populer dilihat dari sesama etniknya yakni
Hugua. Hugua adalah ikon Wakatobi. Ia sangat populer dikalangan masyarakat Buton
terutama Wakatobi karena berhasil memimpin daerah itu selama dua periode. Selama
menjadi Bupati Wakatobi, Hugua cukup terkenal karena keberhasilannya
memperkenalkan laut Wakatobi yang memiliki keindahan laut dan terumbu karang
terbesar dunia. Hugua yang menjadi calon wakil Gubernur dari Asrun diprediksi
akan menjadi pesaing terberat Ali Mazi di kepulauan Buton.
Sementara koalisi Rusda
Mahmud dan Laode Sjafei Kahar kemungkinan besar mempunyai basis suara di
Kabupaten Kolaka, Kolaka Utara, Buton dan Buton Selatan. Rusda Mahmud pernah
memimpin Kolaka Utara selama dua periode, sementara Laode Sjafei Kahar pernah
menjadi bupati Buton.
Suatu Kenyataan
Bagi Sofyan Sjaf, meski identitas etnik
sebagai instrumen kekuasaan sudah sejak
lama berlangsung, kebangkitannya mulai tampak ketika rezim Orde Baru tumbang
dan pemilihan kepala daerah langsung dijadikan sebagai instrumen untuk memilih
pemimpin daerah. Dalam aras Sulawesi Tenggara, identitas etnik adalah suatu
fakta yang kemudian memberikan dampak terhadap dominannya etnik tertentu
terhadap etnik yang lainnya. Bagi pihak-pihak tertentu, mereproduksi identitas
etnik dalam setiap arena perebutan kekuasaan ekonomi-politik adalah suatu
kewajaran.
Namun ada dampak-dampak yang cukup
serius saat identitas etnik direproduksi dengan cara-cara yang berlebihan. Suara-suara
perpecahan, pemekaran wilayah dan konflik kekerasan merupakan bayang-bayang yang
akan menghantui. Lebih jauh lagi, praktek politik identitas etnik menimbulkan
ketidakadilan bagi etnik minoritas.
Dalam proses pilkada, politik identitas
etnik melahirkan proses jual-beli suara yang kemudian menyebabkan kepala daerah
yang terpilih rentan melakukan praktek korupsi. Hal lainnya, terjadinya
kesenjangan pembangunan antara daratan dan daerah kepulauan. Misalnya saja
seperti yang terjadi di kepulauan Muna. Selama Nur Alam menjadi Gubernur dua
periode, jalan Provinsi di Kepulauan Muna hampir tidak diperhatikan sama sekali
hingga rusak para. Berbeda dengan jalan Provinsi yang terdapat di daratan
Sulawesi Tenggara. Jalan Provinsinya diperhatikan, diperlebar dan diperbaiki secara
terus menerus.
Dengan demikian, identitas etnik tentu
harus dilihat bukan sebagai sumber akar masalah. Identitas etnik
harus dilihat sebagai kenyataan kemajemukan atas banyak suku yang eksis di
Sulawesi Tenggara. Etnik adalah bangunan yang harus dijaga, agar kemajemukan tetap
berada ditengah-tengah masyarakat.
Yang salah, memanfaatkan politik identitas etnik untuk
kepentingan politik praktis, pribadi dan kekuasaan kelompok aktor tertentu. Ini
harus dihindari. Sebab jika tidak, Sulawesi Tenggara tidak bisa berkembang
pesat atau menjadi daerah yang makmur dan penuh dengan ketidakadilan. Pilkada
hanya akan menjadi pertarungan elit lima tahunan, dimana harapan-harapan masyarakat
terus digantung hingga Pilkada berikutnya.
Kendari,
17 Februari 2018
Laode
Halaidin