Bekerja Gotong-Royong Membangun Fondasi Rumah Warga
Gotong-royong atau
kerjasama saat ini memang sangat susah untuk kita temukan. Ketika sesorang
meminta bantuan untuk kemudian ingin melakukan atau mengerjakan sesuatu maka
semua harus ada upah atau gaji yang dapat diukur dengan uang. Bantuanya
tersebut tidak dilihat apakah dalam bentuk fisik maupun non-fisik. Apakah keluarga,
tetangga ataupun sahabat dekat semuannya harus ada fulus. Itulah sifat dasar manusia,
mengejar berbagai kebutuhan hidup sehingga menganggap bahwa manusia hidup hanya
untuk mencari dan mendapatkan uang, uang dan uang.
Orang-orang
seperti ini merupakan manusia yang termotivasi oleh apa yang disebut dengan kapitalisme.
Esensi dari pada kapitalisme adalah pengeksploitasian segala sumber daya (Manusia/
tenaga kerjanya, Alam/ yang terkandung dalam perut
bumi) yang kemudian diperuntungkan bagi diri mereka sendiri. Orang-orang di sampingnya, tetangganya, sahabat
bahkan keluarganya dianggap sebagai ladang bisnis yang kemudian dimanfaatkan (baca:
eksploitasi) dengan sesukanya. Masyarakat kecil akan menjadi korbannya. Masyarakat
kecil ini dapat dimanfaatkan begitu saja sesuka hati orang-orang yang telah
memiliki kemapanan (baca: modal). Toh orang-orang besar yang bunting ini,
memiliki alat-alat produksi dan modal sehingga ketika masyarakat kecil ingin
memenuhi kebutuhannya mereka akan datang dengan sendirinya meskipun dengan upah
yang rendah.
Atas dasar untuk memenuhi kebutuhan itulah, masyarakat kecil
termarjinalkan dengan seutuhnya. Mereka teralienasi oleh rakusnya kekuasaan dimana
tenaga kerja mereka di eksploitasi oleh kekuasaan para bunting-bunting
tersebut. Maka untuk menangkal semua itu tidak cara lain selain kita harus
mempunyai wawasan dan energi baru. Wawasan dan energi baru inilah yang akan
membuat kita bersandar pada bahu diri sendiri bukan bersandar pada bahu orang-orang
yang ketika jalannya duluan perut dari pada kepalanya, yang selama ini perut
mereka di isi dengan energi masyarakat kecil yang hasil di perahnya.
Wawasan dan energi baru bisa diartikan dalam bentuk kebersamaan
dalam gotong-royong atau kerjasama. Wawasan, esensinya adalah pengetahuan atau
kapasitas sesorang yang dapat meningkatkan produksi yang kemudian di utamakan adalah
kekeluargaan, yang artinya bahwa produksi harus dikerjakan secara bersama-sama
di bawah pemilikan anggota masyarakat. Energi baru adalah kekuatan yang kemudian
mendorong kita untuk bangkit bersama, memperbaiki semangat yang selama ini selalu
terdistorsi oleh kekuataan capital/pemodal. Gotong royong atau kerjasama dalam
ekonomi seperti yang di anut oleh Indonesia di kenal dengan Koperasi.
Koperasi bukanlah istilah yang baru di dengar ditelinga masyarakat.
Bahkan sejak lama Moh. Hatta sudah memperkenalkan hal ini bahwa koperasi merupakan
usaha yang dilakukan bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Itulah maksud
dari gotong-royong yang selalu mengutamakan kebersamaan bahwa usaha apapun yang
berkaitan dengan profit (keuntungan bersama) yang perlu di utamakan adalah
ke-gotong royongan.
Ketika kita berbicara bagaimana kemudian untuk mencapai kemakmuran
masyarakat, maka produksi menjadi focus utama yakni sebagaimana dalam penjelasan
pasal 33 UUD 1945 yang mencantumkan Demokrasi Ekonomi yaitu bahwa produksi di
kerjakan semua untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat.
Itulah gambaran gotong-royong dalam kaca mata ekonomi.
Dalam kehidupan masyarakat, gotong-royong tidak hanya dikenal
dengan pengerjaan produksi yang berkaitan dengan peningkatan usaha dalam sebuah
perusahaan tetapi juga pengerjaan fisik seperti pemanenan hasil-hasil pertanian,
pengerjaan fondasi rumah-rumah warga dan juga seperti acara-acara pernikahan,
pingitan dll. Seperti yang di gambarkan oleh Talcot
Parsons bahwa masyarakat desa sebagai masyarakat tradisional
(Gemeinschaft) di cirikan sebagai afektifitas yang ada
hubungannya dengan perasaan kasih sayang, cinta, kesetiaan dan kemesraan.
Perwujudannya dalam sikap dan perbuatan tolong menolong, menyatakan simpati
terhadap musibah yang diderita orang lain dan menolongnya tanpa pamrih.
Orientasi kolektif sifat ini merupakan konsekuensi dari Afektifitas, yaitu
mereka mementingkan kebersamaan , tidak suka menonjolkan diri, tidak suka akan
orang yang berbeda pendapat, intinya semua harus memperlihatkan keseragaman
persamaan.
Ketika kita menelusuri hal ini, tentu keberadaanya bukan di
sebuah kota-kota besar ataupun kecil namun ke-gotong-royongan seperti ini berada
di sebuah desa-desa kecil yang mungkin sampai saat ini kurang dilirik oleh
pemerintah. Saya terharu dengan semangat dan kebersamaan masyarakat desa-desa
ini.
Desa Sandang Pangan, Kab. Buton Selatan. Di desa inilah saya
menemukan semangat kebersamaan itu. Mereka menaruh ke-gotong-royongan dalam hal
apapun. Mereka percaya bahwa dalam membangun untuk kemajuan masyarakat maka
gotong-royong harus di kedepankan termasuk dalam pembangunan ekonomi, pertanian
dll. Selain itu, di desa ini juga memiliki kebersamaan yang bersifat tradisional.
Mereka saling membantu ketika sebuah pesta diadakan tanpa mengharapkan sebuah
imbalan apapun. Beda halnya dengan di sebuah kota, ketika pesta-pesta pernikahan
(yang tidak diadakan di hotel-hotel) maka yang memasak atau yang semacamnya harus
di bayar atau di gaji meskipun itu tetangga, teman ataupun keluarga.
Dari sini kita dapat menerka-nerka bahwa ke-gotong-royongan
yang ada di sebuah kota sudah mulai pudar dan kemungkinan besar akan punah.
Mereka menilai bahwa di dunia ini tidak ada yang gratis. Hal semacam itu, mereka
menganggap bahwa itu merupakan ladang bisnis yang dapat menguntungkan, sebagaimana
yang di sembah oleh seorang kapitalisme. Sedangkan kekeluargaan sebagaimana yang
selalu di seruhkan oleh Muh. Hatta mereka kesampingkan. Motivasi kapitalisme
menganggap alam sebagai sebuah potensi untuk mendapatkan keuntungan tanpa memperdulikan
masyarakat di sekelilingnya. Dalam masyarakat kapitalis menganggap masyarakat lainnya
ibarat sebuah potensi untuk kemudian di eksploitasi agar mendapatkan profit dan
pada akhirnya yang terjadi adalah saling meng-kanibal.
Kebersamaan dalam membangun harus terus ada dalam jiwa masyarakat
Indonesia. Dan tentu masyarakat tidak bisa di biarkan sendiri, di lepas begitu
saja seperti halnya di anak tirikan. Ibarat seorang anak yang kehilangan ibunya,
lalu ayahnya menikah kembali. Di situlah sang anak memiliki seorang ibu tiri. Ketika
sang ayah pulang dari kerja, sang ibu tiri ini menyayangi sang anak tetapi
ketika sang ayah pergi kerja, anak inilah yang mengerjakan segala sesuatu yang ada
di dalam rumah tersebut, dan belum tentu si anak ini mengetahui pekerjaan dalam
rumah tangga. Sang ibu hanya duduk di atas kursi sofa dan tempat tidur yang
empuk.
Artinya ketika pemerintah memiliki kepentingan terhadap masyarakat
maka iya terus di dekati dengan iming-iming kesejahteraan, pendapatan yang
tinggi, pekerjaan yang layak dll. Namun ketika kepentingan tersebut terpenuhi
perhatian itu hilang dan musnah ibarat ditelan sang bumi. Seperti itulah yang
terjadi di Indonesia, bergemuruhnya kepentingan untuk memperbunting perut mereka
sehingga iming-iming yang omong kosong itu sulit untuk terhindarkan.
Masyarakat desa harus di beri kepercayaan dalam membangun,
pemerintah hanyalah menjadi fasilitator dan dinamisator, karena segala sesuatu
yang berkaitan dengan lingkungan dan kebutuhan, masyarkatlah yang memahami dan
mengerti itu. Ketika saya diskusi dengan masyarakat desa Sandang Pangan, mereka
bersedia untuk melaksanakannya jika di berikan kepercayaan. Dengan
ke-gotongroyongan maka pembangunan akan berjalan dengan efektif dan efisien dan
masyarakat desa Sandang Pangan mempercayai itu.
Saya sempat menanyakan kepada salah seorang masyarakatnya, hari
itu saya bertanya: apakah ke-gotong-royongan di desa ini tidak akan pudar sampai
kapan pun? Masyarakat ini menjawab, iya. Mereka percaya dengan nilai-nilai budaya
dan adat mereka bahwa ketika masih mengajarkan budaya dan adat istiadat
tersebut maka ke-gotong-royongan akan terus melekat pada diri masyarakat.
Sebagai penutup, harapan saya terhadap masyarakat Desa Sadang
Pangan Kab. Buton Selatan dan pada umumnya seluruh Desa yang ada di Indonesia bahwa
Globalisasi dan perdagangan bebas serta masyarakat ekonomi ASEAN sebentar lagi akan mewujudkan dirinya dalam bentuk yang baru serta
akan terus memperbaharui dirinya sesuai dengan perkembangan zaman. Mereka akan
terus menggempurkan kekuatannya, ide-idenya, gagasannya untuk terus memenuhi
kepuasaan birahinya demi sebuah profit (keuntungan).
Bisa saja kita akan menjadi penonton, pemuas untuk energi
mereka ketika kita mempunyai system social yang rapuh. Maka untuk itu, Budaya dan
adat istiadat harus terus ada dan harus terus di pertahankan sebagai nilai-nilai social yang
telah kita anut. Kontrol sosial yang ketat
seperti gotong-royong sebagaimana yang di cirikan
oleh Paul H. Landis dalam sebuah masyarakat desa dan kerjasama harus terus di perkuat dalam membangun suatu masyarakat
agar kita tidak menjadi tumbal oleh kebiadaban mereka. Seperti yang ditegaskan Leon Trotsky menulis didalam bukunya Program
Transisional: bahwa “Kaum
kapitalis sekarang sedang meluncur ke bencana dengan mata tertutup.”
Sandang
Pangan, 10 Februari 2015