Kisah Seorang Nelayan di Purirano

Ini adalah cerita saat saya bertemu dengan nelayan di purirano. Keadaan mereka penuh dengan ketidakadilan.

Kenangan di Puncak Terindah Buton Selatan

Ini adalah bentuk penghayatan, akan indahnya alam. Olehnya itu, alam harus dijaga dengan baik agar kita hidup dalam penuh damai dan tentram.

Menggeluti Ilmu di Perguruan Tinggi

Bersama dengan ilmu pengetahuan kita dapat maju, bergerak dan bersaing dengan pihak-pihak lain. Mari, kita dahulukan pendidikan kita.

Sebuah Perjalanan di Muna Barat

Kami mencari keadilan atas masyarakat yang selama ini teralienasi. Lahan-lahan mereka dipermainkan oleh elit-elit desa, mengeruk keuntungan dengan membodohi masyarakat. Kami menolak dan melawan.

Mencari Keindahan di Danau Maleura

Di danau ini, ada panorama keindahan, yang membuat pengunjung sangat menikmati suasana. Hawa dingin dan air yang jernih dan terdapat banyaknya gua-gua. Ini keren kan. Adanya hanya di Muna.

10 Februari 2015

Gotong-Royong Yang Tak Akan Pudar

                                        Bekerja Gotong-Royong Membangun Fondasi Rumah Warga
  
Gotong-royong atau kerjasama saat ini memang sangat susah untuk kita temukan. Ketika sesorang meminta bantuan untuk kemudian ingin melakukan atau mengerjakan sesuatu maka semua harus ada upah atau gaji yang dapat diukur dengan uang. Bantuanya tersebut tidak dilihat apakah dalam bentuk fisik maupun non-fisik. Apakah keluarga, tetangga ataupun sahabat dekat semuannya harus ada fulus. Itulah sifat dasar manusia, mengejar berbagai kebutuhan hidup sehingga menganggap bahwa manusia hidup hanya untuk mencari dan mendapatkan uang, uang dan uang.

Orang-orang seperti ini merupakan manusia yang termotivasi oleh apa yang disebut dengan kapitalisme. Esensi dari pada kapitalisme adalah pengeksploitasian segala sumber daya (Manusia/ tenaga kerjanya, Alam/ yang terkandung dalam perut bumi) yang kemudian diperuntungkan bagi diri mereka sendiri.  Orang-orang di sampingnya, tetangganya, sahabat bahkan keluarganya dianggap sebagai ladang bisnis yang kemudian dimanfaatkan (baca: eksploitasi) dengan sesukanya. Masyarakat kecil akan menjadi korbannya. Masyarakat kecil ini dapat dimanfaatkan begitu saja sesuka hati orang-orang yang telah memiliki kemapanan (baca: modal). Toh orang-orang besar yang bunting ini, memiliki alat-alat produksi dan modal sehingga ketika masyarakat kecil ingin memenuhi kebutuhannya mereka akan datang dengan sendirinya meskipun dengan upah yang rendah.

Atas dasar untuk memenuhi kebutuhan itulah, masyarakat kecil termarjinalkan dengan seutuhnya. Mereka teralienasi oleh rakusnya kekuasaan dimana tenaga kerja mereka di eksploitasi oleh kekuasaan para bunting-bunting tersebut. Maka untuk menangkal semua itu tidak cara lain selain kita harus mempunyai wawasan dan energi baru. Wawasan dan energi baru inilah yang akan membuat kita bersandar pada bahu diri sendiri bukan bersandar pada bahu orang-orang yang ketika jalannya duluan perut dari pada kepalanya, yang selama ini perut mereka di isi dengan energi masyarakat kecil yang hasil di perahnya.

Wawasan dan energi baru bisa diartikan dalam bentuk kebersamaan dalam gotong-royong atau kerjasama. Wawasan, esensinya adalah pengetahuan atau kapasitas sesorang yang dapat meningkatkan produksi yang kemudian di utamakan adalah kekeluargaan, yang artinya bahwa produksi harus dikerjakan secara bersama-sama di bawah pemilikan anggota masyarakat. Energi baru adalah kekuatan yang kemudian mendorong kita untuk bangkit bersama, memperbaiki semangat yang selama ini selalu terdistorsi oleh kekuataan capital/pemodal. Gotong royong atau kerjasama dalam ekonomi seperti yang di anut oleh Indonesia di kenal dengan Koperasi.

Koperasi bukanlah istilah yang baru di dengar ditelinga masyarakat. Bahkan sejak lama Moh. Hatta sudah memperkenalkan hal ini bahwa koperasi merupakan usaha yang dilakukan bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Itulah maksud dari gotong-royong yang selalu mengutamakan kebersamaan bahwa usaha apapun yang berkaitan dengan profit (keuntungan bersama) yang perlu di utamakan adalah ke-gotong royongan.

Ketika kita berbicara bagaimana kemudian untuk mencapai kemakmuran masyarakat, maka produksi menjadi focus utama yakni sebagaimana dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 yang mencantumkan Demokrasi Ekonomi yaitu bahwa produksi di kerjakan semua untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Itulah gambaran gotong-royong dalam kaca mata ekonomi.

Dalam kehidupan masyarakat, gotong-royong tidak hanya dikenal dengan pengerjaan produksi yang berkaitan dengan peningkatan usaha dalam sebuah perusahaan tetapi juga pengerjaan fisik seperti pemanenan hasil-hasil pertanian, pengerjaan fondasi rumah-rumah warga dan juga seperti acara-acara pernikahan, pingitan dll. Seperti yang di gambarkan oleh Talcot Parsons bahwa masyarakat desa sebagai masyarakat tradisional (Gemeinschaft) di cirikan sebagai afektifitas yang ada hubungannya dengan perasaan kasih sayang, cinta, kesetiaan dan kemesraan. Perwujudannya dalam sikap dan perbuatan tolong menolong, menyatakan simpati terhadap musibah yang diderita orang lain dan menolongnya tanpa pamrih. Orientasi kolektif sifat ini merupakan konsekuensi dari Afektifitas, yaitu mereka mementingkan kebersamaan , tidak suka menonjolkan diri, tidak suka akan orang yang berbeda pendapat, intinya semua harus memperlihatkan keseragaman persamaan.

Ketika kita menelusuri hal ini, tentu keberadaanya bukan di sebuah kota-kota besar ataupun kecil namun ke-gotong-royongan seperti ini berada di sebuah desa-desa kecil yang mungkin sampai saat ini kurang dilirik oleh pemerintah. Saya terharu dengan semangat dan kebersamaan masyarakat desa-desa ini.

Desa Sandang Pangan, Kab. Buton Selatan. Di desa inilah saya menemukan semangat kebersamaan itu. Mereka menaruh ke-gotong-royongan dalam hal apapun. Mereka percaya bahwa dalam membangun untuk kemajuan masyarakat maka gotong-royong harus di kedepankan termasuk dalam pembangunan ekonomi, pertanian dll. Selain itu, di desa ini juga memiliki kebersamaan yang bersifat tradisional. Mereka saling membantu ketika sebuah pesta diadakan tanpa mengharapkan sebuah imbalan apapun. Beda halnya dengan di sebuah kota, ketika pesta-pesta pernikahan (yang tidak diadakan di hotel-hotel) maka yang memasak atau yang semacamnya harus di bayar atau di gaji meskipun itu tetangga, teman ataupun keluarga.   

Dari sini kita dapat menerka-nerka bahwa ke-gotong-royongan yang ada di sebuah kota sudah mulai pudar dan kemungkinan besar akan punah. Mereka menilai bahwa di dunia ini tidak ada yang gratis. Hal semacam itu, mereka menganggap bahwa itu merupakan ladang bisnis yang dapat menguntungkan, sebagaimana yang di sembah oleh seorang kapitalisme. Sedangkan kekeluargaan sebagaimana yang selalu di seruhkan oleh Muh. Hatta mereka kesampingkan. Motivasi kapitalisme menganggap alam sebagai sebuah potensi untuk mendapatkan keuntungan tanpa memperdulikan masyarakat di sekelilingnya. Dalam masyarakat kapitalis menganggap masyarakat lainnya ibarat sebuah potensi untuk kemudian di eksploitasi agar mendapatkan profit dan pada akhirnya yang terjadi adalah saling meng-kanibal.

Kebersamaan dalam membangun harus terus ada dalam jiwa masyarakat Indonesia. Dan tentu masyarakat tidak bisa di biarkan sendiri, di lepas begitu saja seperti halnya di anak tirikan. Ibarat seorang anak yang kehilangan ibunya, lalu ayahnya menikah kembali. Di situlah sang anak memiliki seorang ibu tiri. Ketika sang ayah pulang dari kerja, sang ibu tiri ini menyayangi sang anak tetapi ketika sang ayah pergi kerja, anak inilah yang mengerjakan segala sesuatu yang ada di dalam rumah tersebut, dan belum tentu si anak ini mengetahui pekerjaan dalam rumah tangga. Sang ibu hanya duduk di atas kursi sofa dan tempat tidur yang empuk.

Artinya ketika pemerintah memiliki kepentingan terhadap masyarakat maka iya terus di dekati dengan iming-iming kesejahteraan, pendapatan yang tinggi, pekerjaan yang layak dll. Namun ketika kepentingan tersebut terpenuhi perhatian itu hilang dan musnah ibarat ditelan sang bumi. Seperti itulah yang terjadi di Indonesia, bergemuruhnya kepentingan untuk memperbunting perut mereka sehingga iming-iming yang omong kosong itu sulit untuk terhindarkan.

Masyarakat desa harus di beri kepercayaan dalam membangun, pemerintah hanyalah menjadi fasilitator dan dinamisator, karena segala sesuatu yang berkaitan dengan lingkungan dan kebutuhan, masyarkatlah yang memahami dan mengerti itu. Ketika saya diskusi dengan masyarakat desa Sandang Pangan, mereka bersedia untuk melaksanakannya jika di berikan kepercayaan. Dengan ke-gotongroyongan maka pembangunan akan berjalan dengan efektif dan efisien dan masyarakat desa Sandang Pangan mempercayai itu.

Saya sempat menanyakan kepada salah seorang masyarakatnya, hari itu saya bertanya: apakah ke-gotong-royongan di desa ini tidak akan pudar sampai kapan pun? Masyarakat ini menjawab, iya. Mereka percaya dengan nilai-nilai budaya dan adat mereka bahwa ketika masih mengajarkan budaya dan adat istiadat tersebut maka ke-gotong-royongan akan terus melekat pada diri masyarakat.

Sebagai penutup, harapan saya terhadap masyarakat Desa Sadang Pangan Kab. Buton Selatan dan pada umumnya seluruh Desa yang ada di Indonesia bahwa Globalisasi dan perdagangan bebas serta masyarakat ekonomi ASEAN sebentar lagi akan mewujudkan dirinya dalam bentuk yang baru serta akan terus memperbaharui dirinya sesuai dengan perkembangan zaman. Mereka akan terus menggempurkan kekuatannya, ide-idenya, gagasannya untuk terus memenuhi kepuasaan birahinya demi sebuah profit (keuntungan).

Bisa saja kita akan menjadi penonton, pemuas untuk energi mereka ketika kita mempunyai system social yang rapuh. Maka untuk itu, Budaya dan adat istiadat harus terus ada dan harus terus di  pertahankan sebagai nilai-nilai social yang telah kita anut. Kontrol sosial yang ketat seperti gotong-royong sebagaimana yang di cirikan oleh Paul H. Landis dalam sebuah masyarakat desa  dan kerjasama harus terus di perkuat dalam membangun suatu masyarakat agar kita tidak menjadi tumbal oleh kebiadaban mereka. Seperti yang ditegaskan Leon Trotsky menulis didalam bukunya Program Transisional: bahwa  “Kaum kapitalis sekarang sedang meluncur ke bencana dengan mata tertutup.”

                                                                                                           
                                                                    Sandang Pangan, 10 Februari 2015