Kisah Seorang Nelayan di Purirano

Ini adalah cerita saat saya bertemu dengan nelayan di purirano. Keadaan mereka penuh dengan ketidakadilan.

Kenangan di Puncak Terindah Buton Selatan

Ini adalah bentuk penghayatan, akan indahnya alam. Olehnya itu, alam harus dijaga dengan baik agar kita hidup dalam penuh damai dan tentram.

Menggeluti Ilmu di Perguruan Tinggi

Bersama dengan ilmu pengetahuan kita dapat maju, bergerak dan bersaing dengan pihak-pihak lain. Mari, kita dahulukan pendidikan kita.

Sebuah Perjalanan di Muna Barat

Kami mencari keadilan atas masyarakat yang selama ini teralienasi. Lahan-lahan mereka dipermainkan oleh elit-elit desa, mengeruk keuntungan dengan membodohi masyarakat. Kami menolak dan melawan.

Mencari Keindahan di Danau Maleura

Di danau ini, ada panorama keindahan, yang membuat pengunjung sangat menikmati suasana. Hawa dingin dan air yang jernih dan terdapat banyaknya gua-gua. Ini keren kan. Adanya hanya di Muna.

14 Oktober 2014

Pesan dan Nasehat Sri-Edi Swasono Untuk Sarjana Ekonomi Kita




HARI KAMIS itu, saya mempunyai keinginan untuk memasuki perpustakaan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Halu Oleo (UHO) untuk melihat buku-buku yang saya sukai kemudian dengan senang hati saya akan membacanya. Seperti biasanya saya selalu meluangkan waktu untuk membaca diperpustakaan FEB-UHO dalam tiga kali seminggu tetapi terkadang juga lebih dan juga kurang tergantung kepadatan kuliah. 

Perpustakaan FEB sangat terbilang sederhana, dan buku-bukunya juga lumayan banyak untuk ukuran jumlah Mahasiswa FEB-UHO, yang mungkin jika dibandingkan dengan perpustakaan di Universitas-Universitas ternama di Indonesia seperti Universitas Indonesia (UI), Universitas Gaja Mada (UGM), Universitas Hasanudin (UNHAS) sangat tergolong maju, mempunyai buku-buku koleksi berbagai model/variasi dan juga bangunan perpustakaannya sangat bagus nan Indah ala Istana. Saya pun mempunyai keinginan untuk memasuki perpustakaan di Universitas-Universitas ternama ini walaupun tidak mengetahui jelas kapan waktunya.

Minat membaca mahasiswanya pun, sangat biasa-biasa saja seperti yang saya lihat ketika memasuki perpustakaan ini, hanya sebagian kecil dari mahasiswa yang membaca bahkan bisa dihitung dengan jari tangan sedangkan presentase mahasiswa berjumlah ratusan orang. Perpustakaan FEB ini hanya dijadikan mahasiswa sebagai alat untuk menyelesaikan tugas dan mencari refrensi-refrensi dan literature-literatur pustaka dalam penyelesaian Skripsi. Saya bukan tidak setuju dengan hal tersebut, namun bukankah sebaiknya perpustakaan dijadikan sebagai Istana yang megah, yang mempunyai berbagai macam hiasan-hiasan dan berbagai bentuk-bentuk yang bersejarah sehingga menarik perhatian kita untuk menelusuri dan menjelajahinya.

Perpustakaan menyimpan berbagai senjata, ruang-ruang, serta gudang-gudang tulisan untuk memasuki dan menjelajahi sesuatu yang belum kita sentuh dan kita ketahui, yang salahsatunya adalah sebuah buku. Seperti yang diungkapkan dalam buku “Mengenggam Dunia” catatan sang advonturir Gola Gong bahwa “buku adalah pintu menuju hal-hal baru, yang akan membelit tubuh dan jiwa begitu kita memasukinya, buku juga merupakan jendela, dimana dari keempat sisinya kita bisa menjelajah ke negeri impian, menjadikan kita berfikir cerdas, kritis, dan membangun rasa percaya diri. Jadi, sangatlah jelas bahwa perpustakaan sangat penting untuk hadir ditengah kehidupan manusia saat ini. Tujuannya bukan hanya menarik simpati dari kalangan akademik tetapi juga kalangan nonakademik yang luas.

Kembali pada topic diatas, bahwasannya perpustakaan FEB ini dipenuhi buku-buku yang berbaur mata kuliah/pelajaran misalnya buku Ekonomi Mikro, Makro dan lain-lain dan kurang sekali buku yang berbaur tulisan-tulisan nonfiksi seperti Opini, resensi buku, atau tulisan-tulisan yang berisi pengalaman pribadi seseorang. Saya bukan tidak menyukai tulisan nonfiksi yang berbaur mata kuliah/pelajaran tetapi memang kesukaan saya lebih condong kepada buku-buku nonfiksi seperti opini atau tulisan-tulisan yang berisi pengalaman pribadi, resensi buku dan juga tulisan-tulisan fiksi seperti novel dan lain sebagainya.

Pada saat memasuki perpustakaan FEB ini, saya tidak sengaja menemukan buku yang berjudul Ekspose Ekonomika, Mewaspadai Globalisasi dan Pasar-Bebas Edisi Baru 2010 karya Sri-Edi Swasono. Setelah saya baca lembar per lembar dan bab per bab, maka sampailah saya menemuka bab ke X yang judulnya Kompetensi Sarjana Ekonomi Kita. Dalam hati saya sempat bertanya-bertanya apa isi yang ditulis dalam judul ini. Apakah akan menceritakan betapa gagalnya sarjana ekonomi kita yang duduk di pemerintahan dalam menangani perekonomian nasional. Atau apakah akan mengangkat isu-isu mengenai ilmu sarjana ekonomi kita yang mengajar di kampus-kampus di seluruh Indonesia.

Memang menarik untuk mengamati  pengajaran yang dilakukan oleh dosen-dosen ilmu ekonomi di negeri kita ini. Dimana, untuk mengetahui apakah pengajaran mereka lebih dominan pada pengajaran ilmu ekonomi yang sesuai dengan konstitusional kita yang berideologikan Pancasila dan UUD 1945 atau malah pengajaran yang condong pada ilmu ekonomi klasikal dan neoklasikal yang mengagungkan pasar-bebas sehingga dapat membentuk system ekonomi yang kita kenal sebagai liberalisme dan neoliberalisme.

Perang ide dan gagasan di dunia ini memang sudah lama terjadi, sebagai penyebab berbagai komplikasi problem yang dihadapi oleh sebagian negara belahan di dunia. Persoalan besarnya yang dihadapi adalah ada pada persoalan ekonomi, yang kemudian disusul oleh persoalan ideology, politik, social budaya, agama dan lain-lain atau biasa di sebut dengan persoalan nonekonomi. Persoalan ekonomi dan non ekonomi ini tentu saling berkaitan satu sama lain.

Perang ide atau gagasan ini kita dapat mencatat, mulai dari para pemikiran-pemikiran ekonomi pra-klasik, seperti Plato, Aristoteles pada masa Yunani Kuno, pemikir Klasik Adam Smith dan neo-klasik yang mengemban paham liberal dan neoliberal, dan pemikir Sosialis-Komunis oleh Karl Marx. Selain hal diatas, ada juga para aliran pandangan pemikir ekonomi non-mainstream seperti aliran historis yang tokohnya a.l. Fredrich List dll, selanjutnya aliran Institusional ekonomi yang tokohnya a.l. Thorstein Vablen, pemikir ekonomi modern a.l. John Maynard Keynes dan masih banyak lagi aliran dan pemikir lainnya.

Yang ingin saya sampaikan disini adalah problem ekonomi yang terjadi di berbagai negara tentu sangat berbeda-beda. Kultur ekonomi pada abad ke-30-an, 80-an dan pada era sekarang juga sangat berbeda a.l. bisa berbeda Ideologi, social budaya, politik, kelembagaan, dan lain sebagainya sehingga secara keseluruhan tidak dapat lagi memenuhi sesuai dengan institusioanal ekonominya. Menerapkan pemikiran-pemikiran seperti yang saya tulis didepan dalam konteks negara Indonesia, merupakan hal yang sangat absurditas tanpa menelaah lebih dalam teori-teori tersebut.

Mempelajari perkembangan pemikiran ekonomi bukan sesuatu yang salah, ketika kita mengkajinya sesuai dengan keadaan serta permasalahan yang ada di tanah air. Hal ini, kita dapat mengambil keputusan teori-teori, konsep-konsep serta system ekonomi yang lebih baik, dan yang lebih cocok untuk diterapkan di negara kita. Sesuatu yang salah, menurut Sri-Edi Swasono jika pengajaran ilmu ekonomi hanya didasarkan pada perangkap teoritikal-parsial dan menerima begitu saja asumsi-asumsi dasar pemikiran-pemikiran barat seperti asumsi dasar pemikiran klasik dan neoklasikal yang mengandung berbagai ortodoksi dan sempit.

Sri-Edi Swasono menegaskan bahwa pengajaran ilmu ekonomi di kampus-kampus memang telah keliru. Penjajahan kurikulum dan pengajaran ilmu ekonomi di kampus-kampus yang berdasar pada klasik dan neoklasik yang mengemban paham liberalisme/neoliberalisme dengan pasar bebasnya merupakan mekanisme penjajahan ekonomi baru. Di sisi lain, sarjana ekonomi kita tidak dapat untuk menutupi dan menambal serta melengkapinya dengan tuntutan-tuntutan moral-kultural dan motif-motif etikal dalam kehidupan keekonomian.

Salah satu ungkapan Galbraith yang di kutibkan oleh Mubyarto, kemudian dikutib Sri-Edi Swasono dalam buku Ekspose Ekonomika ini bahwa “inilah doktrin yang ada. Mahasiswa berdatangan: sesuatu harus diajarkan; (dan) yang ada adalah model-model ekonomi neoklasikal”. Paham neoliberalisme yang merupakan kepanjangan tangan paham liberalisme harus ditentang sebagaimana bapak proklamator kita Soekarno-Hatta. Karena paham liberalisme ini merupakan sukma kapitalisme dan paham neoliberalisme merupakan sukma neokapitalisme atau turbo-kapitalisme imperialistik.

Lewat buku Ekspose Ekonomika ini kita dapat menemukan pencerahan baru bahwa setiap aktivitas ekonomi harus mengedepankan kepentingan nasional kita. Kita dapat menemukan uraian penting pada Bab XII dengan judul, Kembali Ke Ekonomi Konstitusi bahwa Indonesia merdeka berdasar pada doktrin kebangsaan (Nasionalisme) dan doktrin kerakyatan (kedaulatan rakyat) sehingga memunculkan konsepsi politik ekonomi berdasar Demokrasi Ekonomi.  Daulat rakya lebih penting dari pada daulat pasar. Neoliberalisme dengan pasar-bebasnya yang merupakan topeng globalisasi predatorik sangat membahayakan kedaulatan rakyat.

Demokrasi ekonomi kita berdasar pada paham kebersamaan dalam asas kekeluargaan bukan berdasar pada individualisme liberal dan neoliberal. Untuk itu, kita perlu menegaskan kembali seperti yang dikutibkan Sri-Edi Swasono bahwa kita boleh berutang atau mengundang investasi asing namun dengan tujuan tunggal: untuk mempercepat tercapainya kemandirian dan kedigdayaan nasional kita.

Kembali lagi bahwa pengajaran ilmu ekonomi di kampus-kampus harus lebih kritis, perlu adanya formulasi dan tidak langsung menerima pemikiran-pemikiran ekonomi barat yang belum tentu sesuai dengan paham ekonomi konstitusi kita, yakni Ideologi pancasila dan UUD 1945.

Beberapa ulasan dalam buku Ekspose Ekonomika karya Sri-Edi Swasono Edisi Baru 2010 yang menurut penulisnya sendiri dianggap sebagai kelemahan pengajaran ilmu ekonomi kita sekaligus sebagai upaya memberikan ringkasan bahwa, pertama, pengajaran ilmu ekonomi saat ini belum mampu melepaskan diri dari pemikiran neoklasikal, yang tidak saja bertitik-tolak dari paham self-interest, tetapi juga masih terus menerus mengabaikan implikasi asumtif mono-utilitas terhadap kenyataan bi-utilitas yang mengandung unsur-unsur moralitas yang lebih kompleks. 

Kedua, pengajaran ilmu ekonomi, sebagai kelanjutan pemikiran neoklasikal menyandarkan diri pada paham kompetitivisme. Ketiga, pengajaran ilmu ekonomi di kampus-kampus sejak semula telah diawali dengan paham market fundamentalisme. Keempat, telah diakui adanya apa yang disebut micro-macro ills dimana ilmu ekonomi mikro dan makro tidak selalu mudah saling bersambung, sehingga terjadi ketidakcocokan dalam mentransformasikan kepentingan orang seorang pada kepentingan public. Kelima, pengajaran ilmu ekonomi kurang memberikan perhatian cukup tentang system ekonomi komparatif di luar ortodoksi kapitaslime vs sosialisme.

Keenam, pengajaran ilmu ekonomi sejak awal telah diberikan kepada mahasiswa tanpa membedakan antara prinsip-prinsip ekonomi dan hukum-hukum ekonomi (yang lebih bersifat teknis dan bebas nilai) dengan pemikiran dan paham (yang tidak bebas nilai). Ketujuh, pelajaran ilmu ekonomi di sekolah-sekolah menengah, yang tidak saja sepenuhnya menjiplak kekeliruan yang terjadi di kampus-kampus tanpa memperkenalkan moralitas ekonomi Indonesia. Kedelapan, pengajaran ilmu ekonomi banyak mengabaikan metode induktif dan lebih menekankan pada metode deduktif, kurang memahami mengenai realita dan kenyataan empiric, akibatnya hanya akan berkemampuan canggung dalam menghasilkan penyelesaian masaalah.

Kesembilan, di ruang-ruang kelas globalisasi ekonomi banyak diungkapkan sebagai suatu cita-cita untuk mencapai efisiensi ekonomi dunia, mengatasi berbagai barriers transaksi-transaksi ekonomi dan membuka isolasi atau ekslusivisme kegiatan ekonomi. Kesepuluh, pengajaran ilmu ekonomi di kampus-kampus perlu diamati dengan teliti sebagai antisipasi ataupun sebagai harapan yang memberikan sebagai pencerahan baru.

Dari kesepuluh uraian tersebut, saya beranggapan bahwa uraian tersebut merupakan sebuah pesan dan nasehat kepada para sarjana ilmu ekonomi kita untuk lebih memperhatikan lagi substansi-substansi pengajaran ilmu ekonomi, lebih berhati-hati memasukan silabus materi dalam buku pengajaran ilmu ekonomi, agar tidak terkungkung dalam kapsul-kapsul paham liberal dan neoliberal dengan pasar-bebasnya yang tidak sesuai dengan cita-cita konstitusional kita. Lewat buku Ekspose Ekonomika inilah, dapat membuka pemikiran saya bahwa ilmu ekonomi yang saya dapat selama ini ternyata masih dilingkupi oleh ruang kegelapan. Tidak mengetahui apa yang salah dengan ekonomi kita atau pembangunan ekonomi kita ataupun ekonom kita sehingga ekonomi kita terlihat seperti itu-itu saja.

Buku inilah yang membuat pikiran-pikiran saya lebih terang, lebih jernih membuka mata dan wawasan saya dan lebih tau ke mana sebenarnya arah ilmu ekonomi itu untuk di tujuhkan. Dengan buku ini jugalah kita mengetahui betapa rakusnya peran liberalisme dan neoliberalisme yang menyandera perekonomian nasional kita. liberalisme dan neoliberalisme globalisasi dengan kekuatan pasar-bebasnya yang predatori sehingga dapat menggusur kedaulatan rakyat dengan daulat pasar.