Sumber Ilustrasi Gambar: kickdahlan.wordpress.com
SEPINTAS KITA membaca Buku dari Kwik Kian Gie
mengenai Pemberantasan Korupsi Untuk
Meraih Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan dan Keadilan (2003), memang
menarik untuk disimak dan diperbincangkan. Seputar pertanyaan yang paling menarik
adalah seberapa pentingkah KKN untuk di berantas?. Menurut Kwik Kian Gie,
korupsi sangat penting untuk di berantas dan harus menjadi prioritas yang
paling utama. KKN adalah akar dari praktis semua permasalahan bangsa yang
sedang kita hadapi. KKN is the roots of all evils (akar dari semua kejahatan/malapetaka).
KKN tidak terbatas pada mencuri uang, tetapi lambat laun juga merasuk ke dalam mental,
moral, tata nilai dan cara berpikir. Sejak zaman Yunani kuno sudah dikenali
adanya pikiran yang sudah teracuni oleh korupsi. Maka sangat sering kita baca
istilah corrupted mind.
Saat ini, kita dapat menyaksikan
diberbagai daerah, media massa, maupun media social banyak masyarakat yang
berlomba-lomba mendaftarkan diri untuk menjadi CPNS. Hingga hari ini di sejumlah
media tersebut mengklaim bahwa jumlah pendaftar CPNS sudah mencapai sekitar 1,2
juta orang. Pendaftaranyapun yang dilakukan yaitu melalui media online, dimana
sering kali membuat kebingunan dibanyak kalangan masyarakat, apalagi bagi mereka
yang tidak mengerti atau memahami dengan teknologi /computer. Rekrutmen CPNS
ini dilakukan untuk mengisi berbagai lembaga kementerian dan juga lembaga-lembaga
non-kementrian yang dianggap perlu dan untuk mengisi kekosongan kursi yang ada
dilembaga pemerintahan tersebut.
Jika kita melakukan hitung-hitungan
mengenai banyaknya pegawai negeri pada Januari 2013, sebanyak 4.467.982 orang
dan pada periode yang sama tahun 2011 tercatat 4.708.330 orang atau menyusut 240.348
orang atau sekitar 5,1% demikian dikutip dari data statistik BKN, Senin (16/9/2013)
(sumber, Detik finance). Sekilas, kita bisa melihat seperti gedung-gedung yang
besar di kementerian, gedung-gedung lembaga pemerintahan lainnya dan juga lembaga-lembaga
non-kementerian yang semakin sesak, banyak dihuni oleh para PNS. Kendatipun
demikian cara perekrutan dan penempatan birokrasi di pemerintahan masih patut
untuk dipertanyakan. Apakah sesuai dengan mekanisme dan prosedur yang ada atau
malah sebaliknya yaitu karena ada koneksi atau upeti.
Contoh yang terjadi hari ini dibanyak daerah, penempatan
birokrasi tidak sesuai dengan profesi atau bidang yang mereka miliki. Ini mereka
lakukan karena akibat dari asas kekeluargaan/nepotisme, tanda balas jasa, ataupun
yang berkaitan dengan pejabat pencari rezeki dengan cara melakukan lobi-lobi, “ada
uang, maka anda akan lolos” atau presepsi seperti “untuk menjadi pegawai, anda harus
mempunyai koneksi dan upeti”.'
Dengan adanya presepsi seperti diatas maka
pos-pos birokrasi banyak diperebutkan oleh kalangan-kalangan tertentu untuk
mengisih yang istilah digunakan oleh Prof. Dr. Hendrawan Supratikno “jabatan-jabatan
basah”. Para petualang jabatan ini tidak tanggung-tanggung mengeluarkan fulus yang
sekian besar untuk mendapatkan kursinya. Dengan cara sehat atau tidak sehat,
bergaji besar atau kecil yang terpenting tujuan mereka tercapai. Atau seperti
plesetan yang sering muncul, maju tak gentar untuk membayar yang bayar dan ada
juga seperti terkena HIV (Hemangnya I Vikirin). Dan jangan sampai muncul
presepsi, jangan takut untuk menjadi pegawai negeri, gaji teri tetapi bisa
korupsi.
Para ilmuwan atau para pengamat
birokrasi pemerintah dan juga sejumlah teks
book banyak yang menyatakan birokrasi pemerintah merupakan organisasi yang
gemuk, lamban, dan juga red tape (prosedur
yang berbelit-belit sehingga memakan banyak waktu dan biaya). Selain itu, selama
ini juga banyak disindir bahwa birokrasi kita dianggap sebagai birokrasi yang
boros dan crazy. Dianggap boros karena saat ini ditatanan birokrasi dimana
seperti yang dikutip dalam buku Kwik
Kian Gie Pemberantasan
Korupsi Untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan dan Keadilan
(2003) bahwa telah berlakunya seperti apa yang dikenal dalam ilmu organisasi dan
manajemen sebagai “Hukum Parkinson”.
Teori ini mengatakan bahwa manusia selalu mempunyai
kebutuhan dirinya dianggap penting oleh sekelilingnya. Simbol bahwa dirinya
penting adalah kalau dapat memperlihatkan dirinya mempunyai banyak anak buah.
Maka tanpa sadar bagaikan hukum alam setiap orang dalam organisasi ingin
menunjukkan bahwa dirinya penting dengan mengangkat bawahan. Bawahannya ingin
dianggap penting dengan cara mengangkat bawahannya juga. Semakin banyak
bawahannya semakin dianggap penting kedudukannya dalam masyarakat. Dengan
berlakunya teori ini yang sampai dinamakan “hukum alam”, setiap organisasi mempunyai
kecenderungan membengkak tanpa ada gunanya.
Dianggap Crazy sebagaimana yang
dikutip oleh Hendrawan Supratikno karena peraturan dengan mudah berubah-ubah,
semua bisa diurus asalkan ada uang atau istilah dengan “komisi melayani”. Atau
sekarang banyak plesetan yang dikenal dalam birokrasi “selama masih bisa
dipersulit, mengapa harus dipermuda”. Merupakan cara birokrasi untuk
mempersulit pihak lain dengan menggunakan berupa senjata tinggi jabatan yang
dimiliki sehingga peraturan yang tujuan baik dengan muda untuk dipersulit untuk
mendapatkan rezeki yang tidak resmi.
Hal ini akan menjadi suatu kebiasaan para birokrasi
dipemerintahan ketika tidak adanya pembenahan yang sistemik dan jelas akan melahirkan
para birokrasi koruptif. Kebiasaan memberikan agunan berupa sogokan atau
“komisi melayani” sebenarnya akan mendorong kerusakan yang akan memperparah
kondisi patologi birokrasi dan secara langsung prilaku tersebut akan melahirkan
birokrasi tawar menawar atau yang dapat dibeli.
Dengan adanya hal tersebut, maka
pemerintah perlu mengeluarkan regulasi yang secara signifikansi dapat mempengaruhi
kinerja birokrasi yang berorientasi pelayanan public yang efektif dan terukur. Seperti
yang dikatakan oleh Max Weber bahwa aktivitas birokrasi merupakan rasionalitas aktivitas
kolektif guna mencapai tingkatan tertinggi dari efesiensi. Regulasi ini dapat
dilakukan dengan menerapkan reformasi birokrasi yang ada pada lingkungan
pemerintahan setempat. Seperti yang telah di amandemen dalam UUD 1945 bahwa
reformasi birokrasi dimaknai sebagai penataan ulang terhadap system penyelenggaraan
pemerintah yang dijalankan aparatur pemerintah local maupun maupun nasional.
Masaalah yang secara fundamental kita
hadapi saat ini dalam tubuh bangsa Indonesia sebenarnya ada pada lingkungan
birokrasi pemerintahan. Kita dapat mencatat kasus korupsi yang terjadi sangat banyak,
terutama pada lembaga kementrian dan juga lembaga legislative yang katanya
merupakan perwakilan dari rakyat. Seperti Mantan Menteri Agama Suryadharma Ali, Mantan Menteri ESDM Jero Wacik
dan masih banyak lagi terutama pada lembaga legislative seperti LHI, Sultan Bahtoegana
dan lain-lain. Selain itu PNS juga terlibat seperti yang terjadi di Batam yang
memiliki rekening gendut 1,3 Triliun atas nama Niwen Khaeriyah, Du Nun pegawai honorer lepas
TNI AL bersama rekannya Aripin Ahmad, pegawai senior Pertamina Ahmad Mahbub,
bersama Yusri, (Sumber, Tempo.co Kamis 04 September 2014). Jika kita mau
menelisik lebih dalam atas kejadian ini sesunggunya dilakukan penuh dengan
konspirasi dan terorganisir dengan baik, (Baca: Rekening Gendut PNS Batam dari
Jualan BBM Curian).
Yang ingin saya sampaikan disini adalah perubahan
kerangka pola pikir pemimpin nasional dan daerah sangat diperlukan untuk menata
atau memperbaiki lingkungan internal pemerintah dengan membangun solidaritas
birokrasi dalam bekerja secara professional. Selain harus melakukaan perubahan
pola pikir, juga harus menghilangkan doktrin nilai-nilai pemikiran feodalisme bahwa
tugas mereka adalah untuk mengendalikan dan mengawasi prilaku public. Tetapi
sebaliknya memberikan pelayanan publik seperti cita-cita ideal dalam perspektif
Weberian yaitu organisasi skala besar modern yang professional.
Kerangka
pemikiran seperti yang bernuansa feodal ini, tentu akan melahirkan perilaku yang
cenderung untuk mengapdi pada kepentingan penguasa bukan pada upaya yang serius
untuk melakukan akselerasi peningkatan kualitas pelayanan public atau yang
berorientasi pada kepentingan rakyat. Olehnya itu, maka perlu ada penyadaran yang
secara subtantif bahwa masyarakat adalah tax
payer atau pembayar pajak yang merupakan sumber pendapatan negara untuk
menggaji mereka.
Reformasi birokrasi dalam lembaga pemerintah itu sangat
diperlukan guna untuk menunjang adanya kualitas birokrasi yang berkompeten dan
tidak dapat dikesampingkan. Maka dari itu, seluruh stakeholders baik masyarakat
maupun pelaku ekonomi di bangsa ini harus turun berperan serta dalam mendorong
reformasi birokrasi. Penemuan titik kajian yang perlu dikembangkan tidak lagi harus
berfokus pada dikotomi politik dan administrasi tetapi lebih kepada bagaimana
mengkreasi administrasi professional yakni kemampuan birokrasi untuk tampil
prima dalam memberikan pelayanan public yang efektif dan efisen.
Tidak bisa kita memungkiri bahwa saat ini banyak gagasan
yang dikemukakan untuk mereformasi birokrasi di Indonesia yang salahsatunya adalah
melalui audit birokrasi dengan penataan menyeluruh baik strategi, struktur,
system, proses maupun sumber daya manuisa dengan mengedepankan pengembangan Goog
governance (tata kelola yang baik) di seluruh tatanan birokrasi pemerintah.
Kemajuan bangsa Indonesia dalam pembangunan
sesunggunya dapat diukur dengan kemajuan dalam penataan birokrasi dan pembinaan
aparaturnya. Selanjutnya, kualitas pembangunan yang dilakukan melalui system
ekonomi pasar sangat ditentukan oleh kualitas intervensi regulative pemerintah
bukan pada resistensi procedural birokrasi yang syarat dengan biaya tinggi. Jika
hal ini terjadi maka kondisi psikologi pasar tidak akan bergairah untuk
menggulirkan investasi.
Oleh sebab itu, reformasi birokrasi harus dijadikan
sebagai titik dobrak reformasi disegala bidang dan merupakan Panacea (obat mujarab)
untuk menigkatkan persaingan dikanca global. Tanpa disertai reformasi birokrasi
yang secara mendasar dan yang subtantif, maka kebijakan sehebat apapun
kemungkinan hanya akan indah diatas kertas dan tentu ujung-ujungnya kita hanya akan
menyaksikan sebuah negeri “wacana” atau negeri “mimpi”. Banyak negara-negara
untuk dijadikan pembelajaran atau rujukan bahwa negara dengan tingkat ekonomi yang
maju didukung oleh perangkat institusi birokrasi yang demokrastis dan mengedepankan
terhadap penghargaan kinerja yang dilakukan dengan budaya transparansi dan akuntabilitas.